“Pertemuan sebelumnya saya kasih kalian tugas ya? Siapa yang sudah mengerjakan tugasnya? Ayo maju ke depan!”
Ujaran-ujaran di atas galibnya menyuntikkan kegamangan ke segenap murid di kelas. Tangan yang curainya mulai memeriksa satu per satu tugas murid-muridnya. Rona mukanya tercelik lajatnya saat menyelidik satu demi satu dan mulai mengasung ponten pada lembar tugas murid-muridnya. Selepas itu tampak guru mengecap nama muridnya satu per satu untuk mencoleng hasilnya. Sekelumit telingkah guru termaktub galibnya terjalin di puak kelas.
Sosok ini senantiasa mendidik. Sosok ini senantiasa menuntun. Sosok ini senantiasa mendidik. Sosok ini senantiasa membentuk karakter para muridnya itu semua merupakan jasa-jasa sosok guru.
Jasa-jasa sosok guru untuk mendidik murid yang berkarakter unggul memang tidak dapat dimungkiri. Kerap sekali dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Yang berarti guru ialah sosok yang mahir dalam sentral pendidikan bagi semua muridnya. Meskipun begitu, guru juga kerap menjadi pembicaraan publik terkait perkara kekerasan terhadap muridnya. Ditegaskan dengan adanya sistem hukum terkait perlindungan terhadap murid di sekolah.
Bicara soal perlindungan terhadap murid, apakah hanya itu saja yang krusial? Pada hakikatnya, perlindungan terhadap guru di sekolah juga tidak kalah krusialnya. Hal ini didukung dengan adanya Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan yang bertujuan untuk menciptakan proses pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan serta terhindar dari tindakan-tindakan kekerasan.
Apa kata mereka?
Sudahkah kalian tahu perbedaan makna antara kata guru dan pendidik? Perlu diketahui baik kata “guru” maupun “pendidik” ini memiliki maknanya tersendiri. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia dituturkan bahwa guru diartikan dalam konteks pekerjaannya (profesinya mengajar), sedangkan pendidik menurut W .J .S. Poerwardarminta diartikan sebagai orang yang mendidik atau melatih mengenai pembentukan karakter dan kecerdasan pikiran.
Ditegaskan pula oleh H.M Arifin bahwa sebagai pendidik harus mampu memosisikan sebagai pendidik dan pelatih dalam mengembangkan talenta dan kemampuan anak didik ke arah titik maksimal. Beranjak dari perbedaan arti kata “guru” dengan “pendidik” terdapat juga rekognisi tentang 3 tipologi guru meliputi syarat, sifat, dan tugas.
Mari bedah satu per satu mengenai makna ketiga tipologi guru tersebut. Pertama, terdapat 4 syarat guru menurut Zakiah Daradjat, meliputi taqwa kepada Tuhan, berilmu, sehat jasmani, dan rohani serta bersifat baik. Memang sudah seharusnya sosok guru menanamkan sifat yang mengedepankan mutu guru ataupun murid secara maksimal.
Kedua, sifat utama yang harus dimiliki setiap figur guru menurut Mohamad Surya, yaitu kesuksesan dalam kinerja secara profesional dengan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan kualitas pendidikan. Meminjam juga pandangan Asma Hasan Fahmi, terkait sifat guru yakni mampu bersikap tenang, tidak bermuka masam, tidak meremehkan di depan para murid, dan bersifat sopan serta santun.
Lantas bagaimana dengan kasus akhir-akhir ini mengenai guru yang melakukan kekerasan terhadap muridnya? Apakah sosok tersebut telah memaknai ketiga tipologi guru?
Pada hakikatnya, sosok tersebut tidak memaknai makna terkait tipologi seorang guru yang seharusnya tidak melakukan tindakan kekerasan terhadap muridnya. Hal tersebut ditandaskan oleh Pasal 4 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur bahwa anak memiliki hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Peran PGRI terhadap Perlindungan Guru
Sebagai wadah perjuangan, PGRI mengedepankan hak-hak, profesionalitas, dan kesejahteraan sosok guru. Pada dasarnya, PGRI merupakan wadah yang memperjuangkan perlindungan hukum, keselamatan kerja, dan pencetusan gagasan anggotanya (Lilik Yuniastutik, 2013).
Prinsip-prinsip tersebut kerap sekali ditandaskan demi terwujudnya PGRI sebagai organisasi yang terpercaya, kuat, dinamis, dan bermartabat. Dengan begitu, guru perlu menerapkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam metode pendisiplinan terhadap muridnya.
Apakah Pendisiplinan ini Melampaui Batas?
Beberapa bulan yang lalu ini Konawe Selatan khususnya di SD Negeri 4 Baito digemparkan oleh kasus guru Supriyani, yang dituduh melakukan pendisiplinan yang melampaui batas terhadap muridnya. Supriyani diduga memukul paha salah satu murid yang orang tuanya berstatus polisi yaitu Aipda Wibowo, ia menuduh bahwa adanya luka pada paha anaknya.
Kepolisian telah berupaya menyelesaikan perkara ini di luar metode hukum dengan cara mempersatukan antara dua pihak, tetapi tidak ditemukan titik perdamaian sehingga berbuntut hingga ke pengadilan. Bahkan, tidak lama setelah itu Bupati Konsel melayangkan surat Somasi atas pencabutan kesepakatan damai usai mediasi. Alasan yang menguatkan Supriyani karena ia merasa tertekan pada saat mediasi dan merasa yakin tidak pernah melakukan tindakan kekerasan seperti yang dituduhkan serta Supriyani ingin perkara yang melibatkan dirinya segera terungkap siapa yang salah dan benar.
Merujuk persoalan di atas apakah tampak berjalannya hak asasi guru?
Apakah semua perkara pendisiplinan terhadap kenakalan murid harus berbuntut ke urusan pidana? Apakah ranah hukum zona berakhirnya semua persoalan?
Merujuk ujaran Asep Irawan, mantan hakim yang sekarang menjadi dosen di Universitas Trisakti, ia mengatakan bahwa segala persoalan yang berkaitan dengan model mendidik seorang guru bukan dilimpahkan ke kantor polisi atau pengadilan, melainkan seharusnya diselesaikan di sekolah dengan melibatkan orang tua murid, guru, dan pihak sekolah.
Lantas langkah efektif seperti apa yang semestinya diimplementasikan?
Keadilan Restoratif sebagai Langkah Efektif
Rumitnya persoalan pendisiplinan terkait ketidaktertiban murid ini sebenarnya dapat diselesaikan dengan adil jika menerapkan mekanisme keadilan restoratif. Mekanisme ini tertuang pada Perpol Nomor 8 pasal 1 tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan pada keadaan semula.
Langkah efektif ini baru saja diimplementasikan sebelum perkara Supriyani selesai. Pada 28 Oktober lalu, ditemukannya titik usai secara damai antara guru dan orang tua murid dalam kasus penganiayaan murid di SD Negeri 27 Kecamatan Rumbia.
Tutur maaf dari guru tersebut kepada keluarga murid menjadi pereda masalah ini. Perkara ini dapat selesai karena kesuksesan langkah efektif yaitu dengan keadilan restoratif yang berarti dilakukannya penyelesaian masalah dengan melibatkan semua yang terkait dengan tujuan mencapai keadilan yang maksimal bagi semua pihak. Oleh karena itu, proses pembelajaran di sekolah ini harus dilakukan secara proporsional yang berarti semua warga sekolah harus terlindungi dan dilindungi.
Jadi, marilah meniru guru, bukan memburu guru! Selamat Hari Guru Nasional 2024!