Pilkada merupakan salah satu dari konsekuensi berdemokrasi. UU secara tegas mengatur sekaligus sebagai payung hukumnya. Hiruk pikuk dan gegap gempita menyambut kepala daerah baru tentu mesti dibarengi dengan pikiran kritis dan rasional.
Bukan tentang fanatisme yang berakhir pada menjadi simpatisan salah seorang calon, namun tentang sejauh mana kita mampu menerjemahkan pesan-pesan politik bukan sekadar tafsir semiotik belaka, namun mampu dikawal hingga dapat diwujudkan nantinya.
Oleh karenanya, terkesan klise melihat begitu banyak massa fanatis yang beroperasi disemua lini. Mereka bergerak melalui jejaring semu, menjad mesin politik yang ampuh dalam meraup dukungan mayoritas masyarakat. Dalam terminologi Pierre Bourdieu seorang pemikir politik Prancis, bahwa kerja-kerja menyebarkan doxa (kebenaran yang diyakini) akan berpengaruh dalam pembentukan habitus (menjadi keyakinan kolektif masyarakat).
Dalam hal ini, ia menyinggung dua modal utama dalam arena pertarungan kekuasaan, yakninya modal budaya dan modal sosial sebagai keharusan yang dimiliki oleh calon yang bertarung, selain tentu saja modal ekonomi.
Wal hasil, dalam tradisi politik yang terbilang tradisional dikhawatirkan akan mereproduksi agen-agen (simpatisan) dengan gerak yang kabur dan bias. Tidak bisa lagi dibedakan mana argumentasi politik yang berbasis pada moral dan etis, dan juga mana yang hanya sekadar hoax, ataupun logica fallacy yang berorientasi menyerang secara pribadi.
Semisal, mengomentari perihal sikap, gaya berpakaian dan latar belakang personal calon yang ada. Tentu debat semacam hanya akan berakhir dengan debat kusir atau debat ala kaum sophis (selalu ingin menang sendiri dan tidak mencerahkan sama sekali).
Nah, implikasi dari gejolak yang demikian, akan menimbulkan kekalutan dalam ilmu pengetahuan. Sebab, pada tahap ini semua sudah berbicara politik. Sehingga timbul semacam kekhawatiran, bagaimana dengan nasib mereka yang mempelajari langsung ilmu politik secara akademis dan teoritis ? Muncul semacam penyempitan makna seolah semua orang bisa berpolitik tanpa harus paham terlebih dahulu ilmu politik? Di sinilah problematika itu menjadi semakin kompleks.
Untuk memperjelaskan kerancuan berpikir kita melihat fenomena yang ada, perlu ada pembatasan dan pembedaan terhadap ilmu politik sebagai satu entitas. Pembedaan ini dapat dibedakan menjadi dua klasifikasi, politics as the science dan politics as the art. Politics as the science adalah politik sebagai satu disiplin ilmu dan Politics as the art adalah politik sebagai seni dalam artian luas.
Saya rasa dengan memahami definisi ini akan membuat pembacaan kita atas politik semakin terang. Politic as the science merupakan domain politik yang membahas konsepsi-konsepsi ideal demi terwujudnya tatanan yang baik, sementara politic as the art adalah tentang bagaimana politik dioperasikan untuk mencapai tujuan. Sehingga apabila dua klasifikasi ini dapat diselaraskan, disorientasi atas pemaknaan dan tindakan politik dapat segera diminimalisir.
Penting juga pada tahapan selanjutnya untuk menggencarkan literasi, pendidikan yang berujung pada terbangunnya budaya politik semisal yang diimpikan Plato dalam respublica, dimana Politik adalah untuk mencapai kebaikan bersama. Sekali lagi, kebaikan bersama!