Belum lama ini, 1 Agustus 2019 bertepatan dengan hari lahir KH. Ahmad Dahlan yang ke 151, bukan suatu kebetulan di Kantor PDM Kota Surakarta ada bedah buku Boeah Fikiran Kiai H.A Dachlan karya Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan. Meskipun harus diakui acara seperti itu tidak wajar diselenggarakan oleh anggota Muhammadiyah dalam memperingati harlah atau haul pendiri organisasi Islam modern di Indonesia ini.
Namun kenyataannya bedah buku tersebut berlangsung cukup meriah dengan hadirnya penulis dan empat pembedah yang berasal dari lingkungan Muhammadiyah, peneliti, praktisi, dan akademisi perguruan tinggi. Dengan tak mau kalah sehari sebelumnya terselenggara acara soft launching logo Muktamar Muhammadiyah ke-48 yang sangat kolosal di Gedung Induk Siti Walidah UMS.
Dua kegiatan itulah yang mungkin ingin digambarkan oleh Mohamad Ali dalam tulisan Jalan Panjang Pembaruan (Solopos, Edisi 02 Agustus 2019). Terlebih ia juga diundang sebagai pembedah buku untuk memperingati harlah KH. Ahmad Dahlan sekaligus merayakan kesadaran kolektif gagasan pendiri Muhammadiyah itu.
Maka tidak menutup kemungkinan tulisannya cenderung menanggapi kondisi kekinian yang perlu dilakukan oleh Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tatkala acara harlah KH. Ahmad Dahlan dirayakan dengan nuansa wedangan dan bedah buku yang diinisiasi oleh kelompok muda Muhammadiyah, yang mana Mohamad Ali banyak memaparkan materi-materi pembaruan gagasan Ahmad Dahlan yang ia eksperimenkan di Perguruan Kota Barat. Tentu hal ini tidak dapat dilewatkan begitu saja karena dibalik itu terkandung motif pemikiran yang patut dipelajari.
Sebagaimana orang-orang Nahdliyin selalu memperingati harlah atau haul para ulama yang mendirikan pesantren dan berjasa besar terhadap negeri ini seperti sosok Gusdur. Sehingga terbentuklah jaringan Gusdurian bagi kelompok muda NU yang mempelajari 9 nilai-nilai Gusdur dalam menghadapi persoalan kebangsaan. Maka momentum harlah KH.
Ahmad Dahlan seharusnya lebih jauh ke depan memandang gagasan-gagasan tokoh lama Muhammadiyah sebagai konsep pikir universal yang mesti diwariskan kepada generasi muda.
Artinya konsep pikir universal yang digagas oleh Ahmad Dahlan dan tokoh-tokoh lama Muhammadiyah lain seperti Fakhrudin, Farid Ma’ruf, Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Sukiman, Kasman Singodemedjo, dan Fakih Usman merupakan basis ide pembaruan Muhammadiyah yang perlu dispesifikkan lagi dalam menghadapi persoalan bangsa ini.
Meskipun Muhammadiyah secara struktural lebih memprioritaskan program organisasi berupa keputusan-keputusan Tanwir. Tapi bagi kelompok muda mungkin lebih tertarik mengenali tokoh-tokoh Muhammadiyah dan pemikirannya sebagai pintu masuk gagasan pembaruan di kemudian hari.
Secara ideologis, ketika kelompok muda NU ramai berdiskusi pemikiran Gus Dur tentang gagasan Islam keindonesiaan vis a-vis dengan konsep negara Islam yang ditawarkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Melalui pendekatan keagamaan yang dipikirkan oleh Gus Dur terhadap pribumisasi Islam mampu memperbaharui pemikiran Islam berupa Islam Nusantara yang sangat menonjol itu sebagai wacana tandingan.
Lajur Kenabian
Saat buku Boeah Fikiran Kijai H.A. Dachlan seru diapresiasi, dikoreksi, ditanggapi dan dianalisis oleh para pembedah di depan penulisnya. Seketika pula saya menggarisbawahi pelajaran penting dari sosok KH. Ahmad Dahlan yang ditampilkan oleh guru besar sosiologi Islam itu dalam perspektif kecerdasan insani.
