Tepat tanggal 24 Oktober 2017 yang lalu, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh berusia satu tahun. Komisi ini dibentuk berdasarkan mandate qanun no 17 tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan merupakan manifestasi dari pasal 2 MoU Helsinki dan pasal 229 dalam UU Pemerintahan Aceh (UUPA).
KKR, sesuai namanya, memiliki mandat untuk pengungkapan kebenaran dan mendorong rekonsiliasi pasca konflik yang berdekade di Tanah Nangroe. Agak berbeda dengan umumnya KKR yang pernah dilakukan di dunia, KKR Aceh sifatnya permanen. Komisioner KKR Aceh memiliki masa tugas lima tahun, dipilih oleh panitia seleksi independen dan uji kelayakan di DPRA. Untuk periode lima tahun pertama ini, KKR Aceh akan menyelidiki pelanggaran HAM berat dan kekerasan masa lalu yang terjadi sejak tahun 1976 hingga 2004 selama konflik antara pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka berlangsung.
Membincang KKR Aceh hari ini menjadi penting karena KKR menawarkan sebuah prospek kaca mata baru melihat persoalan ketidakadilan masa lalu di saat Indonesia kehabisan cara menyelesaikan persoalan masa lalunya yang hingga kini terus menggnaggu demokrasi. KKR adalah sebuah mekanisme non yudisial yang banyak diadopsi di Negara-negara pasca rejim otoriter atau pasca konflik.
Bagi Negara-negara ini, pilihan komisi kebenaran, entah itu dalam rangka rekonsiliasi maupun klarifikasi sejarah atau bahkan pengadilan, merupakan cara mengingatkan bangsanya akan masa lalu yang kelam dan represi yang merusak kepercayaan antara masyarakat dan pemerintah serta sesame masyarakat. Dari proses dan hasil KKR ini, masyarakat dan elit politik belajar dari kesalahan masa lalu dan menjadi dorongan bagi demokrasi yang lebih akuntabel dan sehat.
Dari berbagai studi komparasi di dunia, KKR terbukti memiliki korelasi positif terhadap demokrasi. Beberapa penelitian memperlihatan korelasi positif antara Komisi Kebenaran dan demokrasi di berbagai dunia. Wiebelhaus-Brahm (2010) melakukan studi perbandingan di 78 negara dan menemukan efek positif Komisi Kebenaran terhadap demokrasi.
Studi kuantitatif oleh Botha (1998) di 56 negara di Eropa Timur, Afrika, dan Amerika Latin mengkonfirmasi korelasi positif antara Komisi Kebenaran dan beberapa indikator demokrasi. Peneliti lain melakukan studi perbandingan dan juga mengkonfirmasi efek positif demokrasi terhadap perdamaian (Long & Brecke, 2003) serta tingkat demokrasi (Kenney & Spears, 2005).
Di Indonesia, kita pernah punya UU KKR yang kemudian dibawa ke Mahkamah Konstitusi oleh beberapa elemen masyarakat sipil untuk judicial review beberapa pasal yang mendukung impunitas. MK, bukannya membatalkan pasal-pasal bermasalah tersebut, malah membatalkan UU KKR tersebut, dan merekomendasikan membuat kembali rancangan UU KKR yang baru dalam waktu satu tahun.
Hingga hari ini, draft RUU KKR yang baru tidak pernah menjadi agenda prioritas legislasi di DPR. Dengan tertutupnya jalan penuntasan masa lalu bagi sebuah dasar pengakuan akan kebenaran ketidak adilan masa lalu, maka Negara ini sesungguhnya tidak pernah belajar dari sejarahnya dan keberulangan represi menjadi sebuah keniscayaan.
Ditambah lagi, mekanisme lain seperti pengadilan HAM juga tidak dilakukan untuk mengakhiri impunitas di negeri ini. Reformasi sector keamanan juga gagal menghadirkan akuntabilitas dan penghormatan terhadap HAM bagi TNI dan polisi. Kekerasan terus berulang, dan impunitas tetap bertahan.
Sementara itu, masa lalu yang digelapkan, seperti peristiwa pelanggaran HAM berat pasca G30S tahun 1965, terus menerus digunakan untuk mengganggu demokrasi. Para korban terus menuntut keadilan, termasuk dengan aksi damai setiap hari kamis, terutama di Jakarta di depan Istana Presiden.
