Fiat justitia ruat coelum. Sekalipun esok langit akan runtuh, meski dunia akan musnah, atau walaupun harus mengorbankan kebaikan, keadilan harus tetap ditegakkan.
Dalam teori hukum kontemporer, yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum yang menjadi pilar fundamental bagi hakim untuk dapat memutuskan suatu peristiwa konkrit berdasarkan prinsip keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.
Dalam sejarah tata negara dan hukum di Indonesia yurisprudensi mengalami diskursus yang panjang dan kerap kali dikesampingkan dalam pemberian keputusan lantaran Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem civil law. Sebagai bagian dari asas konkordansi Eropa kontinental sejak era kolonial, sedangkan yurisprudensi merupakan bagian dari tradisi hukum civil law yang populer digunakan oleh negara-negara Anglo Saxon.
Karena itu yurisprudensi kerap dikesampingkan dan jarang digunakan dalam penataan hukum dan pembuatan keputusan oleh hakim di Indonesia. Namun sejarah yurisprudensi di Indonesia pernah mengalami zaman yang mencerahkan pada era 1980-an tepatnya pada tanggal 8 Agustus 1893 melalui putusan hakim Bismar Siregar yang berpotensi menjadi sebuah yurisprudensi dan pedoman hukum bagi hakim-hakim berikutnya lantaran masih terdapat kekosongan hukum yang tajam.
Pada masa itu hakim Bismar Siregar membuat analogi hukum dengan memanfaatkan pengertian hukum perdata untuk digunakan dalam kasus hukum pidana yang kemudian menjadi sebuah gebrakan hukum (law breaking) yang dapat menjadi pedoman bagi hakim berikutnya dalam memutuskan peristiwa serupa. Meski pada akhirnya putusan ini dibatalkan melalui pengadilan tinggi dalam banding lantaran dinilai telah beranalogi dan tidak sesuai dengan muatan Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Namun, putusan hakim Bismar Siregar tetap merupakan salah satu pencapaian tinggi yang patut diapresiasi dan perlu untuk dikaji kemanfaatannya.
Kronologi Kasus
Putusan legendaris hakim Bismar berawal dari kisah Martua Raja Sidabutar yang dihadapkan ke persidangan lantaran menolak bertanggungjawab atas perbuatannya terhadap Katharina Boru Siahaan.
Martua yang sebelumnya ialah kekasih Katharina, memberikan janji untuk menikahi dan memenuhi segala kebutuhan Katharina. Atas dasar janji tersebut, Katharina bersedia memenuhi keinginan Martua untuk melakukan persenggamaan layaknya suami istri di luar pernikahan. Namun, belum sampai ke pernikahan, Merasa tak dipenuhi janjinya dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan. Katharina yang tidak terima lantas melakukan penuntutan ke meja hijau.
Penuntut umum berupaya menjerat Martua dengan dakwaan kumulatif. Tuduhan pertama berbuat cabul dengan orang di bawah umur (Pasal 293 KUHP), dakwaan kedua penipuan (Pasal 378 KUHP), dan dakwaan ketiga membuat perasaan tidak senang (Pasal 335 KUHP).
Namun terdapat kesulitan dalam pemenuhan unsur rumusan ketiga pasal. Pertama, lantaran keduanya telah dewasa dan hubungan senggama dilakukan tanpa unsur paksaan. Kedua, perjanjian antara Martua dan Katharina tidak tertulis sehingga tidak dapat dibuktikan. Dalam keadaan demikian, tidak terdapat pasal yang secara tekstual dapat menjerat Martua.
Namun, melepaskan Martua sama artinya dengan mencoreng rasa keadilan. Lantaran perbuatan Martua telah secara materiil merugikan Katharina. Untuk itu, Bismar mempertimbangkan dakwaan penuntut umum dengan dibaca secara alternatif.
Bismar mengambil jalan ‘memutar, dengan ekstensifikasi penafsiran kata “barang” yang digunakan dalam hukum perdata, dan memasukan “jasa” sebagai bagian dari pengertian barang tersebut. Hubungan senggama antara terdakwa dan korban telah menguntungkan terdakwa, karena itu juga sudah menerima “jasa” dari korban.
Majelis banding berpendapat Katharina telah mengizinkan Martua bersenggama dengannya dengan harapan akan dinikahi setelah melakukan persenggamaan. Menurut majelis banding, persenggamaan itu memberikan keuntungan kepada Martua. Oleh sebab itu, majelis banding berpendapat Martua telah menerima suatu jasa dari Katharina.
