Kehidupan tidak selalu menjadi tempat yang dipenuhi cahaya, ditumbuhi mawar berwarna, serta diiringi alunan musik yang merdu. Kehidupan juga tak jarang perlu dimaknai sebagai tempat yang gelap, tak memiliki aturan yang jelas, dan dipenuhi jalan berliku atau bahkan jalan buntu─sebuah tempat di mana semua doa dan harapan dijatuhkan.
Kehidupan bukanlah arena bermain yang indah, yang akan memberikan panduan kepada setiap pendatang baru. Kehidupan sekarang tak ubahnya hutan belantara, di dalamnya menunggu berbagai kejadian yang tak dapat kita perkirakan dan semua itu mau tidak mau harus kita lewati.
Banyak hal yang (kita rasa) harus kita kerjakan, “usaha tidak akan mengkhianati hasil,” adalah kebohongan yang dipaksakan supaya kita dapat berkompromi dan tak ubahnya obat penenang bagi orang dengan gangguan kesehatan mental; harusnya kalimat itu berupa, “usaha tidak akan mengkhianati hasil, tetapi itu mengkhianati mimpimu.”
Memang terkadang, berbagai masalah datang menghampiri kita, membuat kita patah semangat, dan fakta menyakitkannya hidup tidak selamanya berjalan seperti yang kita inginkan. Ketika kebuntuan menyapa, beberapa orang memilih untuk berdoa, beberapa yang lainnya… bunuh diri.
“There is only one really serious philosophical problem, and that is suicide,” tulis Albert Camus dalam esainya The Myth of Sisyphus. Diawali dengan mempertanyakan whydunit─mengapa hidup itu berharga untuk dijalani, Camus menempatkan masalah tersebut dan menjelaskannya dengan paradigma howdunit─bagaimana kita seharusnya menjalani hidup.
Bagi kebanyakan orang, hidup tanpa makna adalah kehidupan yang tak pantas untuk dijalani. Matanya tajam melihat masalah ini dan kemudian menendang masalah tersebut jauh-jauh. Konklusinya, bunuh diri tak lebih berguna daripada menjalani hidup karena ketiadaan makna setelah kematian lebih besar dibanding semasa hidup.
“You will never live if you are looking for the meaning of life,” Camus memberikan pernyataannya mengenai arti hidup: satupun tidak ada dan tidak dapat dibuat. Baginya mustahil menemukan jawaban yang benar-benar memuaskan dan segala percobaan pencariannya hanya akan berujung pada bencana dan keputusasaan.
Apapun makna yang kita ambil, itu akan segera menguap. Sains, filsafat, masyarakat, dan bahkan agama tidak dapat menciptakan arti hidup yang benar-benar kebal dari konsep absurditas. Hal ini senada dengan pernyataannya, “In the depth of winter, I finally learned that within me there lay an invincible summer.”
Keseluruhan kerja Camus dilandaskan pada konsep bernama “absurd.” Manusia memiliki naluri untuk menemukan makna dalam berbagai hal dan jika itu tidak ditemukannya, mereka akan mengada-ada mengenai makna tersebut.
Faktanya, alam semesta sangat dingin bahkan abai terhadap pencarian ini. Tiap pencarian maupun proses mengada-ada itu akan menemui situasi absurd di mana tiap-tiap upaya tersebut menemui kegagalan dan kekosongan makna. Memang, hidup tidak memiliki arti dan akan tetap seperti itu.
Camus tidak memandang ketiadaan makna ini sebagai hal yang buruk. Dia kemudian menjelaskan bahwasanya memahami kalau hidup itu absurd adalah langkah pertama untuk menjalani hidup sepenuhnya. Meskipun hidup di dunia yang tanpa makna adalah masalah yang sangat besar, masalah ini akan sama saja seperti masalah sehari-hari lainnya yang perlu dipecahkan.
Camus mengkritik sesiapa yang memaksakan konsep hidup bermakna tersebut dan mencoba menanggung kesia-siaan hidup dengannya. Meskipun hal tersebut memberi kenyamanan, sistem ini akan gagal dalam jangka panjang. Semesta tetap dingin dan abai, peristiwa acak terjadi, dan akhirnya… menemui ketiadaan makna kembali.
Camus membawa contoh dengan menyebut Kierkegaard─yang memahami bahwa hidup itu absurd namun melarikan diri dengan bersandar pada Tuhan daripada merangkul fakta. Di sisi lain, eksistensialis Perancis seperti Sartre melakukan hal yang sama dengan cara sekuler. Itu sebabnya dia enggan untuk diidentifikasikan bersama dengan mereka.
“We must imagine Sisyphus happy,” mungkin cara yang paling mendekati kepuasan hanyalah merangkul ketiadaan makna tersebut. Orang yang tahu bahwa hidup itu absurd dan melewatinya dengan senyuman adalah pahlawan dan tokoh utama yang sesungguhnya. Ia menyandarkan ini pada Sisifus yang dikutuk dengan hal yang paling mengerikan; menggulung batu selamanya ke puncak gunung namun menemukan kesenangan di dalamnya.
Apakah Camus hanya membual? Saya berani menjawab tidak. Dari seluruh hasil kerjanya, dia mengapresiasi matahari, pantai, bercumbu, tarian, dan makanan enak. Pada kenyataan pun, dia menyukai olahraga dan seorang atlet sepak bola di masa mudanya. Hanya karena hidup tidak berarti bukan berarti tidak bisa menyenangkan! Jadikanlah ketiadaan makna tersebut seolah-olah hantu sains─tak ubahnya gravitasi pada bumi.
Lalu, apa yang harus kita lakukan saat ini? Camus menganjurkan kita untuk menikmati hidup dengan melakukan hal-hal yang kita sukai dan menikmati momen sepenuhnya, menolak untuk tenggelam dalam keputusasaan serta memeluk ketiadaan makna maupun keberadaan dengan melanjutkan hidup.
Bisakah kita menemukan makna hidup yang benar-benar dapat memuaskan kita? Tentu saja tidak bisa dan tidak akan pernah namun hal tersebut bukanlah masalah. Kita masih hidup hari ini, saat ini, kita memiliki kemampuan untuk mencintai diri sendiri. Hidup itu layak dijalani dan harus dirangkul apa adanya.
Meskipun kehidupan tak ubahnya hutan belantara yang mencekam dan tak dapat dikalkulasi, meskipun sulit untuk menghadapi ketiadaan makna tanpa mundur menuju pelukan cinta agama, sains, masyarakat, atau bahkan membuat-buat makna sendiri. Kita harus menghadapi dan memeluk kenyataan bahwa dunia ini absurd serta melukis senyum di wajah kita.