Kamis, Mei 2, 2024

Jacob Blake dan Problem Krisis Rasial

Yohanes Yerius Lando
Yohanes Yerius Lando
Yeri Lando Penikmat isu pendidikan

Pria kulit hitam Jacob Blake (29) ditembak jarak dekat dari belakang oleh polisi Wisconsin, Amerika Serikat di depan tiga anaknya. Terdengar tujuh kali letusan dalam peristiwa naas itu. Kejadian itu berlangsung pada Minggu (23/8/2020) sekitar pukul 17.00 waktu setempat di Kenosha, Wisconsin. Rekaman video momen penembakan itu beredar luas di media sosial. Penembakan itu kembali memicu kemarahan masyarakat Amerika Serikat. Mereka pun sekali lagi turun ke jalan untuk memprotes tindakan kejahatan itu pada Senin (24/8/2020).

Sebelumnya, protes serupa terjadi pada akhir Mei 2020 lalu. Warga memprotes atas kematian George Floyd, pria AS berkulit hitam di Minneapolis. Floyd tewas setelah seorang polisi kulit putih menindihkan lutut ke lehernya selama nyaris 9 menit. Kejadian ini memicu rentetan aksi protes di AS. Kasus ini pun menyita banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat dunia.

Akan tetapi, ternyata negara super power sekelas AS seperti tidak pernah lelah untuk melakukan kesalahan yang sama. Kasus kekerasan bahkan pembunuhan terhadap warga kulit hitam di sana selalu menjadi masalah seksi yang terus dipertontonkan kepada masyarakat dunia. Setiap tahun selalu terjadi serangan rasial dan anehnya masyarakat kulit hitam selalu menjadi korban. Untuk dua kasus terakhir entah sengaja atau tidak selalu melibatkan pihak kepolisian sebagai pelaku kekerasan.

Sebagaimana ditulis oleh Hatib A. Kadir di majalah Tirto 12 Juni 2020 sejak gerakan Black Lives Matter (BLM) dibentuk tahun 2013 lalu, kasus penembakan terhadap warga kulit hitam di Amerika masih sangat tinggi. Data dari Bureau of Justice Statistics mengungkapkan pembunuhan yang dilakukan polisi terhadap warga sipil rata-rata mencapai 900 kasus pertahun.

Tingkat kerentanan pun menunjukkan kalau orang kulit hitam sembilan kali berpotensi terbunuh dibandingkan orang kulit putih. Fakta yang menakutkan untuk negara sekelas AS. Data ini tentu saja merupakan fenomena gunung es karena banyak warga sipil meninggal dibunuh polisi tetapi tidak terekspos.

Polisi menyiapkan dana tidak sedikit untuk menutup kasus pembunuhan dan memenangkannya di pengadilan. Keeanga-Yamahtta Taylor penulis buku From #BlackLivesMatter to Black Liberation (2016) mengungkapkan bahwa polisi New York menghabiskan 150 juta USD setahun dan polisi Chicago menghabiskan 500 juta USD dalam sepuluh tahun terakhir, untuk memenangkan berbagai gugatan pengadilan (lawsuit) atas kekerasan yang mereka lakukan.

Dari data yang disampaikan di atas sudah cukup jelas bagaimana perlakuan kepolisian di sana terhadap warga kulit hitam. Hal ini tentu mencoreng nama besar AS sebagai salah satu negara super power. Penembakan Jacob Blake menjadi bukti bahwa untuk kesekian kalinya kepolisian negara itu gagal melindungi warga negara mereka. Rakyat yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban kekerasan yang mungkin dengan sengaja dilakukan dan dipertontonkan kepada masyarakat umum.

Kejahatan yang Mendarah Daging

Diwakili Elon Musk dan SpaceX, Amerika Serikat telah sukses mengirim astronaut ke luar angkasa. Negeri Paman Sam terlihat sebagai negara yang sukses dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, diwakili petugas-petugas kepolisian, Amerika adalah negeri busuk dan miskin penghargaan terhadap sesama. Kematian George Floyd dan disusul penembakan Jacob Blake karena keberingasan polisi bukan yang pertama melainkan kelanjutan dari rangkaian rasisme sistemik di Amerika Serikat.