Jika merujuk pada konsep hukum perdata, perikatan hukum demikian batal demi hukum karena bertentangan dengan undang-undang, sehingga meski terdapat cedera wanprestasi oleh terdakwa, hal tersebut tak dapat digugat ganti rugi oleh Katharina.
Akan tetapi Bismar berpendapat, bahwa dalam hukum pidana, perbuatan cidera janji tetap dapat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa. Berdasarkan pertimbangan hukum itulah, majelis hakim berpendapat unsur memberikan atau menyerahkan barang tertentu terbukti.
Dengan kata lain, seluruh unsur dalam dakwaan Pasal 378 terbukti secara sah dan meyakinkan. Lantaran dakwaan kedua dinilai terbukti, maka dakwaan ketiga dipandang terbukti. Sehingga amar putusan menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara, yang berarti 10 kali lipat dari vonis hakim tingkat pertama. Bismar melakukan langkah berani dengan memanfaatkan penafsiran hukum perdata untuk memutus perkara pidana demi mencapai keadilan substantif.
Meski pada akhirnya, putusan berani Bismar yang oleh banyak sarjana dinilai mampu menjadi suatu yurisprudensi dalam upaya perlindungan perempuan di masa mendatang ini dibatalkan, namun diskusi tentang keabsahan putusan ini tetap terus berlanjut.
Di satu sisi, Bismar telah melakukan penerobosan (law breaking) terhadap asas legalitas, yang dalam konsep positivisme Indonesia adalah hal yang tidak dapat diterima. Namun disisi lain, putusan Bismar mampu secara lebih baik mendekati asas keadilan dan kemanfaatan, meski harus mengorbankan asas kepastian dalam prosesnya. Karenanya, putusan ini bernilai substansial.
Hukum dan Perlindungan Kemanusiaan
Dalam tradisi negara-negara yang menganut sistem common law, hakim terikat kepada putusan hakim yang terdahulu (precedent), sehingga ratio decidendi yang terdapat dalam putusan sifatnya mengikat untuk kasus serupa yang terjadi di masa mendatang.
Meski Indonesia adalah negara yang lebih dekat tradisi hukumnya pada civil law, namun yurisprudensi tetap diakui sebagai sumber hukum yang sah, setidaknya dapat menjadi pedoman bagi hakim dalam memutus suatu perkara.
Dalam kacamata Prof. Satjipto Rahardjo, dalam putusanya Bismar mengandalkan hati nurani. Jika ia dihadapkan kepada sebuah kasus, ia bertanya kepada nuraninya terlebih dahulu tentang salah atau benar, Bismar mencari rumusan dalam undang-undang yang ada, jika tidak ditemukan, sebagai hakim, ia membuat penafsiran. Bismar cenderung berupaya mewujudkan hukum yang berkeadilan substansial, dan bukan keadilan yang prosedural.
Dalam pandangan penulis, sejumlah faktor yang mempengaruhi pola penafsiran Bismar adalah bukan sistem, struktur, birokrasi peradilan, maupun kekuatan ekstra-yudisial lainya, melainkan faktor nilai-sikap, ideologi, keyakinan dan intuisinya sebagai penegak hukum.
Hal itu terlihat dengan jelas dalam nilai-nilai yang termuat di dalam keputusanya. Pertama, Bismar berani menyuarakan hati nurani masyarakat marginal atau yang tidak berdaya (powerless), dikala sebagian besar hakim masih terbelenggu oleh sistem, struktur dan birokrasi peradilan.
Kedua, Bismar berani menerapkan hukum bukan berdasar bunyi perkataannya melainkan berdasarkan jiwa atau semangat yang terdapat di belakangnya. Hal Ini membuat Bismar dapat melakukan penciptaan hukum dan pembaharuan Hukum. Ketiga, Bismar berani melakukan penciptaan hukum dengan melandasi putusan-putusannya pada nilai-nilai agama terutama agama islam yang dianutnya, dan hukum adat dikala sebagian besar orang menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang tabu.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa yang dilakukan Bismar sejatinya karena ia memiliki sikap dan komitmen moral yang tinggi pada rasa keadilan dalam tatanan kehidupan masyarakat sebagai tanggung jawabnya menjalankan tugasnya sebagai panggilan dedikasi negeri. Bismar menerapkan politic judicial activism bukan judicial restraint; dan karena Itu pula maka Bismar tidak termasuk hakim yang bertipe logikal yang terikat pada ketentuan formal dalam peraturan perundang-undangan (stare decisis), melainkan tipe rasional-psikologis.
