Jumat, Oktober 4, 2024

Jargon Ideologis di Balik Komentar #CrazyRichSurabayans

gloria dolorosa
gloria dolorosa
Mahasiswa Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada

Film drama komedi Crazy Rich Asian memicu maraknya diskusi di media sosial soal orang-orang super kaya di Indonesia. Tengok saja ratusan tweet di media sosial Twitter yang memproduksi cerita soal orang-orang terlalu kaya di di Indonesia, salah satunya di Surabaya. Tweet dengan hashtag #CrazyRichSurabayans jadi trending topic di Twitter sejak film Crazy Rich Asian tampil di layar bioskop.

Tweet yang dilemparkan kebanyakan berasal dari guru les anak-anak dari orang super kaya atau orang-orang yang pernah berkomunikasi dengan para orang super kaya di Surabaya. Narasi yang muncul mengenai gaya hidup para orang super kaya, termasuk cara mereka membelanjakan uangnya. Sebut saja, cerita soal suntik imunisasi di Jepang, belanja properti di kota-kota besar, main seharian di Singapura, hingga membangun mal untuk kado ulang tahun anaknya.

Cerita-cerita itu memikat lantaran perilaku segelintir orang-orang super kaya itu di luar perilaku “normal”. Mereka diposisikan sebagai “yang lain”. Knight Frank Indonesia memperkirakan ada 22.918 ultra high net worth individual di Indonesia yang memiliki kekayaan di atas 5 juta dollar AS hingga di atas 500 juta dollar AS per individu (Crazy Rich Indonesians “Belanja Properti di Singapura hingga Sydney”, Kompas.com, 18 September 2018). Hitungan kasarnya, jumlah orang ini hanya 0,0086% dari perkiraan total penduduk Indonesia tahun ini yang sebanyak 265 juta.

Lebih menarik lagi menyimak komentar-komentar warga Twitter soal perilaku orang super kaya ini. Tidak hanya komentar rendah diri karena merasa diri miskin, komentar motivasi terlontar dari sejumlah akun, salah satunya soal nasehat untuk bekerja keras agar bisa ikut kaya raya. Akun-akun lain ikut membenarkan bahwa hanya kerja keras dan usaha dengan tekad kuatlah yang dapat mengantarkan kita semua menjadi orang super kaya.

Tentu saja, nilai kehidupan “kerja keras supaya bisa kaya” tidaklah asing di telinga karena sejak kecil nilai itu sudah tertanam di benak kita. Pada praktiknya, kita rajin menyisihkan uang jajan untuk ditabung di celengan, berangkat kerja sejak subuh sebelum rezeki dipatok ayam, memilih jurusan sekolah yang lulusannya siap kerja (kalau perlu belum lulus sudah bekerja), hingga bersedia lembur kerja demi tambahan gaji.

Dalam konteks diskusi #CrazyRichSurabayan ini, jawaban perlunya bekerja keras sungguhlah ahistoris. Sebab, orang-orang berstatus ultra-super-kaya tidak “tiba-tiba” kaya raya dalam hitungan tahun. Mereka, mungkin sebagian dari mereka, adalah orang-orang kaya genealogis yang tumbuh dalam hitungan dasawarsa, bahkan berabad-abad lamanya. Buku Nasionalisme & Revolusi Indonesia karya George McTurnan Kahin setidaknya memberikan gambaran bagaimana kelas menengah di Indonesia terbentuk.

Mereka adalah nigrat Jawa dan orang-orang Cina yang diberi mandat oleh VOC pada abad ke-17 untuk menguasai tanah dan juga warga di tanah itu agar dapat memberikan hasil buminya buat VOC. VOC sebagai korporasi tunduk pada motif ekonomi kapitalis: menangguk kekayaan sebanyak-banyaknya dengan modal sekecil-kecilnya. VOC lantas mendayagunakan struktur kekuasaan pribumi dengan cara mempertahankan sekaligus memperkuat kedudukan dan kekuasaan kaum ningrat Jawa. Agar bangsawan pribumi ini menjadi kaki tangan VOC yang efektif dalam menjalankan sistem eksploitasi ekonomi VOC, mereka diberi kekuasaan luas dalam bidang ekonomi atas kaum petani.

VOC juga memberi kekuasaan kepada orang Cina yang sudah lebih dulu datang ke Pulau Jawa untuk berdagang. Bila tadinya orang Cina di Jawa hanya berperan sebagai perantara antara saudagar-saudagar besar dari Cina dan penduduk Jawa, maka di tangan VOC peran mereka diubah menjadi perantara antara VOC dan penduduk Jawa. VOC sampai menyerahkan bentuk monopoli untuk dikelola orang Cina, salah satunya mengumpulkan bea cukai. Orang Cina juga turut mengumpulkan komoditas lokal untuk kemudian diekspor oleh VOC. Kahin menulis dalam sistem tersebut, orang Cina menduduki posisi sangat penting yang kelak meluas ke posisi-posisi lain yang mulanya hanya diperuntukkan kepada kaum aristokrat Indonesia.

Singkatnya, ningrat Jawa dan orang Cina yang jumlahnya segelintir itu sudah menumpuk kekayaan sekian lama, bahkan sebelum Indonesia dibayangkan sebagai sebuah negara. Mereka mendapat kekuasaan yang kemudian dipertahankan, ditumbuhkan, dan diperluas hingga ke sektor lain.

Era kolonial selesai, ruang ekspansi mereka kian luas di tengah pasar yang semakin merekah, ditandai dengan gerak industri tanpa batas ala era Post-Fordism. Tidaklah mengherankan, para orang super kaya yang menumpuk kekayaannya sejak lama (old money) – yang mungkin sebagian darinya tengah diperbincangkan di media sosial saat ini –punya tanah di mana-mana dan tentu saja jejaring sosial dan politik yang luas di era neoliberalisme saat ini.

Maka, dengan mempertimbangkan sejarah kemunculan orang super kaya di Indonesia dan menyadari hidup kita di sistem neoliberalisme saat ini, apakah “kerja keras supaya menjadi kaya” masih relevan lagi direproduksi? Jangan-jangan, kita masih terjebak pada jargon ideologis “kerja keras supaya menjadi kaya” yang tidak kita sadari hanya untuk memacu diri guna membanting tulang demi menghidupi kelas penguasa?

gloria dolorosa
gloria dolorosa
Mahasiswa Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.