Jumat, Februari 7, 2025

Jebakan Mood Swing

Septian Pribadi
Septian Pribadi
Peneliti di Badan Litbang dan Inovasi (BLI) di Tebuireng Media Group dan tertarik pada fenomena sosial, kebudayaan, pendidikan, dan keagamaan.
- Advertisement -

Ketika menulis cerita ini, kondisi hati saya sedang tidak nyaman. Seorang kawan menghubungi saya dan menceritakan kisah perselingkuhannya dengan suami orang. Kisah yang mungkin dianggap biasa baginya karena kasus semacam ini sudah menjadi sego-jangan (konsumsi sehari-hari) yang bisa kita dapatkan di era rezim media sosial.

Sebagai kawan yang baik, saya mencoba mendengarkan ceritanya dengan tetap mencoba santai dan tidak berekspresi berlebihan. Ini sebagai wujud profesionalitas dalam mendengar curhatan, agar si pencerita tidak merasa tertekan saat menceritakan kisahnya, meski di hati saya bergejolak ingin menasihatinya. Tahan!

Justru yang bikin saya terkejut bukan soal cerita perselingkuhannya tapi motif dia kenapa kok mau dengan suami orang? Padahal dia bilang sendiri, dia tidak cinta dengan selingkuhannya. Secara ekonomi, kawan saya ini sudah mapan dan cukup untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan sedikit keinginan-keinginan duniawi lainnya.

Dia bilang, “aku mau sama dia tanpa alasan, ya pas lagi mood aja.” Apa? Mood? Hanya karena mood? Oh my God…

Mood Swing

Beberapa tahun terakhir, istilah mood swing sering dipakai oleh generasi Z dalam menarasikan perubahan hatinya dalam menghadapi peristiwa. Istilah yang booming pada tahun 2016 ini sebetulnya normal-normal saja bagi setiap manusia. Bahkan oleh para dokter dan pakar psikologi, mood swing tidak dianggap sebagai suatu penyakit mental berat seperti bipolar atau sejenisnya.

Kembali pada kawan saya. Dalam ceritanya ia mengatakan bahwa pacaran dengan suami orang ia lakukan setelah sekian tahun menjomblo. Lalu ada partner kerjanya yang mendekatinya dan dia tahu dia sudah memiliki istri. Ya dasar lelaki separuh buaya, ia merayu kawan saya untuk menjadi pacarnya. Gayung bersambut, kawan saya ini lalu mengiyakan meskipun harus berpacaran sembunyi-sembunyi.

Kasus mood swing banyak terjadi di generasi Z, bahkan juga sering terjadi di generasi-generasi pendahulunya. Seperti kawan saya yang masuk kategori generasi Milenial, ia berseloroh mood-nya hilang ketika hendak makan hanya karena melihat kecoak berjalan santai di depannya, tepat di depan piring makan yang hendak ia santap.

Saya merasa ganjil dengan mood swing, kenapa istilah itu kemudian menjadi amat mudah dipakai banyak orang hanya untuk melegalkan perbuatannya dan seolah memaksa orang-orang di sekitarnya untuk memaklumi.

Betapa akan hancur tatanan kehidupan ini hanya karena mood swing. Betapa banyak transportasi hancur dan korban berjatuhan karena seorang operator maskapai penerbangan dan kereta api enggan mengatur arus lalu lintas yang sedang nggak mood karena putusan MK terkait ketentuan usia wakil presiden.

Bagaimana jika banyak bayi stunting karena tidak tercukupi ASI di masa pertumbuhannya karena seorang ibu yang melihat suaminya pulang dengan kondisi kumel dan berbau apek karena kepulan asap dari rokok yang ia hisap di tempat kerja. Lalu ia nggak mood menyusui anaknya yang sedang kehausan dan kelaparan.

- Advertisement -

Akan banyak rumah tangga yang dibangun dengan sekian banyak uang, darah, keringat, dan pengorbanan akan hancur hanya karena mood swing kawan saya tadi. Betapa mengerikan mood swing dalam menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Tak Sepadan

Sebetulnya mood swing tidak menjadi perkara besar dalam dinamika kehidupan kita sehari-hari selama istilah tren ini tidak terpatri dalam diri dan mampu mengelolanya. Saya sendiri sering kali mengalami mood swing dalam kehidupan sehari-hari dan memang menyebalkan.

Alkisah, orang tua saya sudah tidak produktif di usia senjanya. Oleh karena itu, mereka tidak memiliki pendapatan. Otomatis, sebagai anak yang masih produkif, merawat orang tua adalah tanggung jawab anak. Dengan pendapatan saya yang pas-pasan dan juga memiliki istri dan anak, sejumlah uang saya siapkan untuk dipakai orang tua. Ya sekedar untuk makan sehari-hari, yang penting tidak sampai kekurangan gizi.

Suatu ketika ada seorang tamu datang ke rumah dan menawarkan se-kresek buah. Dengan dalih iba, orang tua saya kemudian membelinya meski sebetulnya tidak butuh. Oke, saya mencoba memaklumi perasaan iba itu. Ternyata, kejadian itu berulang kali dengan wujud barang yang berbeda-beda. Dan orang tua saya tidak membutuhkan itu.

Prilaku orang tua saya ini kemudian berpengaruh pada kesehatan keuangannya yang memang bergantung pada saya. Ngambek lah saya. Tentu saja akan banyak uang yang harus saya keluarkan lagi, padahal sudah diatur dan dihemat sedemikian rupa. Bahkan saya sempat berniat untuk tidak memberi uang sama sekali, meski niat itu saya urungkan. Karena saya memahami, bahwa kebahagiaan orang tua di usia senja hanya tiga: beribadah, main sama cucu, dan menolong siapa pun yang bisa dia tolong. Meski memahami, saya kemudian tetap mengajak mereka berbicara baik-baik.

Andai saja, mood swing itu kemudian saya turuti, mungkin saja saya masuk portal berita yang banyak beredar di media sosial, “orang tua menjadi gelandangan karena anaknya enggan memberi uang”.  Atau mungkin portal berita yang pakai judul bar-bar, “orang tua mati di kolong sampah karena anak enggan merawat.” Ajurr tenan.

Banyak sekali peristiwa-peristiwa di kehidupan kita yang berdampak buruk bahkan sangat buruk, apabila kita menuruti mood swing. Betapa tidak sepadan, keegoisan diri yang merupa dalam mood swing merobohkan tiang-tiang kehidupan banyak orang. Mengguncang keharmonisan antar sesama. Jadi, bullshit soal mood swing!

Dalam posisi ini, saya sendiri amat takut apabila ada penguasa dan pemimpin bangsa mengotak-atik kebijakannya hanya karena sedang tidak mood oleh kelakukan masyarakatnya sendiri yang membuatnya jengkel. Lalu dengan dalih mood swing, ia melakukan tebang pilih untuk menyejahterakan masyarakat tertentu yang menjilat dan membuat mood-nya bagus.

Betapa mengerikannya mood swing yang terlihat remeh lalu merobek nilai-nilai keadilan dalam proses demokrasi di negeri ini. Ah, kayaknya beberapa pejabat kita nyatanya memang begitu kan? Hahaha.

Septian Pribadi
Septian Pribadi
Peneliti di Badan Litbang dan Inovasi (BLI) di Tebuireng Media Group dan tertarik pada fenomena sosial, kebudayaan, pendidikan, dan keagamaan.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.