Sabtu, April 20, 2024

Isu Komunis Berhembus di Tengah Perjuangan Warga

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.

Isu komunisme sering digunakan berbagai persoalan, baik itu politik praktis maupun konflik agraria hingga perburuhan. Isu tersebut bagai hantu yang menakut-nakuti mayoritas masyarakat. Terkadang sengaja dihembuskan untuk memukul gerakan warga. Sebagai contoh petani di Banyumas pernah mengalami tuduhan dianggap komunis, lalu ada buruh PT. Yakita Mulia di Medan juga pernah dicap sebagai komunis.

Kemudian pada  5 April  2017 aksi warga Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi yang melakukan demonstrasi tolak tambang emas Tumpang Pitu, dengan serta merta dianggap sebagai komunis. Tuduhan tersebut disematkan ke warga tolak tambang emas, karena spanduk yang dibawa oleh warga dalam aksi tersebut terdapat simbol yang menyerupai logo palu arit.

Menurut keterangan warga asal usul dari spanduk yang bergambar logo menyerupai palu arit tersebut, tidak jelas dan fakta dipersidangan juga tidak menunjukan satupun barang bukti yang sesuai dengan tuduhan. Perlu diketahui sumber pelaporan warga yang dituduh komunis, berdasarkan video dan foto yang sempat viral di media sosial dan grup whatsapp.

Isu ini kemudian dihembuskan oleh mereka yang diduga ada relasi dengan tambang, seperti beberapa media yang secara tendensius mewartakan persoalan tersebut. Konten dalam warta yang disampaikan cenderung menjustifikasi warga sebagai komunis, dengan cara mengasosiasikan gerakan mereka sebagai komunis.

Secara simplistis apa yang dilakukan oleh media yang tidak objektif tersebut, sebagai bagian dari suatu pola untuk memukul mundur gerakan warga. Khususnya dalam mendukung upaya sabotase gerakan perlawanan, baik mengaitkan segala sesuatu dengan komunisme, hingga menyusupi gerakan kemudian secara tiba-tiba ada sesuatu yang menyerupai simbol-simbol komunis.

Gerakan warga yang melakukan penolakan memang rentan, terkadang niat baik mereka dalam memperjuangkan haknya, selalu dianggap tindakan yang berbahaya bagi investasi dan keberlangsungan kekuasaan oligarki politik lokal. Bahkan aksi-aksi petani reclaiming lahan hutan karena land grabbing oleh salah satu korporasi milik negara, hingga aksi buruh pemogokan buruh dalam penuntutan upah, dengan mudah dilabeli dengan cap komunis.

Argumentasi tersebut, sebenarnya hanya narasi-narasi ahistoris yang acap kali didengungkan oleh mereka yang berkepentingan. Padahal isu yang mereka gelorakan, sangat kontradiktif jika merujuk dalam literatur ilmiah. Hingga sekarang tidak ada sekalipun kajian yang secara eksplisit dan berbasis validitas across researcher, menyajikan hasil penelitian utuh yang menyatakan komunis-marxis, otomatis menganut pemikiran atheis.

Bahkan dalam karya Marx yang kata-katanya sering dikutip sebagai anti tuhan, “agama adalah candu.” Secara mendalam malah lebih membahas tentang kepada kritik untuk agama, khususnya secara kelembagaan dalam kaitan berbagai persoalan ekonomi, sosial dan politik. Kritik yang ditulis oleh Marx didasarkan pada realitas kala itu khususnya Jerman, ini dapat dijumpai dalam buku yang dialih bahasakan ke Inggris, dengan judul A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right yang ditulis Marx pada 1843.

Bukan hanya Marx, seorang filsuf bernama Baruch Spinoza, Freud dan Nietzsche juga mengkritik hal yang berkaitan dengan Agama dan Tuhan. Jika kita merujuk essai Lenin yang berjudul Sosialisme dan Agama, dia menjelaskan bahwasanya memeluk suatu agama adalah hak individu, namun dalam urusan negara tidak ada sangkut pautnya. Sudah jelas tidak ada narasi yang benar-benar deterministik untuk mengarahkan seorang marxis itu atheis, atau paling tidak menegakkan tuduhan cacat mengenai marxis itu atheis atau atheis itu komunis.

