Deddy Mizwar, Wakil Gubernur Jawa Barat, yang hampir pasti mencalonkan diri menjadi Gubernur Jawa Barat periode mendatang begitu membanggakan laporan keuangan pemerintah provinsi Jawa Barat dalam wawancaranya bersama CNN Indonesia beberapa bulan yang lalu. Setelah saya periksa, nyatanya Pemprov Jawa Barat memang mendapatkan opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) selama 5 tahun terakhir.
Kemarin, saat kampanye Pilkada DKI Jakarta lalu, tim kampanye Anies-Sandi dan Anies sendiri menggunakan opini WTP yang diraih Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan era — kepemimpinan Anies Baswedan untuk menjaring pemilih. Tahun 2016 lalu, Ahok berkonfrontasi dengan BPK terkait hasil audit pembelian lahan Sumber Waras. Dua-duanya mengklaim saling benar tanpa melibatkan PPATK untuk mencari aliran dana yang merugikan Negara seperti yang di klaim oleh BPK.
Tanpa di duga-duga, bulan Mei lalu Auditor Utama Keuangan Negara III BPK, Rochmadi Sapto Giri diciduk KPK. Penangkapan itu terkait suap dari pejabat tinggi Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi untuk memberikan opini WTP pada laporan keuangan Kementerian tersebut.
Banyak yang terkejut dengan informasi itu, tapi tidak dengan saya. Sudah sejak awal, opini WTP belum tentu mengindikasikan lembaga/kementerian/pemerintah daerah maupun pusat bersih dari tindak pidana korupsi. Hingga saat ini masih belum ada formula yang pas bagaimana memastikan sebuah lembaga negara yang mendapatkan opini WTP pada laporan keuangan benar-benar bersih dari pelanggaran tindak pidana korupsi.
Adagium berikut sepertinya akan terus berlaku di —bidang pemeriksaan publik: “Butuh investigasi lebih lanjut dalam memastikan laporan keuangan lembaga Negara bersih dari korupsi. Pemilik status opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) belum tentu tidak terindikasi korupsi dan pemilik status opini WDP (Wajar Dengan Pengecualian) belum tentu terindikasi korupsi.”
Pusingkan? Lalu harus bagaimana publik menyikapi hal ini?
Serigala Berbulu Domba Oknum Auditor
Opini laporan keuangan BPK memiliki 4 jenis opini, yaitu WTP, WDP, Adverse dan Disclaimer. Dari 4 jenis opini ini BPK memilah-milah status laporan keuangan suatu lembaga/instansi yang wajar dan tidak wajar penyajiannya.
Kita persingkat saja dengan mengabaikan Adverse dan Disclaimer, karena kedua opini tersebut bisa kita asumsikan apabila di suatu instansi/lembaga telah terjadi tindak pidana korupsi di segala aspek.
Lalu bagaimana dengan opini WTP dan WDP? Kedua opini ini memiliki makna yang sedikit berbeda secara harfiah. Bisa dikatakan bersih dalam menggunakan uang Negara, tetapi sama-sama sulit dipastikan tidak ada tindak pidana korupsi.
Catatan khusus untuk opini WDP ialah walaupun penggunaan anggaran secara keseluruhan bersih, instansi/lembaga wajib menjelaskan lebih detail beberapa penyajian yang belum wajar.
Misalnya penyajian di bagian belanja barang/jasa (dalam hal ini mobil dinas) seharga 2 Milyar dari kwitansi pembelian, tetapi harga resmi yang tercantum di Showroom seharga 1,5 Milyar. Auditor berhak mendapatkan penjelaskan mengenai perbedaan harga mobil dinas ini, disinilah biasanya rentan terjadi “Anda senang kami senang.”
Peran Auditor BPK disini sangat krusial, apabila pejabat di instansi/lembaga itu bisa menjelaskan pencatatan asetnya sesuai dengan Standar Operasional Prosedur BPK, opini WDP tidak terindikasi tindak pidana korupsi. Tetapi sebaliknya, jika suatu instansi/lembaga sudah menyajikan laporan keuangan secara wajar dan cocok mendapatkan opini WTP, oknum Auditor kurang ajar bisa saja menekan instansi/lembaga untuk mendapatkan uang panas, apabila tidak memenuhinya auditor dengan nekat merubahnya menjadi opini WDP.
Auditor sangat pandai memainkan kebusukannya agar memberikan uang suap sekalipun laporan keuangan itu sudah layak mendapat opini WTP. Dan opini publik akan langsung menjudge instansi/lembaga tersebut tidak profesional dan akuntabel.
Sedangkan apabila menyelewengkan anggaran dan kongkalingkong terjadi, opini suatu instansi/lembaga bisa berubah menjadi WTP. Semua tergantung dari independensi dan integritas yang dimiliki Auditor BPK.
Yang saya permasalahkan disini, proses kerja politik saat ini terlalu hitam-putih. Publik kerap di bohongi dengan opini WTP tanpa ada penjelasan mendalam dari lembaga lain seperti KPK atau PPATK. KPK harus turun tangan untuk memastikan proses pemberian opini WTP itu diberikan BPK secara bertanggung jawab.
E-budgeting yang telah digunakan Pemprov DKI, pemkot Surabaya dan Pemkot Bandung, sejujurnya merupakan suatu langkah solutif. Publik tidak butuh opini laporan keuangan yang diberikan BPK, tapi publik berhak tahu uang mereka yang diambil secara paksa oleh Negara melalui pajak digunakan apa saja. Karena prinsip dasar keterbukaan informasi publik ialah—aksesibilitas informasi penggunaan anggaran wajib di publikasi.
Oh iya sebagai penutup, bukannya tidak percaya BPK, tetapi Auditor yang memeriksa laporan keuangan merupakan pegawai BPK yang perlu dikontrol (juga) oleh lembaga lain seperti KPK. Toh buktinya kasus penyuapan sudah menjadi contoh bagaimana Auditor BPK memainkan perannya. Jadi daripada bangga-banggain opini WTP tapi penggunaan anggaran masih sulit untuk diakses publik, para pejabat patut bertanya pada dirinya sendiri. Sudah sejauh mana dan kapan mereka benar-benar bisa transparan ke publik?
Disaat pemasangan CCTV begitu intens dilakukan untuk mengontrol setiap perilaku warga Negara. Sepertinya, CCTV atau kantor pejabat tanpa pintu yang wajib diberlakukan.