Asas Legalitas: Bagaimana dengan Kekosongan Hukum?
Eksistensi asas legalitas sebagai muatan inti dan pertama dalam KUHP telah mengkerdilkan kemampuan hakim dalam usaha menemukan hukum. Hakim dilarang untuk menolak mengadili perkara dengan alasan tidak ada undang-undang yang mengaturnya, namun disaat yang sama tindak pidana harus termaktub dalam undang-undang.
Sedangkan, undang-undang tidak selamanya lengkap dan dapat diimplementasikan secara paripurna menghadapi gejala kasus konkret di masyarakat yang variatif. Untuk itu, kekosongan hukum adalah isu fundamen yang menjadikan asas legalitas sebagai fragmen yang ber-diskursus antara kepentingan kepastian dan pencapaian keadilan substansial.
Penemuan hukum pidana yang dilakukan oleh Bismar Siregar dilakukan berdasar pada sifat melawan hukum dalam fungsi positif. Sifat melawan Hukum dalam fungsi positif yaitu apabila perbuatan yang dilakukan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi nilai-nilai masyarakat perbuatan tersebut dianggap sebagai tindak pidana, maka dapat dipidana.
Pengaplikasian nilai-nilai di dalam masyarakat dapat menjadi alasan logis bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum pidana. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan ini dapat menjadi alasan pembenar atas penggunaan norma-norma di dalam masyarakat sebagai dasar untuk menentukan keadilan sesuai kehendak masyarakat.
Dalam hal keadaan perbuatan yang diajukan kepada pengadilan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana, namun nilai di dalam masyarakat mengatakan bahwa perbuatan tersebut termasuk perbuatan amoral dan patut dipidana, maka nilai-nilai tersebut dapat menjadi alasan logis bagi hakim untuk menjatuhkan putusan berdasarkan hati nurani.
Landasan dasar inilah yang menjadi pertimbangan hakim untuk menggunakan hukum tidak tertulis sebagai sarana untuk mengisi kekosongan hukum pidana guna mencapai keadilan substantif. Bukankah dalam menerapkan hukum selalu berkeadilan atas nama Tuhan yang maha esa?
Dalam status quo, mempertahankan asas legalitas sekaligus nilai-nilai atau hukum tak tertulis di masyarakat menjadi sangat penting karena kedua hal tersebut merupakan syarat utama dalam menentukan sifat melawan hukum materiil.
Sifat melawan Hukum materiil sangat urgentif sebagai dasar untuk melakukan penemuan hukum pidana saat menghadapi kekosongan hukum. Hakim dalam mengakomodir hukum tak tertulis harus dilandasi dengan argumentasi hukum yang rasional.
Meski demikian, hakim tetap merujuk pada peraturan perundang-undangan pidana untuk menjerat pelaku secara hukum. Argumentasi hukum tersebut harus dicantumkan dalam putusan sebagai wujud pertanggungjawaban hakim kepada pelaku, korban, dan masyarakat. Adanya argumentasi hukum yang rasional dalam penemuan hukum pidana hakikatnya bertujuan untuk mencapai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
Kewajiban mempertahankan asas legalitas dalam penemuan hukum pidana menunjukkan orientasi terhadap pencapaian kepastian hukum. Hakim dalam melakukan penemuan Hukum berdasar pada hukum positif yang diketahui oleh masyarakat umum sehingga dapat diterima secara rasional. Sedangkan pengakomodiran hukum tak tertulis masyarakat dalam Penemuan hukum pidana merupakan wujud untuk mencapai keadilan.
Hakim ketika menghadapi kekosongan hukum pidana harus menggali hukum tak tertulis untuk mendalami urgensi keadilan masyarakat. Terdapat suatu keterkaitan dalam hal ini, suatu teori ukuran keadilan yaitu ukuran relatif.
Keadilan harus ditempatkan ditempatkan atas dasar relatif yang berarti keadilan akan berbeda-beda sesuai perbedaan tempat dan waktu. Tiap-tiap kasus yang dihadapi hakim mempunyai keunikan tersendiri sehingga tidak bisa disama ratakan meskipun kasus yang sama.
Ukuran keadilan ditentukan berdasarkan nilai-nilai atau hukum tak tertulis dari pelaku maupun korban. Tentu saja ukuran keadilan ini akan berbeda apabila dihadapkan pada tempat, pelaku, korban, waktu yang berbeda sekalipun kasus serupa. Setiap budaya dari pelaku dan korban akan membawa ukuran keadilan yang berbeda. Hakim seyogyanya jeli dalam mendalami hukum tak tertulis tersebut agar dapat menentukan keadilan sesuai kehendak korban dan pelaku.