Kebebalan seperti itu merupakan sebuah dampak dari warisan hegemoni Orde Baru, melalui sebuah kekerasan budaya yang secara masif dilembagakan menjadi sebuah ketakutan. Jika kita merujuk pada argumentasi dari Wijaya Herlambang dalam bukunya, bahwa ada upaya melakukan represivitas melalui budaya “cuci otak,” hingga menyusun sebuah pola-pola untuk mendiskreditkan suatu pemikiran politik.

Hal itu juga didasari oleh pengetahuan-pengetahuan yang disampaikan dalam ruang belajar, yang hanya bersumber pada satu pijakan, bahkan memiliki kecenderungan manipulatif. Semua relasional dengan kepentingan kuasa, guna melanggengkan kekuasaan oligarki Orde Baru. Sehingga secara budaya, mereka masuk lalu menyelaraskan pola-pola tersebut menjadi suatu kesatuan yang melembaga hingga saat ini.

Kemudian penciptaan narasi anti Pancasila yang ahistoris, diperkuat dengan adanya Tap MPRS nomor 25 tahun 1966 yang dijadikan dalih dalam merepresi warga, ketika mereka dituduh menyebarkan dan mengajarkan marxisme dan komunisme. Aturan tersebut sejatinya menjadi pangkal dari “pengkomunisan” warga, maka oleh sebab itu di era KH. Abdurrahman Wahid pernah ingin dihapuskan, karena bertentangan dengan konstitusi dan realitas sejarah.

Salah satu fakta historis yang tersaji yaitu Sukarno di koran pemandangan (1941), mengakui jika marhaenisme adalah marxisme yang dimodifikasi, sesuai dengan budaya serta analisis faktual yang kompeten di Indonesia.

Bahkan Hatta dalam buku Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia maupun Pengantar Kejalan Ekonomi Sosiologi dan Fasal Ekonomi, semua berangkat dari analisis pemikiran Marx dan Engels. Kemudian ada Tjokroaminoto juga menerapkan ide-ide Marxis dalam pemikirannya, yang dapat kita baca di Sosialisme dan Islam. Lantas apakah mereka yang mempelajari dan mengimplementasikan pemikiran Marx sebagai anti Tuhan?

Peristiwa 65 memang menjadi luka sejarah yang selalu disuarakan secara kontinum, dikaitkan dengan hal-hal yang kontradiktif, menjadikan sebuah paranoia akan komunisme semakin menjadi-jadi. Hal inilah yang selalu dijadikan dalih dalam merepresi gerakan warga. Mereka diidentikan dengan komunis hanya karena ingin mempertahankan diri dan lingkungan mereka.

Mengutip apa yang disampaikan oleh ahli sosiologi, DR. Sunito Satyawan yang juga seorang peneliti dan dosen. Mengatakan jika komunisme tanpa sebuah infrastruktur hanyalah sebuah tuduhan yang tak berdasar. Seseoranga atau kelompok yang dikatakan komunis harus memenuhi kriteria, baik secara gerakan, pengetahuan dan gerakan yang persisten. Hal tersebut sudah menjadi suatu konsensus ilmiah, bahwasanya mendaku diri sebagai komunis atau marxis tak semudah berucap. Ada kriteria-kriteria yang cukup berat.

Jadi sangat janggal dan terlihat kurang pengetahuan umum, jika menuduh gerakan tani atau buruh sebagai komunis, tanpa tahu basis infrastruktur dan suprastruktur suatu ideologi politik. Sehingga tuduhan tersebut memiliki determinasi dalam upaya merepresi gerakan.

Menakut-nakuti warga yang berjuang atas haknya, merupakan bentuk dari usaha untuk melanggengkan perampasan hak warga. Sehingga narasi-narasi komunisme yang berhembus, akan selalu dijadikan dalih dalam mengalienasikan warga negara dari hak dasarnya. Lalu masih bertanya, apakah benar mereka yang menolak adanya pertambangan atau sedang memperjuangkan haknya, benar-benar seorang komunis ?

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.