Jauh sebelum adanya obat-obatan modern berbahan kimia, kita sebagai masyarakat Indonesia lebih dahulu mengenal jamu sebagai obat. Jamu merupakan obat tradisional yang turun-temurun diwariskan sejak berabad-abad yang lalu. Tidak hanya sebagai kearifan budaya lokal, melainkan sudah menjadi identitas bagi bangsa Indonesia. Setiap racikan jamu yang kita kenal hari ini adalah formula yang telah disempurnakan melalui pengalaman panjang, menjadikannya bukan sekadar minuman, melainkan peninggalan leluhur yang bertahan melintasi berbagai zaman.
Kita biasanya mendapat jamu dari seorang perempuan yang menjajakannya pada pagi hari, yang dikenal dengan istilah “jamu gendong.” Jamu gendong memiliki identitas kuat yang lekat dengan sosok perempuan berkebaya dan berjarik, yang dengan telaten menggendong bakul jamunya.
Seiring perkembangan zaman, pemandangan ini mulai berevolusi. Untuk menjangkau pelanggan lebih luas, banyak penjual yang kini beralih menggunakan sepeda atau motor. Menariknya, meskipun tidak lagi selalu digendong, istilah “jamu gendong” tetap populer digunakan. Namun, di sisi lain, masih banyak penjual yang dengan bangga mempertahankan cara tradisional, yaitu dengan berjalan kaki sambil menggendong dagangannya sebagai upaya menjaga keaslian citra warisan budaya yang berharga ini.
Sejarah Jamu Gendong
Sejarah jamu gendong secara singkat berawal dari lingkungan keraton Jawa, di mana pada awalnya jamu merupakan ramuan khusus untuk menjaga kesehatan dan kecantikan kaum bangsawan. Seiring waktu, ramuan ini kemudian menyebar luas ke masyarakat, sehingga muncullah metode distribusi yang paling efektif, yaitu dengan cara digendong dari rumah ke rumah. Dalam proses ini, para perempuan atau “Mbok Jamu” memegang peranan sentral sebagai penjaga resep warisan turun-temurun sekaligus menjadi penjaja utamanya.
Dengan demikian, jamu gendong pada hakikatnya adalah hasil evolusi dari minuman elit istana yang bertransformasi menjadi obat rakyat yang merakyat dan ikonik. Lahirnya sosok perempuan penjual jamu gendong menjadikannya sentral dalam pelestarian budaya ini. Mereka tidak hanya pedagang, tetapi juga penjaga resep, penerus informasi, dan simbol dari sebuah tradisi. Pengetahuan diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi untuk memastikan kearifan lokal ini tetap hidup.
Ragam dan Khasiat Jamu
1. Beras Kencur: Dibuat dari beras dan rimpang kencur serta rempah tambahan. Berkhasiat menyembuhkan batuk, melancarkan buang air kecil, dan membantu pembuangan angin dari perut kembung.
2. Kunyit Asem: Campuran kunyit dengan asam jawa, berkhasiat sebagai antiinflamasi, antioksidan, dan menjaga kekebalan tubuh.
3. Brotowali: Dibuat dari akar brotowali, membantu menurunkan kadar gula darah, menyembuhkan demam, hingga meredakan gatal-gatal.
4. Cabe Puyang: Terbuat dari cabe jawa dan lempuyang. Bermanfaat untuk menghilangkan pegal, kesemutan, dan sakit pinggang.
5.Kunci Suruh: Terbuat dari temu kunci dan daun sirih. Dimanfaatkan oleh perempuan untuk mengatasi keputihan, mengecilkan rahim dan perut, serta dipercaya menguatkan gigi.
6. Kudu Laos: Campuran mengkudu dan laos. Berkhasiat menurunkan tekanan darah, kolesterol, dan menghangatkan tubuh.
7. Uyup-uyup: Terbuat dari berbagai rimpang seperti kencur, jahe, bangle, laos, kunyit, dll. Berkhasiat meningkatkan produksi ASI, menghilangkan bau badan, dan mengatasi kembung.
Di balik setiap gendongan jamu, ada kisah perjuangan ibu rumah tangga yang berupaya meningkatkan perekonomian keluarganya. Usaha jamu gendong sejak lama telah menjadi ruang bagi mereka untuk mandiri secara ekonomi. Namun, jalan mereka tidak selalu mulus; seringkali pemahaman akan potensi bisnis dan cara mengembangkan produk masih terbatas, membuat usaha sulit berkembang.
Kini, tantangan baru muncul dengan hadirnya produk jamu kemasan dari perusahaan besar yang dikelola secara modern. Produk-produk tersebut hadir sebagai pengganti praktis yang mengancam eksistensi “Mbok Jamu” yang otentik. Kondisi ini perlu menjadi perhatian, karena mundurnya peran perempuan dari arena ekonomi dapat berdampak langsung pada kesejahteraan keluarga.
Meskipun telah diketahui memiliki berbagai macam khasiat, jamu gendong masih memiliki kendala yang menghambat potensinya. Biasanya hanya dijual menggunakan botol kaca atau plastik, sehingga secara visual kurang menarik dan sering dianggap kurang praktis serta kurang higienis oleh sebagian konsumen masa kini.
Tidak adanya label juga memengaruhi kepercayaan konsumen, karena pada label terdapat identitas produk, komposisi bahan, serta tanggal kedaluwarsa. Selain itu, keterbatasan para penjual dalam pemanfaatan teknologi digital membuat pemasaran produk menjadi terbatas. Oleh karena itu, inovasi diperlukan agar ramuan tradisional ini dapat lebih dikenal luas oleh masyarakat.
Sumber
Buku Ajar Obat Tradisional. (2022). (n.p.): CV. Mitra Edukasi Negeri.
Cara Mudah Membuat Jamu Tradisional. (2025). (n.p.): Penerbit Andi.
Farm Bigbook: Budi Daya Dan Pascapanen Tanaman Obat Unggulan. (2024). (n.p.): Penerbit Andi.
Khasiat & Manfaat Brotowali. (2003). (n.p.): AgroMedia.
Kunyit Asam : Keajaiban Rempah untuk Kesehatan dan Kelezatan. (2023). (n.p.): Tiram Media.
Menguak tabir & potensi jamu gendong. (2003). Indonesia: Agromedia Pustaka.
Muhiddin, Winarti, Mumtaza, A., & Muhibbuddin. (2023). Pengembangan pemasaran digital dan desain pengemasan jamu gendong Desa Rejoagung, Ploso, Jombang. Jurnal Pemberdayaan: Publikasi Hasil Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(1), 94–100. https://doi.org/10.47233/jpmittc.v2i1.1116
Mustofa, R. H., Hanifah, A. N. U., & Karima, M. (2022). Peran dan kontribusi perempuan penjual jamu gendong pada perekonomian keluarga di Kabupaten Boyolali. Musãwa: Jurnal Studi Gender dan Islam, 21(1), 53–64. https://doi.org/10.14421/musawa.2022.211.53-64
Nugroho, L. H., Sri Hartini, Y. (2024). Tumbuhan obat antidiabetik: etnomedisin, ramuan, dan mekanisme aksi. Indonesia: Gadjah Mada University Press.
Setyani, S. H., & Nugroho, A. P. (2021). Pendampingan pengembangan produk dan manajemen usaha pada Kube Jamu Gendong Grogol Sukoharjo dalam meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat. Wasana Nyata: Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat, 5(1), 22–28. https://doi.org/10.36587/wasananyata.v5i1.854