Dalam situasi demikian, Aceh memilih untuk menjadi terdepan dalam menuntaskan masa lalu yang penuh kekerasan dengan cara yang bermartabat: mencari dasar kebenaran bagi kesejarahan mereka, dan belajar dari sana untuk memastikan perdamaian dan demokrasi yang lebih sehat dan berkesinambungan.
Dalam sebuah seminar tentang peran Komisi Kebenaran dalam Perdamaian yang diselenggarakan tanggal 12 Oktober 2017 di Banda Aceh, yang menghadirkan perwakilan dari Negara-negara Asia dan Pelapor Khusus PBB untuk Pengungsi Cecilia Jimenez-Damary, Gubernur Aceh menyampaikan:
“Melakukan kerja-kerja KKR merupakan tugas berat yang diemban oleh Para Komisioner, karena kerja-kerja KKR merupakan kerja-kerja pengungkapan tindak pelanggaran HAM masa lalu. Dimana pelaku merupakan pihak yang bertikai, dalam hal ini TNI/POLRI dan GAM, dan kerja-kerja ini merupakan hal yang paling serius, karena mengungkapkan luka lama yang bertujuan untuk meluruskan sejarah dan mewujudkan keadilan bagi korban. Lebih jauh hasil kerja KKR akan menjadi referensi bagi pemerintah untuk melakukan reformasi institusi dan menjadi referensi bagi semua pihak untuk kepentingan ilmiah dalam rangka mencegah keberulangan. […] memastikan lembaga KKR benar-benar professional merupakan sebuah keharusan. Pemerintah saat ini akan memfokuskan memberdayakan lembaga KKR, baik sumber daya kelembagaan maupun sumber daya manusianya.”
Komitmen pemerintah Aceh terhadap KKR Aceh menjanjikan sebuah harapan bagi perdamaian Aceh yang lebih baik. Beban terberat bagi KKR Aceh adalah menciptakan sebuah standar yang adil dan inklusif dalam hal pengungkapan kebenaran dan keadilan historis, bukan saja untuk masyarakat Aceh tapi juga untuk masyarakat Indonesia secara umum. Standar ini harus dihasilkan dari sejumlah proses yang inklusif, melibatkan banyak pihak dan menjangkau masyarakat, serta transparan dan independen dari kepentingan manapun.
Dukungan pemerintah dan masyarakat Aceh menjadi nyawa dari KKR Aceh, dan dukungan dari Pemerintah dan masyarakat Indonesia secara umum menjadi energy bagi institusi ini untuk bergerak menyempurnakan mandatnya. Bagi pemerintah RI, KKR Aceh adalah sebuah kabar baik diantara desakan-desakan internasional tentang penegakan HAM di Indonesia, khususnya terkait kehidupan beragama dan Papua, misalnya dalam Universal Periodical Review bulan May yang lalu. Bagi konteks Aceh, KKR ini penting untuk mengembalikan kepercayaan Aceh kepada pemerintah pusat.
Tentu, beberapa hambatan juga ada di depan mata yang berpotensi menghambat kerja KKR Aceh dan mempengaruhi hasil kerja-kerjanya. Tantangan terberat adalah potensi gangguan-gangguan dari pihak-pihak yang ingin menjustifikasi konflik dan kekerasan serta mempertahankan legitimasi kekuasaannya. Dua narasi politis akan berkompetisi dalam hal ini: mempertahankan NKRI meski seharga warga yang mati, yang sudah pasti akan diartikulasikan oleh militer dan polisi Indonesia, atau narasi memperjuangkan kebebasan dari represi dan ketidak adilan pemerintah pusat, narasi dari GAM.
Tugas KKR Aceh bukanlah menegosiasikan dua narasi tersebut, atau memilih satu dari lainnya, melainkan menyelidiki akar masalah ketidak adilan structural yang terjadi di Aceh yang membuat resistensi muncul dan mencari ruang untuk mengembalikan kepercayaan kepada Negara Republik Indonesia. Ini adalah tugas utama mekanisme pengungkapan kebenaran yang diemban KKR Aceh yang harus didukung oleh pemerintah Aceh dan pemerintah pusat.
*versi bahasa Inggris dari tulisan ini dimuat di Jakarta Post, 14/11/2017.