Sabtu, November 9, 2024

Jalan Terjal Koalisi Oposisi

Luthfi Baskoroadi
Luthfi Baskoroadi
Seorang analis media & politik Indonesia Indicator. Mahasiswa Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina
- Advertisement -

Kanker darah yang menimpa Ani Yudhoyono tampaknya tak hanya menjadi kabar buruk bagi keluarga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat, namun juga bagi koalisi oposisi.

Betapa tidak, di tengah stagnasi elektabilitas Prabowo-Sandi, SBY harus menepi dari panggung politik untuk menemani sang istri menjalani perawatan intensif di Singapura. Absennya SBY dalam mengampanyekan Prabowo-Sandi jelas jadi sebuah pukulan telak mengingat waktu pemungutan suara yang kurang dari dua bulan.

Jika merunut ke belakang, absennya SBY dalam kampanye Pilpres bukan kali ini saja terjadi. Dalam beberapa pertemuan penting dan kampanye paslon nomor urut 02, Ketua Umum Demokrat itu kerap kali tak hadir. Bahkan, sejak awal deklarasi Prabowo-Sandi, SBY lebih suka mengelar pertemuan empat mata dengan Prabowo ketimbang duduk bersama PKS dan PAN.

Alhasil, keseriusan Demokrat dalam memperkuat mesin politik oposisi pun mulai dipertanyakan. Belakangan, diketahui bahwa Demokrat memang masih ingin fokus ke pemilihan legislatif, sebelum nantinya fokus mengampanyekan Prabowo-Sandi mulai Maret 2019.

Peran Vital SBY

Sejak Prabowo Subianto memutuskan untuk kembali turun gelanggang menantang Jokowi, banyak pengamat menilai bahwa Prabowo butuh figur pendamping yang mampu mendongkrak elektabilitasnya secara signifikan untuk menyaingi elektabilitas Jokowi yang sudah melewati magic number, di atas 50 persen. T

erpilihnya Sandiaga Uno sebagai cawapres sempat membawa angin segar karena dinilai sebagai figur baru, muda, dan potensial mendulang banyak suara, khususnya kaum milenial.

Namun faktanya, hingga hampir 50 hari jelang Pemilu, elektabilitas Prabowo-Sandi di berbagai lembaga survei masih sulit menembus angka 40 persen. Kehadiran Sandiaga belum cukup kuat memberi nilai tambah bagi Prabowo.

Praktis, kartu truf Prabowo kini terletak pada sosok SBY yang memiliki magnet elektoral cukup kuat. Berbekal warisan politik yang besar saat memimpin Indonesia selama dua periode, rasa-rasanya sulit bagi kubu oposisi mencari figur kuat dan kharismatik lainnya di jajaran tokoh politik Koalisi Indonesia Adil Makmur.

Ditinjau dari kalkulasi elektektoral di daerah, peran SBY pun sangat vital. SBY dinilai masih punya cukup banyak basis pemilih tradisional di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang jadi titik lemah terbesar Prabowo di 2014 lalu. Turunnya SBY di kedua wilayah itu tentu akan sangat strategis dan sejalan dengan strategi Prabowo-Sandi yang memang tengah fokus “menggempur” lumbung suara petahana tersebut.

Pada titik ini, andai SBY memang batal menunaikan janjinya untuk mulai intens berkampanye pada Maret mendatang, maka ini akan menyulitkan langkah Prabowo-Sandi dalam mengejar elektabilitas petahana yang masih unggul dua digit suara.

- Advertisement -

Menanti Keseriusan PKS dan PAN

Selain terancam kehilangan figur kuncinya, Prabowo-Sandi juga harus berhadapan dengan pasang-surut hubungan Gerindra dan PKS terkait tarik ulur kepentingan perebutan kursi Wakil Gubernur DKI Jakarta. Penentuan wagub DKI yang cukup menguras tenaga dan emosi itu diprediksi akan melemahkan militansi kader PKS dalam mengampanyekan Prabowo-Sandi.

Hal ini terjustifikasi oleh beberapa hasil survei terakhir, seperti salah satunya oleh Indopolling Network yang mengungkap bahwa Jokowi-Ma’ruf berhasil menyalip elektabilitas Prabowo-Sandi di Jawa Barat. Padahal, pada 2014 lalu, Prabowo meraih hampir 60 persen suara di tanah pasundan yang jadi basis utama kekuatan massa tradisional PKS.

Secara performa kader, PKS kerap disebut sebagai salah satu partai yang mesin politiknya paling kuat dan militan. Hal ini tercermin dari kesuksesan mereka dalam mematahkan banyak hasil lembaga survei dengan memenangkan Anies-Sandi di Pilgub DKI Jakarta dan melejitkan suara Sudrajat-Syaikhu di Pilgub Jabar lalu.

Raihan suara yang mengejutkan dari kedua pasangan tersebut seolah menegaskan posisi PKS yang memang sangat berpengaruh di Jabar dan kawasan Jabodetabek. Oleh karenanya, kekalahan elektabilitas Prabowo-Sandi di Jabar seharusnya jadi alarm kuat bagi koalisi oposisi untuk menyolidkan relasi antar-partai.

Selain Demokrat dan PKS, ada PAN yang juga dianggap belum maksimal dalam meningkatkan nilai tawar paslon oposisi. Mengacu pada banyak hasil survei, posisi PAN yang terancam gagal melewati parliamentary threshold membuatnya harus ekstra keras fokus pada kampanye pemilihan legislatif. Bahkan, Sekjen PAN sendiri yang pernah berujar bahwa ada sejumlah caleg PAN yang enggan mengampanyekan Prabowo-Sandi lantaran tak ingin partainya terlempar dari Senayan.

Tak sampai di situ, partai berlambang matahari ini juga harus diterpa isu perpecahan usai membelotnya beberapa kader di daerah yang justru mendukung petahana. Isu ini juga diperkuat oleh lima pendiri PAN yang beberapa waktu lalu sempat meminta Amien Rais untuk mundur dari partainya.

Jalan Terjal

Berbagai persoalan yang ada seolah menegaskan bahwa ada jalan terjal bagi koalisi oposisi untuk merebut kekuasaan. Tak mudah menyolidkan dan memaksimalkan potensi mesin politik partai di tengah situasi pemilu serentak antara Pilpres dan Pileg. Partai politik cenderung semakin rasional dalam menentukan prioritasnya.

Perhitungan untung-rugi akan sangat lumrah dijumpai dalam konteks penyeimbangan antara Pileg dan Pilpres, terutama bagi partai yang tidak menempatkan kadernya di posisi capres maupun cawapres.

Seperti pendapat Mark Lubell dalam The Oxford Handbook of Political Networkaktor politik yang kepentingannya tidak diakomodir dan tidak menjadi bagian penting dari pertarungan, cenderung mengalihkan dukungan dan fokus pada kepentingannya sendiri.

Pada akhirnya, Prabowo dan Sandiaga memang harus berhitung strategi apa yang mau digunakan untuk mengatasi persoalan ini. Jika memang sulit mengandalkan mesin politik partai koalisi, tak ada pilihan lain selain meningkatkan kualitas kampanye dengan lebih mengutamakan esensi ketimbang sensasi. Jika tidak, alih-alih bisa menang, Prabowo justru harus mengubur dalam-dalam mimpinnya meraih kekuasaan untuk kedua kalinya.

Luthfi Baskoroadi
Luthfi Baskoroadi
Seorang analis media & politik Indonesia Indicator. Mahasiswa Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.