Kamis, April 25, 2024

Jerat UU ITE pada Robertus Robert dan Masa Depan Demokrasi

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.

UU ITE kembali memakan korban, belum reda soal kasus Baiq Nuril yang dilaporkan dengan UU ITE, kini Robertus Robert sosiolog dari UNJ yang harus menjadi korban selanjutnya. Menurut catatan dari SAFENET, ada sekitar 248 pelaporan dengan dasar UU ITE di Indonesia terhitung sejak tahun 2008.

Separuh dari kasus yang dilaporkan bermuatan ujaran pencemaran nama baik. Perlu diketahui, UU ITE ini sudah banyak memenjarakan masyarakat, karena ketika sudah masuk di meja hakim, kecil kemungkinan bisa lepas dari jerat undang-undang ini.

Perlu diketahui bersama, menurut catatan SAFENET terkait pelapor dengan UU ITE. Ada sekitar 32,92 persen orang yang melaporkan merupakan pejabat negara, seperti kepala daerah, menteri, kepala instansi pemerintahan, staf khusus hingga aparat keamanan. Sementara orang non-pejabat pemerintahan hanya sekitar 32,24 persen.

Muatan pelaporan yang sering digunakan dalam menjerat korbannya, selalu berkaitan dengan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik. Dalam konteks pejabat negara, terekam para aparatus ini melaporkan seseorang dengan delik ITE, setelah orang tersebut mengusik keberadaan aparatus tersebut. Semisal kritik atas kinerja, ekspresi atas kekecewaan dengan pemerintah, sampai upaya menyuarakan tentang bahaya laten kebangkitan dwi fungsi ABRI.

Robertus Robert menjadi korban kesekian kali dari UU karet ini. Ia dijerat dengan tuduhan ujaran kebencian, penghinaan pada entitas keamanan negara. Lalu, hal tersebut dikaitkan dengan upaya menghina alat negara dan negara itu sendiri. Karena berdasarkan rilis dari YLBHI-LBH, Robert dikenakan pasal 207 KUHAP yang berisi tentang larangan menghina penguasa dan institusinya.

Selanjutnya, ada pasal 28 ayat 2 jo UU ITE, secara lugas bermuatan tentang larangan untuk menyebarkan informasi yang dapat menimbulkan keresahan dan kekacauan, utamanya terkait SARA (suku, ras, agama dan antar golongan) Yang sangat jelas muatannya, bahwa pasal ini sifatnya melar dan represif. Dalam sudut pandang pegiat demokrasi pasal-pasal tersebut dikategorikan sebagai draconian laws, atau suatu ketentuan hukum yang sering digunakan untuk merepresi seseorang.

Potret Represifnya UU ITE

Sebenarnya apa yang dikenakan pada Robert merupakan keumuman yang acap kali terjadi di Indonesia, beberapa tahun terakhir ini. Menurut SAFENET, jejak rekam terlapor kebanyakan menyasar masyarakat awam, ada sekitar 29,4 terlapor. Selain itu, mereka juga merekam, jika terlapor selanjutnya paling banyak menyasar kalangan aktivis sekitar 8,2 persen, pelajar dan mahasiswa 6,5 persen, guru dan dosen 6,1 persen dan jurnalis 5,3 persen. Angka tersebut didapatkan berdasarkan penelusuran mendalam dalam rentang waktu 2008-2018.

Sebagai catatan, sebelumnya ada Prita Mulyasari yang memprotes rumah sakit OMNI Internasional, ia dijerat dengan UU ITE 2008 dengan tuduhan mencemarkan nama baik. Sementara itu, ada Anindya Joediono salah seorang mahasiswi Narotama, ia dijerat UU ITE akibat menuliskan kritikan di laman facebook pribadinya. Anin sendiri memprotes terkait tindakan diskriminatif pada mahasisiwa Papua di Surabaya yang direpresif aparat, hanya karena ingin berdiskusi dan refleksi terkait pelanggaran HAM.  Anin sendiri dituduh menyebarkan ujaran kebencian, atas tulisan kritisnya tersebut.

Lalu, ada Baiq Nuril seorang guru honorer di SMAN 7 Mataram, ia dijerat UU ITE karena merekam percakapannya dengan Kepala Sekolahnya. Padahal tujuan merekam untuk meproteksi dirinya, karena pada saat itu kepala sekolah sedang melakukan pelecehan seksual kepadanya. Baiq lalu melaporkan tindakan tercela kepala sekolah tersebut ke dinas pendidikan. Namun, Baiq malah dilaporkan oleh kepala sekolah tersebut ke kepolisisan dengan tuduhan mencemarkan nama baik, melalui alat elektronik (rekaman). Kasus Baiq sendiri masih berjalan, pasca menang di PN Mataram, dengan diputuskan tidak bersalah. Ketika pihak pelapor kasasi ke MA, Baiq Nuril malah diputuskan bersalah dengan hukuman 6 bulan penjara dan denda 500 juta rupiah.

Dan, kini Robertus Robert ditangkap oleh polisi di rumahnya, akibat pelaporan pencemaran nama baik, penghinaan dan fitnah kepada intitusi negara.  Robert yang berorasi pada saat aksi kamisan Jakarta, mencoba mengajak kita merefleksikan terkait bahaya laten dwi fungsi ABRI. Serta mengkritisi terkait wacana memasukan personil TNI yang non-job untuk mengisi di sektor sipil.

Tentu hal tersebut sangat bertentangan dengan semangat dwi fungai ABRI yang telah dijalankan, terutama sejak era Gus Dur sebagai amanat reformasi. Robert sendiri hanya mengingatkan negara dalam hal ini pemerintah dan TNI agar mematuhi amanat reformasi, serta mendorong agar TNI lebih professional dan tidak menjelma lagi kembali sebagai ABRI.

UU ITE Harus Direvisi atau Dihapuskan

Mengingat banyaknya kasus yang diakibatkan oleh UU ITE, terutama seringnya pasal demi pasal yang digunakan di UU ini, digunakan dalih untuk memenjarakan mereka yang tidak disukai. Terlebih para pejabat negara atau institusi terkait, acap kali menggunakannya sebagai alat untuk membungkam kritik publik.

Ditambah, jerat UU ITE ini sangat susah untuk dilewati, ketika sudah masuk ke pengadilan, rata-rata terlapor selalu diputuskan bersalah. Karena dalam pembuktiannya selalu menggunakan instrumen tunggal, yakni jejak digital tanpa disertai dengan objektivitas yang rasional. Semisal mengapa orang tersebut melakukan kritik, dan ukuran pencemaran dan ujaran kebencian juga tidak jelas indikatornya.

UU ITE sendiri sangat bertentangan dengan kebebasa berekspresi yang telah diatur dalam konstitusi. UU ini sangat kontradiktif dengan diskursus demokrasi, yang menekankan pada aspek kebebasan mengemukakan pendapat di muka publik. Hemat penulis, UU ITE ini harus dikaji ulang atau dihapuskan sekalian, karena banyak mengandung unsur yang bertentangan dengan demokrasi.

Sebenarnya kebebasan berekspresi di Indonesia sudah ada batasannya, yakni budaya yang tertuang dalam norma masyarakat. Jadi, tidak perlu resah dan gelisah ketika dikritik oleh masyarakat. Jikalau memang benar tentu tidak akan merasa terancam. Kasus yang yang menimpa Robertus Robert ini merupakan refleksi bersama, bagaimana nasib demokrasi Indonesia ke depan. Apakah akan jatuh pada otoritarian kembali dengan bingkai kontemporer, atau dalam bingkai konservatisme yang kolot.

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.