Relasi Hukum dan Etika
Perzinahan jelas melanggar etika, moral, agama meski sekalipun tidak ada aturan di peraturan perundang-undangan yang secara legal mengikat. Prof. Jimly Asshiddiqie juga mengutip kalimat Warren ketika membahas hubungan antara hukum, etika, dan agama. Hubungannya dapat berupa luar-dalam atau luas-sempit.
Dalam relasi pertama, hubungan hukum, etika dan agama laksana nasi bungkus. Hukum itu adalah bungkusnya, sedangkan nasi beserta lauk pauknya adalah etika dan segala zat protein, vitamin yang terkandung di dalamnya adalah agama. Dalam hubungan kedua, etika lebih luas dari hukum yang lebih sempit.
Oleh karena itu setiap pelanggaran hukum dapat dikatakan juga merupakan pelanggaran etika, tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Etika itu lebih luas, bahkan dapat dipahami sebagai basis sosial untuk bekerjanya sistem hukum. Jika etika diibaratkan sebagai samudera, maka kapalnya adalah hukum. “Law floats in a sea of ethics”, kata Warren.
Etika secara umum didefinisikan sebagai nilai dan norma moral yang menjadi pedoman bagi seseorang atau kelompok dalam berperilaku. Etika dalam realitasnya berada di luar hukum bahkan boleh dikatakan terpisah dari hukum, namun dapat menjadi inspirasi atau sumber dalam pembentukan hukum.
Oleh karena itu, menempatkan etika sebagai hukum tergantung pada bagaimana memberikan definisi hukum. Ketika definisi hukum sebagai perintah, larangan dan sanksi yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang legitimate, maka etika menjadi tidak termasuk dalam definisi hukum tersebut.
Selain itu, hukum juga dapat dibedakan sebagai hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Ketika hukum didefinisikan sebagai hukum yang tertulis dalam arti peraturan perundang-undangan maka etika tidak termasuk di dalamnya. Namun, ketika hukum didefinisikan sebagai hukum yang tidak tertulis, maka etika termasuk di dalamnya.
Etika menjadi sumber dari hukum. Orang yang melakukan pelanggaran etika belum tentu melanggar hukum tetapi orang yang melanggar hukum pasti melanggar etika. Hukum yang baik adalah hukum yang tidak mengabaikan etika.
Pengabaian etika dalam pembentukan hukum maka potensi untuk timbul masalah menjadi sangat besar. Etika dan hukum merupakan dua hal yang saling berkaitan. Etika merupakan tolak ukur sesuatu berdasarkan kesesuaiannya dengan nilai-nilai kebaikan, kesopanan dan kepantasan.
Sementara hukum merupakan penilaian benar atau salah yang umumnya berdasarkan norma tertulis. Ketika hukum hanya dipahami sebagai teknis prosedural dan formal, maka aspek etika sering terlupakan. Ada perbuatan yang dianggap melanggar hukum, tetapi secara etika masih dipersepsikan baik. Sebaliknya, ada perbuatan yang dianggap melanggar etika, tetapi secara prosedural dan formal tidak melanggar hukum. Dua hal ini perlu disinkronkan agar tidak terjadi dualisme antara pemaknaan etika dan hukum.
Masalah lain yang sangat signifikan adalah saat ini hukum banyak dipahami hanya sebagai teknik prosedural saja. Aspek keadilan dan etika dalam penegakkan hukum kadang terabaikan. Banyak yang melanggar etika dan moral tetapi masih merasa belum bersalah karena tindakannya belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Hukum kemudian menjadi sarana untuk mencari kemenangan di dalam berperkara di pengadilan. Hukum tidak lagi menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan, kebenaran dan ketertiban di masyarakat. Setiap aturan bersifat abstrak karena sifatnya umum dan bersifat pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum jika tidak terjadi peristiwa konkrit.
Hakim mempunyai peranan yang fundamental untuk mendekatkan antara moral dan hukum. Seorang hakim harus memahami substansi hukum (learned in law) dan terampil dalam menerapkan hukum (skilled in law) hingga dapat menjadikan ilmu hukum sebagai pengetahuan praktis (applied science), memberi nyawa dan hidup pada pasal-pasal undang-undang dan peraturan.
Hakim mempunyai kewenangan yang sangat strategis melalui putusan-putusan yang dibuatnya untuk mengkombinasikan antara pelanggaran moral dan penegakkan hukum, sehingga keduanya dapat saling terakomodir dengan baik.