Sebelum kasus Floyd yang kemudian disusul demo besar-besaran di negeri Paman Sam, ternyata pernah terjadi kasus yang cukup menyita perhatian public atas diskriminasi rasial yang menimpa Ahmaud Arbery. Dia adalah pemuda kulit hitam berusia 25 tahun yang tewas dibunuh oleh Travis McMichael dan ayahnya Gregory, mantan polisi, ketika sedang jogging di wilayah Georgia, Amerika Serikat.

Arbery ditembak ayah dan anak karena disangka sebagai penjahat yang sedang melarikan diri. Travis McMichael dan ayahnya Gregory tak sedikit pun bertanya kepada korban sebelum mereka membunuhnya. Wanda Coper-Jones, ibunda Arbery mengatakan anaknya tewas tanpa diberikan kesempatan berbicara dan membela diri,

Bahkan Justin Blake paman Jacob Blake setelah melihat video keponakannya yang ditembak dari belakang oleh petugas polisi, mengatakan kepada ABC TV sebagaimana dikutip oleh The Guardian.com edisi 26 Agustus 2020 “Tindakan itu jelas merupakan masalah rasial. Sangat mengecewakan bahwa kami tinggal di Amerika pada tahun 2020 dan orang tua kulit hitam masih harus mengingatkan anak mereka agar berhati-hati ketika keluar dari pintu rumah. Sebab petugas keamanan yang kami bayarkan untuk melindungi kami justru terus mengintai kami.”

Dari rentetan kasus di atas sedikit menunjukkan bahwa negara sebesar AS ternyata masih tidak ramah dengan warganya yang berkulit hitam. Bahkan kejahatan yang warga kulit putih atau juga polisi kulit putih lakukan kepada warga kulit hitam seperti telah mendarah daging.

Mungkin di waktu-waktu yang akan datang akan terjadi lagi masalah yang sama jika belum ada kesadaran untuk merangkul sesama warga yang berbeda ras, suku atau agama. Ketika orang kulit hitam sembilan kali berpotensi terbunuh dibanding kulit putih, dapat dibayangkan bagaimana wajah ketakutan yang selalu mereka tampilkan jika ingin keluar rumah. Warga kulit hitam di sana seperti rusa yang berjalan-jalan di antara kawanan serigala yang siap menerkam dan menghabisi nyawa mereka kapan saja.

Kembali ke Spirit Kemanusiaan

Masih segar dalam ingatan kita, Senin, 4 Februari 2019 yang lalu telah terbit dokumen Human Fraternity yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam besar Al Azhar Dr. Ahmed al-Tayeb. Dokumen ini merupakan dokumen bersejarah bagi dunia karena berisi 12 hal yang harus dijunjung tinggi oleh masyarakat sekarang untuk menciptakan perdamaian dan kedamaian dunia.

Dokumen Human Fraternity menguraikan tentang satu keyakinan dari krisis dunia modern, yaitu hati nurani manusia yang kehilangan kepekaan. Ada kontradiksi dunia modern; di satu sisi ada kemajuan yang sangat pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, di sisi lain terjadi kemunduran nilai-nilai dan spiritual. Akibatnya, ada rasa frustrasi dan keterasingan yang menyebabkan orang jatuh dalam pusaran ekstremisme dan intoleransi.

Sikap intoleran pada dasarnya tidak pernah membawa perdamaian dan kita mesti melawannya. Begitu pun dengan kasus penembakan Jacob Blake menampilkan sisi lain dari manusia yang masih belum mampu menerima perbedaan dalam hidupnya. Dari sisi manusiawi Jacob Blake warga kulit hitam tidak lebih buruk dari Rusten Sheskey polisi berkulit putih.

Semua manusia punya keunikan dan kekhasan. Jika Rusten Sheskey gagal menerima Jacob Blake dalam hidup sebagai sesama masyarakat AS, maka di sana telah terjadi krisis spirit kemanusiaan. Mau sampai kapan seseorang memperlakukan sesama hanya berdasarkan warna kulit? Apakah kita di Indonesia juga masih melihat suku, agama, dan ras ketika ingin berelasi dengan sesama? Semoga saja kasus seperti ini tidak terjadi di negara kita tercinta apalagi sampai mendarah daging.

Yohanes Yerius Lando
Yohanes Yerius Lando
Yeri Lando Penikmat isu pendidikan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.