Beberapa waktu yang lalu, diskursus tentang post-Islamisme kembali menguat setelah pasangan cawapres Prabowo, Sandiaga Uno disebut-sebut oleh pendukungnya (PKS) sebagai santri post-Islamisme. Istilah ini diangkat, paling tidak, untuk tetap menjaga kesolidan pendukung islamis kubu tersebut. Sudah bukan rahasia lagi, kubu Prabowo selalu mengidentikan kelompoknya sebagai yang pro terhadap Islam.
Jika melihat pada persoalan kontestasi politik yang lebih luas, diskursus di atas sebenarnya memiliki hubungan yang erat dengan ungkapan ‘Islam Yes, Partai Islam No!’, yang pernah digagas oleh Cak Nur (Nurcholis Majid, almarhum) dalam pidatonya di Taman Marzuki Ismail (TIM) di Jakarta, pada tahun 1970. Bagi Cak Nur, Islam sebagai wahyu dari Allah haruslah diletakkan di atas yang lainnya.
Partai Islam dan Post-Islamisme
Sejatinya, kedua istilah ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan, jika post-Islamisme adalah suatu wacana tentang pengkompromian antara Islam dan politik modern seperti demokrasi, maka partai Islam lebih merupakan pengejawantahan atau sisi praktis dari diskursus post-Islamisme itu sendiri. Sehingga kedua istilah itu hanya dibedakan pada sisi wacana dan sisi gerakannya.
Sebagai contoh, di Indonesia, partai Islam yang memiliki seluruh pendefinisian dari istilah post-Islamisme adalah PKS. Paling tidak, PKS dapat menjadi contoh bagaimana gagasan Islam dapat bernegosiasi dengan gagasan demokrasi dan pluralitas. Meskipun, dalam segi praktiknya, tak jarang PKS berpenturan dengan partai-partai lain yang umumnya bukan partai Islam.
Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir ini, kedua kubu politik saling bertengkar satu sama lain, yakni kubu oposisi dan pemerintah, di mana Islam menjadi satu-satunya wacana dan menjadi kekuatan untuk menyerang kubu pemerintah. Ini menjadi bukti kuat bagaimana partai Islam seakan-akan mengalami benturan dengan partai non-Islam, yang pada gilirannya mengakibatkan suasana politik dan demokrasi kita menjadi tidak sehat.
Jika partai Islam dan post-Islamisme ini kita hubungkan dengan ungkapan Cak Nur di atas, yakni ‘Islam Yes, Partai Islam No’, maka apa yang dulu dikhawatirkan oleh Cak Nur tentang benturan itu benar-benar telah terjadi di tengah-tengah kita semua. Di mana Islam diperalat untuk tujuan-tujuan politik yang tidak benar dalam meraih kekuasaan, atau Islam dijadikan senjata untuk melawan penguasa. Jelas, cara-cara semacam ini tak bisa dibenarkan, sebab pemerintah yang berkuasa tidaklah dalam kondisi lalim dan otoriter, malahan sangat demokratis dan pro terhadap Islam.
Paradigma Islam
Sebagai wahyu Ilahi, Islam adalah kebenaran mutlak, sama persis dengan konsep wahyu dalam agama-agama yang lain. Adapun partai, ia sama sekali bukan wahyu. Partai adalah buatan manusia, tak terkecuali partai Islam. Meski sah-sah saja menjadikan Islam sebagai spirit perjuangan, sebagaimana dalam partai Islam, yakni bernegosiasi antara gagasan Islam dan politik modern, tetapi hal itu haruslah dilakukan dengan cara-cara yang Islami juga, bukan malah memperalat agama untuk tujuan-tujuan yang tak benar.
Ungkapan Cak Nur di atas juga menyiratkan bahwa Islam dan partai Islam tidak selalu identik satu sama lain, sebab Islam jauh lebih mulia daripada sekedar partai. Meski berlabel ‘Islam’, tetap saja strategi politik dan managerialnya dibuat langsung oleh manusia, yang tentu dimungkinkan dapat salah.
Mengidentikan Islam dan partai Islam juga bukan hanya keliru, tetapi juga berbahaya. Sebab bila suatu saat, dan ini sudah pernah terjadi, ada politisi dari partai Islam melakukan perbuatan keji, maka Islam sebagai agama bisa dipandang ikut tidak terpuji. Begitu pula bila partai Islam kalah, maka Islam pun akan dipandang kalah.
Tulisan ini tidaklah bermaksud mempertentangkan antara Islam dan partai Islam, hanya ingin mendorong umat Islam agar lebih berhati-hati. Partai dengan ideologi Islam sah-sah saja, selama ia tidak menyalahi demokrasi dan ideologi negara. Tetapi mempertentangkan partai Islam dan non-Islam, sampai menganggap partai lain tidak Islami, maka itu adalah suatu kekeliruan, apalagi memperalat Islam untuk kepentingan kekuasaan semata, hal itu jelas tidak bisa dibenarkan.