Sabtu, April 27, 2024

Jejak Kematian Venezuela Hingga Wadiya

Azi Satria
Azi Satria
Bekerja sebagai komikus dan ilustrator. Senang mendiskusikan sastra, sejarah dan manusia. Menulis ketika senggang.

Kerusuhan di Venezuela mencapai puncaknya. Kudeta, pemberontakan dan intrik-intrik kekuasaan dalam balutan kecemasan sudah meledak dan menjadikan negara di ujung utara Amerika Selatan ini pusat perhatian. Nicolas Maduro, sang Presiden dianggap gagal mengelola perekonomian negara.

Tentu saja yang gagal bukan hanya perekonomian Venezuela, tapi secara keseluruhan Venezuela sudah gagal di tangan seorang Maduro. Bukan hanya urusan hiperinflasi yang gagal ditangani oleh Maduro, tapi sudah tentu segala sektor memang ambruk hingga mengakibatkan emosi masyarakat memuncak menyerang pemerintahannya sendiri.

Sampai artikel ini ditulis, Venezuela untuk sementara dipimpin oleh Juan Guaidó, seorang tokoh oposisi menjadi ketua kongres. Tentu saja dengan penuh semangat akan kemenangan, Juan Guaido berpidato di hadapan rakyat:

“Saya bersumpah untuk memikul semua kekuatan kepresidenan untuk menjamin diakhirinya perebutan kekuasaan,”

Venezuela menjadi sebuah contoh nyata akan kepemimpinan seorang kepala negara. Maduro, yang bersikeras untuk terus memuaskan dirinya menjadi presiden tentu tidak selaras dengan perubahan-perubahan yang ia ciptakan. Indonesia perlu menghadap ke bagian barat, menatap bagaimana pemimpin yang tidak kompeten justru akan menghancurkan bangsa itu sendiri.

Hugo Chavez, pemimpin terdahulu Venezuela yang berhasil menyelamatkan negara tersebut dari kemiskinan dan menekan angkanya sampai 50% itu mewariskan tampuk kepemimpinan pada Maduro. Sayangnya, apa yang disebut sebagai ‘Sosialisme Bolivarian’ atau ‘Revolusi Bolivarian’ itu tidak bisa berjalan sebagaimana Chavez melukis senyum di wajah rakyat Venezuela.

Kekacauan demi kekacauan terjadi selama Maduro menjabat, bahkan ada indikasi bahwa pemilu yang dilaksanakan terakhir mengandung kecurangan. Pemilu yang sah menjadikan Maduro presiden Venezuela sekali lagi pada 10 Januari 2019 itu dicap hanya permainan belaka.

Membaca beragam berita yang masuk mengenai Maduro, Guaido dan Venezuela mengingatkan saya akan film The Dictator, dibintangi oleh Sacha Baron Cohen dan rilis 2014. Film itu rasanya menjadi menarik jika harus dibandingkan dengan keadaan Venezuela dan ketidakmampuan Maduro dalam memimpin negaranya.

Aladeen, yang diperankan oleh Sacha Baron Cohen itu memimpin Wadiya, negara antah berantah yang berada di antara negara-negara di Timur Tengah. Negara yang dipimpin oleh diktator bernama Aladeen itu membasmi semua yang berbau oposisi dan kritik, bahkan pemilihan umum ditodong senjata.

Film komedi yang memparodikan bagaimana negara-negara yang kaya akan minyak justru mengisolasi dirinya sendiri dari negara luar itu tampak cocok dengan situasi Venezuela. Bagaimana akhirnya negara kaya akan minyak di Amerika Latin itu justru jatuh karena keengganannya untuk menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat.

Kepemimpinan Aladeen yang kental dengan nuansa diktator itu akhirnya jatuh, terutama setelah orang-orang diluar Wadiya ternyata memaksa Wadiya untuk bergerak menjadi demokrasi.

Chavez mungkin berhasil mengangkat Venezuela dari kubangan kemiskinan, tapi Maduro tidak memiliki daya yang setara dengan Chavez. Negara yang dulu menjadi rujukan orang-orang pro sosialisme di Indonesia itu kini luluh lantak karena pelaksanaannya sendiri memerlukan upaya yang lebih dari sekadar teori.

