Panas, polusi, macet, barangkali menjadi kata-kata yang melekat untuk Ibu Kota tercinta, siapa lagi jika bukan Jakarta. Pemandangan jalan yang ruwet dengan berbagai kepentingan orang-orang menjadi pemandangan biasa yang terlihat sehari-hari. Biasanya, Jalan Sudirman ramai dengan pegawai kantoran yang bekerja 9 to 5. Berdesakan di angkutan umum ketika rush hour sudah menjadi hal yang lumrah pula.
Semenjak diberlakukan pembatasan sosial atau sosial distancing yang diberlakukan oleh pemerintah guna mengurangi penyebaran virus Covid-19 yang bermula di Wuhan, China. Hal ini menyebabkan adanya pembatasan proses pembelajaran dan pemberlakuan kerja dari rumah atau biasa disebut work from home. Awalnya, hal ini diberlakukan dalam jangka waktu 14 hari. Namun, Badan Nasional Penalanggulangan Bencana atau BNPB memperpanjang masa ini hingga 29 Mei 2020.
Tak terlihat dan bahaya, itulah Corona. Virus ini mulai merebak di Indonesia sejak Maret 2019, setelah Presiden RI Joko Widodo mengumumkan dua pasien positif corona. Terhitung sejak 10 April 2020, terkonfirmasi sebanyak 3.512 negatif dan kematian hingga 306 jiwa. Hal ini membuat gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang mana hal tersebut tentunya untuk mengurangi rantai penyebaran virus Covid-19.
Ada yang hilang dari Ibu Kota, yaitu keramaian. Protokol PSBB menutup tempat wisata, sekolah dan kantor diliburkan, hingga tidak boleh ada kerumunan lebih dari 5 orang di ruang publik. Elemen yang membuat Jakarta ramai sudah berdiam di rumah. Berarti, penggunaan kendaran juga turut berkurang karena orang-orang tidak bepergian.
Lenggangnya Ibu Kota, seakan memberi bumi rehat sejenak. Melansir dari Kompas.com, penyebab utama polusi Jakarta adalah kendaraan bermotor. Ini berarti, dengan adanya pembatasan sosial, penggunaan kendaraan pribadi khususnya motor berkurang dan berdampak kepada kualitas udara.
Sebelumnya, pada 2019 menurut IQAi.com, situs daring yang memberikan informasi mengenai kondisi udara di seluruh dunia menyatakan Jakarta diurutan pertama dengan kualitas udara terburuk se dunia dengan angka US AQI (indeks kualitas udara yang merujuk WHO) mencapai 183.
Membaik
Melansir katadata.com situs IQAir.com sejak maret lalu menyatakan polusi kualitas udara di Jakarta berada di tahap moderat dengan nilai udara berkisar 60-90. Semakin kecil angka kualitas udara maka semakin baik, sebaliknya jika semakin besar semakin buruk pula kualitas udaranya.
Bahkan, IQAir.com menyatakan Sabtu (11/4) kualitas udara menyentuh angka 55 yang berarti cukup baik. Diperkirakan dalam seminggu kedepan udara Jakarta semakin membaik. Hal ini tentunya menjadi dampak baik pembatasan sosial bagi bumi, khususnya Ibu Kota yang setiap harinya selalu sibuk.
Melansir dari Mongambay.com, menurut Direktur Eksekutif Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin, pertama kalinya kualitas udara Jakarta menjadi lebih baik setelah hampir 3 dekade lalu terjadi. Pembatasan sosial berhasil membuat udara Ibu Kota bersih dengan nilai PM2,5 dan rata-rata 18,46 µg/m3.
“Nyaris setelah 28 tahun, kualitas udara Jakarta pada kategori baik. Dengan catatan, tidak ada laporan kualitas udara Jakarta sebelumnya. Tahun 1994 baru ada laporan resmi dari UNEP (United Nations Environment Programme),” jelas Ahmad Safrudin ketika dihubungi Mongambay pada Senin (6/4).
Merasakan
Menurut warga Jakarta yang kurang lebih sudah tinggal selama 20 tahun, Zefanya Aprilia merasakan jika kualitas udara di Jakarta membaik. “Di Cempaka Putih tuh kalau lewat jalan rayanya “kan rame banget ya sama mobil dan motor, jadi polusinya berasa banget. Kalau sekarang sepi jadi terasa lebih bersih udaranya,” tuturnya.
Meskipun begitu, menurut warga Cempaka Putih, Jakarta Pusat tersebut tidak di semua wilayah Jakarta merasakan membaiknya kualitas udara ini. Jika dipantau melalui IQAir.com, dapat dilihat jika memang tidak semua wilayah merasakannya. Setidaknya, beberapa daerah merasakan kebaikan dari adanya pembatasan sosial ini, “(Udaranya) lebih bersih aja soalnya sepi. Langitnya juga lebih cerah kalau pagi-pagi,” tambahnya.
Ada hal yang disayangkan oleh Zefanya, jika kualitas udara yang membaik ini tidak bisa bepergian karena sedang meluasnya virus Covid-19. “Kalau lagi nggak pandemik gini kalau keluar rumah pasti keringetan, pasti bau matahari. Belum lagi Jakarta macet parah,” tuturnya.
Beda halnya dengan Jihan Astriningtrias, warga Tanjung Priok, Jakarta Utara ini tidak begitu merasakan perbedaan yang berarti dari kualitas udara di Jakarta. “Aku tuh sebenernya nggak terlalu ngeh baik atau enggaknya kalau siang. Tapi, kalau malam mulai kelihatan bintang-bintang,” jelasnya.
Perempuan yang biasa disapa Ji itu bercerita jika biasanya Jakarta hampir tidak pernah ada bintang. Pernah beberapa kali ketika ia masih kecil, atau jika adapun hanya ada 2-3 saja. Sedangkan sekarang mulai banyak bermunculan, “Itu tanda kalau langitnya cerah juga, ‘kan?” tambahnya.
Barangkali membaiknya kualitas udara Jakarta bisa menjadi berita baik ditengah-tengah merebaknya virus Covid-19. Biarkan tenaga medis dan jajarannya menjadi garda terdepan untuk memerangi virus ini, yang lainnya tetap di rumah seperti anjuran pemerintah. Tetap di rumah, karena Jakarta sedang beristirahat.