Minggu, Oktober 6, 2024

Jangan Sepelekan Orang Miskin

anen sutianto
anen sutianto
Penulis adalah penikmat buku-buku sosial keagamaan, sufistik dan pecinta kuliner. Berkhidmat di Kementerian Agama.

Keberadaan orang miskin dari hari ke hari semakin meningkat tajam. Secara mikro, di Jawa Barat saja, menurut catatan BPS, penduduk miskin lebih dari 4,2 juta jiwa. Belum lagi jika kita menengok angka kemiskinan di Indonesia pada umumnya. Pengamatan World Bank, dari 252 juta penduduk Indonesia, masih ada 28,6 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan kata lain, 40% dari mereka masih berada di sekitar garis kemiskinan nasional. Sungguh angka yang cukup memprihatinkan.

Keadaan tersebut tentu membuat kita mengurut dada dan menarik nafas dalam-dalam. Sebegitu parahkan kemiskinan di sekitar kita? Kemiskinan, paling tidak diakibatkan adanya anomali pembangunan yang hanya bergerak searah dengan kepentingan arus bisnis dan lingkup orang-orang kaya semata. Pembangunan tidak lagi menyisakan ruang yang terbuka bagi kepentingan masyarakat miskin.

Adanya spektrum power berlebih di bawah kendali para penguasa tak lain hanya bertujuan untuk melanggengkan posisi kekayaannya. Para penguasa asyik berkolusi dengan para pemegang modal (capital). Contoh yang paling kongkret adalah begitu mudahnya perizinan dan pendirian mal-mal atau “taman-taman beton” yang diperuntukkan hanya bagi kalangan elite di tengah-tengah penggusuran orang-orang miskin.

Maka jadilah suasana yang amat kontras, yakni kemiskinan mayoritas penduduk secara frontal dihadapkan pada kemewahan gaya hidup para elite penguasa. Para ilmuan sosial menyebut kondisi semacam ini dengan nama deprivasi. Suatu keadaan yang akan selalu menimbulkan keresahan  sosial  (social unrest). Dan pada gilirannya bermuara pada disintegrasi sosial. Dan yang lebih parah, kini munculnya pameo “orang kaya wajib dihargai, orang miskin harus rela dispelekan dan bahkan terpinggirkan lalu dibuang jauh-jauh”

Jasa orang miskin

Selama ini bermacam stigma yang disandang orang miskin, bahkan ada kecenderungan gejala melestarikan stigma secara sistemik akhir-akhir ini. Berbagai stigma yang dilekatkan pada diri orang-orang miskin, mulai dari pemalas, hina, kotor, awam, tidak terhormat, tidak berguna, dan bahkan adakalnya dianggap tidak berjasa bagi pembangunan. Sehingga hampir dapat dipastikan bahwa orang miskin kian dispelekan dalam kehidupan.

Ada satu analisis bersifat ironi yang cukup menarik dari seorang cendikiawan muslim asal Bandung, Jalaluddin Rakhmat atau kang Jalal (2001), ketika mengomentari jasa-jasa orang miskin: pertama,  melalui kemiskinan menyediakan tenaga kerja untuk pekerjaan-pekerjaan kotor, berat, berbahaya, tetapi dibayar murah. Orang miskin diperlukan membersihkan saluran air yang mampet, galian kabel, jaga malam, atau memelihara binatang milik orang kaya (pelayan tuan dan binatang sekaligus?). Di sisi ini orang miskin acapkali menjadi budak yang diperlakukan semena-mena.

Kedua, kemiskinan akan memperteguh status orang kaya. Acapkali orang-orang yang ber-uang sering menancapkan status kekayaannya sebagai prestise yang harus disanjung, dibanggakan, dihargai, dan dihormati. Sedangkan orang miskin, menjadi objek perbandingan status kehidupan sosial dan itu tak perlu mendapatkan perhatian atau lebih jauhnya dihargai. Seakan-akan adanya orang miskin hanya menjadi proyekisme yang akan menaikkan derajat dan martabat seseorang yang bergelimang dalam kekayaan.

