Jumat, Maret 29, 2024

Jerman Uber Alles, Jerman Di Atas Segalanya!

Desvian Bandarsyah
Desvian Bandarsyah
Dekan FKIP UHAMKA dan Intelektual Muhammadiyah

Dalam kisah Perang Dunia II, terdapat satu momen di Normandia, Prancis, yang sangat penting dan selalu diperingati setiap tahunnya oleh tentara sekutu, Amerika Serikat dan Eropa Barat sebagai kemenangan heroik sekutu atas Jerman yang waktu itu di bawah komando sang Kanselir Adolf Hitler. Kemenangan yang menentukan masa depan Eropa dan bahkan dunia.

Hitler adalah penyebab Perang Dunia itu yang menjadikan Jerman negara yang kalah dan terpecah selama Perang Dingin menjadi Barat dan Timur. Baru pada 1991 mereka reuni menjadi Jerman kembali. Hitler pula yang mengembalikan harga diri Jerman yang luluh lantak dalam Perang Dunia I. Tapi sejarah mencatat, ia pula yang menjadikan bangsa ini terpuruk dan terpecah dalam perang itu dan setelahnya.

Dalam kisah sejarah itu, Prancis hampir lumpuh oleh Jerman. Pasukan Jerman melakukan serangan super kilat ke Eropa, termasuk ke Prancis, setelah dengan mudahnya mereka menduduki Polandia, Austria, Belanda (malah negeri ini ditenggelamkan dan pemerintahannya mengungsi ke luar negeri), Inggris dan terakhir Prancis. Amerika Serikat, negara yang tengah membesarkan pengaruhnya di Eropa, melihat ancaman ini dengan sangat serius, tampil bersama sekutu menyelamatkan Prancis.

Amerika menurunkan pasukan payungnya melalui udara dengan pedaratan super heroik dalam sejarah perang modern. Tidak ada tempat bagi pasukan darat Amerika di Normandia, hanya satu cara untuk menempatkan pasukan daratnya, membuka jalan darah di Normandia melalui pasukan payungnya yang diterjunkan di medan pertempuran Normandia, lalu masuk pasukan daratnya 3.2 juta tentara melalui laut dan menjadi catatan sebagai yang terbesar dalam perang di dunia. Peristiwa itu terjadi 6 Juni 1945 yang menjadi titik balik dari posisi unggul pasukan Jerman menjadi kekalahan dalam ekspasi militernya di Eropa.

Jerman kalah dalam Perang Dunia II, tetapi Hitler yang membangkitkan semangat pantang menyerah Jerman. Jerman Uber Alles, Jerman di atas segalanya. Inilah semboyan mereka yang membakar semangat Jerman dalan 2 × 45 menit pertandingan di Piala Dunia. Selalu demikian. Semangat ini yang menjadikan Jerman selalu menembus elite Tim Nasional Dunia, semangat ini pula yang menempatkan Jerman sebagai “Spesialis Turnamen Piala Dunia”.

Semangat itu tetap dimiliki dan terjaga dengan baik semalam. Meskipun kalah dalam pertandingan pertama di fase grup, mereka tidak putus asa. Menghadapi Swedia bukan lawan mudah. Swedia adalah tim kuat dengan pemain utamanya berada pada level utama di kompetisi Eropa.

Jerman sudah tertinggal di babak pertama. Pada babak kedua mereka bermain dengan 10 pemain di menit ke 80. Kedudukan 1 – 1, tetapi mentalitas “di atas segala” membuat mereka tidak ingin kalah. Menit ke 90+5 ketika sebagian besar pemain dan penonton di berbagai belahan dunia menganggap permainan telah usai, mereka mencetak gol kemenangannya. Seolah Hitler telah memaki mereka agar tidak menjadi tim yang lembek. Jerman Uber Alles.

Semangat Jerman telah melahirkan ketegangan di Grup F yang dihuni oleh Swedia, Meksiko, Korea Selatan dan Jerman. Belum ada tim yang memastikan lolos ke fase selanjutnya. Semua menegang. Para pemain, pelatih dan bahkan pendukung tim mereka dalam posisi penuh ketegangan.

Kecuali Jerman, mereka mulai menemukan ritme dan piawai memainkan urat saraf dalam turnamen ini. Pertandingan semalam telah mengembalikan sifat humble tim ini dengan ketenangan dan keanggunannya. Aku adalah Juara Dunia. Layak untuk mendapatkan apresiasi dan disegani oleh tim manapun.

Mereka bukan tim tanpa bintang. Bintang bertaburan di tim ini. Tetapi bintang harus memberikan loyalitasnya kepada negara. Tidak salah jika pemikir nasionalisme mereka Hans Kohn mengatakan bahwa kesetiaan tertinggi harus diletakkan pada negara. Seorang Mesut Ozil pemain dengan bakat mumpuni tidak dimainkan karena dipandang tidak memiliki kesetiaan dengan pengorbanan total bagi tim nasional. Alhasil ia duduk dibangku cadangan.

Jerman adalah contoh, bagaimana kolektifitas harus menjadi nyawa dari permainan sepak bola dan bagaimana mentalitas harus dijaga selama pertandingan berlangsung. Mereka memahami betul perspektif permainan dalam pendekatan hermeneutika filsuf Gadamer.

Bagi Gadamer, seorang Jerman tulen, dalam permainan yang terpenting adalah permainannya dan bukan pemainnya. Setiap pemain harus larut dan bermain dengan sungguh-sungguh. Mereka yang tidak bermain dengan sungguh-sungguh adalah pengkhianat dalam permainan.

Permainan selalu menuntut kesungguhan. Di dalam kesungguhan ada pengorbanan, komitmen, visi, misi, dan energi untuk memenangkannya. Upaya dan kerja keras harus melampaui kemampuannya. Itulah ciri kesuksesan sebuah kolektifitas yang dibangun atas nilai-nilai utama semacam itu.

Dalam sudut pandang semacam itu, jiwa mempersembahkan dengan total dan mengabdi pada permainan. Kondisi itu menuntun pemain menemukan irama orkestra dan kenikmatan dalam bermain.

Maka kemenangan Jerman dibagian akhir permainan telah menghadirkan drama bagi penggila bola di dunia. Mereka mencuri kekaguman dunia dalam sepak bola. Inilah negeri dengan julukan “Negeri para penyair dan pemikir” karena menghasilkan seniman besar dan pemikir besar secara melimpah. Dan kini, mereka juga menunjukkan diri sebagai negeri sepak bola utama di dunia. Selamat Jerman atas kemenangannya!

Desvian Bandarsyah
Desvian Bandarsyah
Dekan FKIP UHAMKA dan Intelektual Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.