Masih ingatkah kita tentang kisah kekasih Tuhan, Ibrahim, salam sejahtera untuknya? Kisah utusan Tuhan yang sarat pelajaran moral dan pengalaman beragama. Jejak-jejaknya masih kentara, jelas dan membekas. Tak pernah memudar sampai hari ini. Tak lekang dimakan zaman. Abadi sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Sebuah drama kolosal dalam peradaban dunia. Diingat terus dan melegenda sepanjang masa. Bukti kebesaran dan keagungan Tuhan, Yang Maha Mencipta. Tatkala Ibrahim yang tidak percaya Tuhan, seorang ateis. Berkelana dengan nalar kritisnya mencari Tuhan. Sembari membawa tanya filosofis, “Ah, apa Tuhan itu ada?”
Tatkala sampai pada puncak pencariannya, menetapkan hati. Ia menghentikan jejak pencariannya, menemukan Tuhan yang sebenarnya. Tuhan yang harus diyakini. Bertawhid. Percaya dan yakin akan Tuhan yang maha esa. Tiada sekutu bagi-Nya. Berawal dari ateis menjadi monoteis sejati.
Kisah pengalaman beragama (religious experience) dan perjalanan spiritual (spiritual journey) Ibrahim ini, sekilas hampir serupa dan mengingatkan kita pada sebuah novel filsafat “Hayy Ibn Yaqzan” yang ditulis oleh seorang filsuf Islam, Ibn Thufail.
Tatkala Ibrahim menjalani semacam proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) atau semacam proses verifikasi dari kebenaran dan keteguhan keyakinannya. Sempat dengan nalar kritis dan pemberontakan metafisisnya, ia melawan kepercayaan dogmatis dan politis penguasa tirani Babilonia ketika itu.
Sempat juga mendapat ujian keyakinannya yang hakiki lewat sebuah mimpi yang absurd dan sayangnya tidak ditakwilkan lebih dulu (menurut Ibn Arabi, dalam Fushus Al-Hikam). Padahal sejatinya mimpi berada di alam imajinasi: Perintah menyembelih putranya tercinta, Ismail. Walaupun begitu justru ia berhasil melewatinya.
Yang pada gilirannya melahirkan sikap kepasrahan dan penyerahan diri secara total itu. Ia adalah the real of role model berislam yang hanif. Tatkala datang gelap. Saatnya malam menyapa. Ibrahim melihat bintang gemintang. Bercahaya di langit. Menghias angkasa. Panorama indah memukau. Dia mengira, itu adalah tuhannya. Tapi ia ragu, saat bintang tenggelam dan lenyap. Tuhan tidak mungkin seperti itu. Menghilang dan lenyap.
Tatkala ia melihat bulan. Bentuknya lebih besar dan cahayanya lebih terang dibanding bintang. Ia menganggap tuhannya. Tapi ia juga ragu, sebentar saja bulan pun tenggelam dan lenyap. Ini pasti bukan tuhan. Tuhan tidak mungkin seperti itu. Menghilang dan lenyap
Tatkala matahari menampakkan wajahnya di pagi hari. Lebih besar lagi dan menyeruakkan sinarnya yang panas. Matahari pun dikira tuhannya. Tapi lagi dan lagi ia ragu. Saat di sore hari matahari menyembunyikan wajahnya. Sinarnya mulai meredup. Seiring gelap pun menyeringai. Ini pasti bukan tuhan. Tuhan tidak mungkin seperti itu. Menghilang dan lenyap. Pasti Tuhan bukan itu semua.
Tatkala Ibrahim bertanya pada ayahnya, Azar. Tentang patung-patung itu. Dibuat sendiri lalu disembah. Padahal tidak bisa berbuat apa-apa sama sekali. Salah besar percaya pada patung-patung itu. Laku yang bodoh, pikirnya. Ini pasti bukan tuhan. Tuhan tidak mungkin seperti itu.
Tatkala ia hancurkan berhala dan patung-patung itu. Marah besar raja Namrud. Ibrahim diikat dan siap dilemparkan ke api yang berkobar. Dibakar hidup-hidup. Lalu muncul sebuah keajaiban dari Tuhan yang melampui batas rasio dan kebiasaan (baca : mukjizat): api menjadi dingin. Ibrahim tak terbakar. Ia tetap utuh dan hidup. Drama yang menegangkan dan seakan-akan absurd. Tapi terselip sebuah pesan iman bahwa kehendak dan kekuasaan Tuhan di atas segalanya.
Sebuah resiko pemberontakan nalar kritis atas tradisi dan kepercayaan dogmatis dan politis saat itu. Ia memang melawan arus. Melawan kezaliman. Untuk sebuah keyakinan. Keyakinan pada Tuhan yang hakiki. Tiada tuhan selain Tuhan itu sendiri (terjemahan “la ilaha illa Àllah” versi Cak Nur).
Tuhan yang esa. Tak terlihat tapi bukan berarti tidak ada. Tak teraba tapi bukan berarti tak terasa. Gaib tapi bukan berarti tidak nyata. Dialah Allah, Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Agung. Tapi belum selesai sampai di situ. Tatkala Tuhan mengujinya dengan yang lebih lagi. Tuhan berfirman kepada Ibrahim lewat sebuah mimpi dan memintanya untuk menyembelih putra kesayangannya, Ismail. Yang sedang beranjak remaja. Konon, berusia 13 tahun.
Putra yang lama sekali ia nantikan kehadirannya. Bertahun-tahun penantian itu sampai kepalanya memutih dipenuhi uban. Kini ia dihadapkan pada ujian keimanan dan kepatuhannya secara total melampui rasa kemanusiaannya.
Ia penuhi perintah Sang Pencipta itu. Ia jawab dengan pasrah dan tawakal. Tak perlu tanya pada titah Tuhan. Menyerahkan diri sepenuhnya. Ia telah yakin seyakin-yakinnya. ‘Ainul yakin. Keyakinannya tak tergoyahkan oleh apa dan siapa pun. Bisikan setan sekalipun.
Tatkala pedang terhunus tepat di leher Ismail. Tuhan menggantinya dengan domba yang gemuk. Pesan bahwa pengorbanan manusia oleh manusia tidak dibenarkan. Itu mencederai nilai kemanusiaan. Ibrahim telah mengajarkan kita tentang berislam. Pengalaman beragama dengan lurus dan menyeluruh. Pasrah dan menyerahkan diri sepenuhnya.
Hikmah itu menjadi abadi. Pesan profetiknya terus bergulir. Sepanjang waktu. Sampai hari ini. Kita pun masih menapaktilasi jejak–jejaknya. Menyaksikan artefak-artefak dan sisa-sisa warisan peninggalan sejarahnya. Dalam ritual dan manasik haji. Di Mekkah, tanah yang suci dan dihormati. Berkurban di hari Idul Adha dan hari-hari tasyrik, 11, 12 dan 13 Dzulhijah.
Berhaji dan berkurban memiliki tujuan yang sama. Untuk niat mendekatkan diri pada Allah. Tuhan yang menciptakan alam semesta dan semua yang ada. Tanpa terkecuali. Bertawhid. Inilah pelajaran berharga dari sang bapak monoteisme (abu al-tawhid). Salam sejahtera untuk keduanya, Ibrahim dan putranya, Ismail.
Sebagai rujukan, Alquran surat Al-An’am [6] : 74 – 79, Al-Anbiya [21] : 52 – 69. Al-Baqarah [2] : 3, As-Shaaffat [37] : 102 – 109, Al-Kautsar [108] : 2.