Ketiga, orang miskin  bermanfaat untuk dijadikan tumbal pembangunan. Acapkali atas nama pembangunan, orang miskin dihilangkan hak azasi kahidupannya. Mereka semakin termaginalkan tanpa ada kompensasi yang sebanding. Mereka tergusur dan tergerus oleh kepentingan penguasa yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Padahal, bukankan mereka juga bagian dari rakyat yang perlu mendapatkan keadilan? atau jangan-jangan sekarang ini sudah berkembang bahwa orang miskin adalah the other dari rakyat?

Analisis tersebut tentu tidak mengajarkan untuk memandang ’miring’ terhadap orang miskin. Dengan menilai mereka selalu menjadi alat yang harus dimanfaatkan dan dieksploitasi. Dan menganggap keberadaan mereka menjadi alat menaikkan citra dan derajat dalam kehidupan. Atau juga  agen-agen jasa yang senantiasa dipojokkan menjadi objek semata yang perlu dilestarikan.

Analisis Kang Jalal sepatutnya atau paling tidak menjadi ‘cambuk’ dan bahan instrospeksi bagi kita untuk tidak lagi melihat orang-miskin dari sudut kerterpurukan lalu memperlakukannya dengan semena-mena. Karena disadari atau tidak, diakui atau tak diakui, perilaku kita selama ini ketika berhadapan orang miskin ternyata tidak jauh meleset dari analisis tersebut. Kalau tidak percaya, coba tanyakan pada nurani kita masing-masing!

Sudah saatnya kita memperhatikan kehidupan mereka secara lebih seksama dan penuh kesadaran. Tak cukup hanya menebar pesona dan simpati. Hanya dengan memberi sekedar sumbangan, lalu segala sesuatu berjalan seperti semula tanpa rasa empati terhadap penderitaan mereka. Tak cukup dengan turut prihatin atas kehidupannya, tapi di sisi lain praktek-praktek penggunaan jasa-jasa mereka secara eksploitatif masih terulangi.

Membangun optimisme

Melonjaknya penduduk miskin pertanda kehidupan sosial kita semakin surut ke belakang. Alih-alih zaman yang semakin maju, kehidupan sosial kita berbalik arah ke zaman purba dan bahkan primitif. Kehidupan orang miskin, bukan hanya secara sosial hak mereka menjadi terpinggirkan. Tapi secara budaya, hukum, politik, dan pendidikan pun hak-hak mereka menjadi terabaikan dan lambat-laun terhapus.

Garis demarkasi sosial yang ada tidak sepatutnya dipertajam. Ekslusifitas kehidupan sosial mestinya dilebur dalam keberagaman hidup. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin juga seharusnya dihilangkan. Dan stigmatisasi terhadap orang miskin pun wajib dihentikan dan dilawan bersama.

Dengan mengembalikan sisi moral-humanistis; memanusiwikan manusia, diharapkan menjadi persenyawaan harmonis untuk membangun optimisme di kalangan orang-orang miskin untuk bangkit dari keterpurukan. Spirit kemajuan harus terus ditanamkan ke dalam jiwa-jiwa orang miskin. Mereka harus menyakini bahwa keadaan sosial yang dialami jangan ditanggapi secara statis, nrimo, dan meyakininya sebagai a final decision of God. Melainkan wajib diubah dengan sikap dinamis menjalani hidup.

Membangun optimisme juga sepatutnya dilakukan oleh para penguasa. Bukan sebaliknya memelihara secara sistemik dan terselubung. Caranya dengan melandaskan etika dan moral dalam setiap bentuk pembangunan. Jangan hanya sibuk berdalih melakukan pembangunan padahal di sisi lain justru semakin mencekik urat leher orang-orang miskin. Perlu sebuah kearifan dari semua pihak untuk meminimalisir angka kemiskinan di sekitar kita. Atau paling tidak, sekedar menghilangkan stigma bahwa orang miskin tidak berguna dan menyusahkan.

Dengan mengedepankan moral, maka Anda, saya dan kita semua akan lebih dapat menghargai jasa-jasa orang miskin secara lebih terhormat, tidak memandangnya sebagai proyekisme belaka apalagi menyepelekan mereka.

anen sutianto
anen sutianto
Penulis adalah penikmat buku-buku sosial keagamaan, sufistik dan pecinta kuliner. Berkhidmat di Kementerian Agama.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.