Seperti halnya karya Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan yang mengkaji tentang Syekh Siti Jenar dalam tataran kecerdasan makrifat. Buku yang dibedah untuk memperingati harlah KH. Dahlan ini juga memberikan jalur cepat pembaruan Muhammadiyah melalui lajur kenabian.
Pelajaran pertama yang dapat kita ambil dari sosok KH. Ahmad Dahlan itu adalah bersikap otentik. Sebagaimana surat Al-Maun ditempatkan oleh KH. Ahmad Dahlan dalam pembuktian keimanan terhadap pembelaan kaum tertindas. Ide dan tindakan KH. Ahmad Dahlan yang kemudian ditangkap oleh dr. Soetomo sebagai asas cinta kasih Muhammadiyah yang berbeda dengan konsep pemikiran Charles Darwin. Keotentikan KH. Ahmad Dahlan inilah merupakan kewajiban moral seorang manusia dalam arti kemanusiaan.
Pelajaran kedua dari sosok KH. Ahmad Dahlan yang berdampak besar terhadap proses pembaruan Islam di Indonesia adalah berpikir kreatif. Sebagai contoh konsep pembaruan pendidikan yang digagas oleh KH. Ahmad Dahlan mendahului teori Tri Pusat Pendidikan yang dirumuskan Ki Hadjar Dewantara dengan tujuan manusia seutuhnya. Maka kreatifitas KH. Ahmad Dahlan sesungguhnya merupakan penggalian ilham dari lubuk kehidupan spiritual manusia.
Sedangkan pelajaran ketiga dari sosok KH. Ahmad Dahlan yang tampaknya bersifat paradoks dari sisi luarnya saja karena ia tidak meninggalkan gagasan berupa tulisan adalah tindakan praktis. Bahkan Alfian (2010) menyebutnya sebagai tokoh pragmatis yang benar dan praktis. Maka pencurahan impuls kreatif KH. Ahmad Dahlan dalam bentuk pembaruan Islam sebanding dengan spontanitas tindakan praktis yang berpengaruh besar terhadap kekuatan Islam di masa depan.
Bagi saya upaya kelompok muda Muhammadiyah mengingat memori kolektif sosok KH. Ahmad Dahlan adalah proses transformasi sosial dalam tubuh persyarikatan. Mengingat struktur keorganisasian kurang memberikan peluang dan kesempatan anak muda Muhammadiyah tampil ke wilayah publik. Acara bedah buku Boeah Fikiran Kijai H.A. Dachlan mau tidak mau merupakan keterlibatan kelompok muda Muhammadiyah dalam kerja pembaruan.
Posisi kelompok muda Muhammadiyah dalam menerjemahkan gagasan KH. Ahmad Dahlan bersifat apa adanya (belum banyak manipulasi), segar, dan berani. Apalagi dipandu dengan karya Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan yang bermuatan semangat kenabian. Posisi kelompok muda Muhammadiyah inilah yang sesungguhnya dimaksud jalur cepat pembaruan yang menambah kekayaan gagasan KH. Ahmad Dahlan di masa depan.
Seperti halnya acara yang diselenggarakan oleh Jaringan Gusdurian Solo dengan mengangkat Wajah Intelektual NU: Mahbub Djunaidi dan Gusdur. Heri Priyatmoko selaku pemateri bertugas memberi “daging” pada “tulang belulang” sejarah Solo dalam novel Mahbub Djunaidi.
Buku Boeah Fikiran Kijai H.A. Dachlan yang dibedah oleh kelompok muda Muhammadiyah adalah “rel” bagi “lokomotif” sejarah Muhammadiyah dalam kerja pembaruan. Maka sungguh sia-sia panggung mewah soft launching logo Muktamar Muhammadiyah ke-48 atau gedung edutorium yang megah itu jika ternyata kita lupa gagasan besar KH. Ahmad Dahlan bagi negara dan bangsa ini yang lebih maju. Mungkin begitu.