Orang-orang kiri sibuk memikirkan teori sosialisme, sedangkan di luar sana Venezuela, yang berusaha mati-matian membuktikan pada dunia cita-cita kaum leftist kini sudah mati. Maduro sudah ditentang oleh banyak negara dan dipersilahkan untuk mundur. Bahkan dari sekian banyak negara di Amerika Latin, hanya Meksiko yang menaruh dukungannya untuk Maduro. Sisanya, termasuk Amerika Serikat mendukung Juan Guaido dalam memperjuangkan hak-hak rakyatnya.

Ketergantungan akan migas membuat Venezuela berlutut melawan tantangan zaman. Ketika negara-negara lain bangkit dengan tangan menggenggam inovasi-inovasi baru dan industri maju, Venezuela bahkan hanya bisa menggunakan migas untuk bernapas. Bahkan dengan sikapnya yang Anti-Amerika membuat Venezuela terisolasi dari berbagai kemajuan.

Kejatuhan Venezuela mengingatkan saya pada novel Tortilla Flat karya John Steinbeck yang terbit pada 1935. Tortilla Flat atau Dataran Tortilla menceritakan bagaimana Danny, seorang non-konformis mendapatkan harta warisan berupa sebuah rumah dari kakeknya. Danny, sebagai seorang pemuda pemabuk tidak memiliki pekerjaan tetap, ia bahkan hidup mengandalkan apa yang ia temui.

Danny dan kawan-kawannya sama-sama keblinger dan hidup hanya mengandalkan apa yang ia temui dan barang-barang yang melekat di tubuhnya. Bahkan diceritakan teman-temannya menjual pakaian yang mereka kenakan untuk segalon anggur. Segalon anggur habis dan mereka mabuk di selokan.

Galon anggur kedua habis, ketiga tandas, sampai belasan kali. Begitu pun dengan pakaian dan harta benda mereka, hingga Danny bahkan menyewakan rumahnya hanya untuk membeli beberapa galon anggur.

Tapi kemudian rumah Danny terbakar habis, Danny mati dalam perkelahian, dan teman-temannya kembali miskin. Begitulah yang terjadi dalam konteks sosial-politik dan pemerintahan Venezuela, dimana negara kaya akan minyak itu hanya mengandalkan migas sebagai pendapatan utama. Tanpa adanya inovasi dan pengembangan ekonomi di berbagai sektor hanya akan menjerumuskannya ke dalam kejatuhan.

Seperti Danny dan kawan-kawan, Venezuela di masa Maduro sedang dalam kejayaan karena keberlimpahan minyak berfoya-foya. Tidak salah, karena Venezuela menyumbangkan sebagian besar uang hasil minyak buminya untuk pendidikan, kesehatan dan pelayanan masyarakat.

Tapi untuk jangka panjang, Venezuela hampir tidak memiliki apa-apa. Maka, ketika minyak bumi mengalami krisis, migas mengalami kendala, hingga pengelolaan ekonomi yang semrawut, Venezuela kelimpungan, masuk ke dalam selokan.

Seperti rumah Danny, kota-kota terbakar. Seperti kawan-kawan Danny, mereka kembali jatuh ke dalam ketidaksiapan hidup. Masyarakat membakar mobil, merobohkan tiang-tiang di jalanan, Venezuela kembali dicekam oleh kecemasan dan kemarahan.

Venezuela tidak lagi sekarat di dalam selokan seperti Danny yang terlalu banyak minum, ia sudah mati dalam perkelahian melawan tuntutan zaman. Mungkin yang sekarang perlu ditanyakan pada masyarakat Venezuela adalah : “Apa kalian ingin membebaskan diri dari sosialisme kemudian merangkul demokrasi seperti Wadiya, atau kembali ke dalam keterpurukan sebagaimana Danny dan kawan-kawan hanya hidup untuk hari ini;bukan hari esok?”

Azi Satria
Azi Satria
Bekerja sebagai komikus dan ilustrator. Senang mendiskusikan sastra, sejarah dan manusia. Menulis ketika senggang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.