Rabu, April 24, 2024

Islam: Membentuk Jiwa Intelektual Profetik (Kenabian)

Muhammad Dudi Hari Saputra
Muhammad Dudi Hari Saputra
Lecturer at Kutai Kartanegara University and Former Industrial Ministry Special Analyze

Penulis:
M. Dudi Hari Saputra, MA. Penggiat Filsafat Islam dan Pengurus Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam.

Pandangan umum etos kerja intelektual 

Francis Bacon di buku Novum Organum pernah menulis beberapa etos kerja intelektual, weltanschauung/world view pemikiran “barat” yang empirisme-materialisme menekankan “objektifitas” ilmu pengetahuan, bahwa kebenaran adalah korespondensi pengetahuan internal dengan realitas objektif/eksternal (teori ini dicetuskan pertama kali oleh Aristoteles). 

konsekuensi nya telah menempatkan pandangan dunia barat memfokuskan kebenaran begitu pula permasalahan dunia terletak diluar diri subjek yang mengetahui/intellectus, pandangan dunia ini kita kenal dengan modernisme. 

Dampak positif dari pengetahuan ini berupa kemampuan memberikan solusi bagi penyelesaian masalah eksternal, namun memiliki dampak negatif berupa permasalahan internal yang tidak selesai.

 mereka mampu memberikan solusi bagi permasalahan diluar dirinya, namun disaat yang sama juga menjadi bagian dari sumber permasalahan itu.

Ali Shomali dengan pandangan Falsafah Islam nya mencoba memandang weltanschauung secara lebih komprehensif, bahwa kebenaran dan permasalahan bukan saja terkait hubungan manusia dengan realitas eksternal dalam hal ini adalah alam/materialisme, namun juga terkait hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia yang lain dan manusia dengan Tuhan nya (pandangan kosmologi Islam, bisa merujuk tulisan Muhammad Taqi Ja’fari).

Pandangan dunia Islam yang komprehensif, juga menghadirkan sebuah etos ilmu pengetahuan yang berbeda, bahwa prinsip pengetahuan bukan saja mencari kebenaran yang objektif di alam/materialisme, namun juga pembentukan karakter diri (etika), hubungan dengan manusia lain (sosial-moral), dan hubungan dengan Tuhan (Spiritual).

Etos kerja intelektual menurut Islam,
 kita bisa merujuk penjelasan Musa Kazhim, pertama terkait hal-hal yang dilakukan dalam proses belajar: 

1. Memiliki motivasi atau tujuan belajar yang realistis, misalnya jika ingin belajar filsafat, maka harus memahami ilmu logika terlebih dahulu, 2. Tidak banyak bicara, jikapun bicara, bicaranya mampu menambah pengetahuan bagi yang mendengarnya. Dengan tidak banyak bicara seseorang telah menunjukkan kerendah-hatiannya, ketidak-sombongannya, sehingga lebih banyak mendengar dan belajar dari orang lain, 

3. Tidak terpengaruh dan terganggu oleh hasrat (menurut Muthahhari setidaknya ada 5 hasrat pada manusia, yaitu tahta/kuasa, harta, seksual, ilmu pengetahuan dan keindahan/kenikmatan) serta ketidak percayaan dirinya.

 

Penjelasan tidak terpengaruh oleh hasrat, sebenarnya mirip dengan idola (berhala) yang harus dihindari ketika meraih pengetahuan oleh Francis Bacon, yang tujuan nya untuk meraih objektifitas pengetahuan.

 Kenapa ilmu pengetahuan dianggap hasrat dan harus dihindari, karena ilmu menurut pandangan Islam bukanlah tujuan, melainkan pendorong/jalan menuju sumber cahaya (baca: Tuhan), sehingga jika meraih ilmu untuk tujuan ilmu, maka ilmu itu sendiri akhirnya menjadi hijab untuk kepada Nya, inilah yang dimaksud dengan hijab cahaya.

Mengapa seorang intelektual harus percaya diri dengan pengetahuannya, agar ia bisa dengan yakin menyimpulkan dan mempertahankan kebenaran pengetahuan nya, lalu agar ia terhindar dari keraguan yang bisa membuat pendengarnya maupun dirinya menjadi kebingungan serta ragu untuk bertindak, dengan kepercayaan diri dan keyakinan nya maka ia berani dan tegas dalam berpendapat dan bertindak melawan orang-orang fanatik yang bodoh tapi yakin (Bertrand Russel pernah menjelaskan bahwa permasalahan dunia, dikarenakan oleh orang-orang bijak/berpengetahuan yang ragu dan orang-orang fanatik-bodoh yang yakin)

.

Signifikansi etos kerja intelektual Islam

Islam memandang bahwa kemampuan untuk tetap kepada pengetahuannya dan tidak resah dalam keadaan yang sepi dan sendiri sekalipun, malahan dalam keadaan seperti itulah ia semakin berfokus kepada pengetahuan.

Orang ini kemudian mampu memahami secara mendalam tentang Allah (makrifatullah) dengan argumentasi dan pengetahuan dan jika mampu mencapainya, maka orang tersebut memandang dunia tidak bernilai, melainkan dunia yang memandang nya bernilai, orang ini tidak lagi bergantung kepada dunia, melainkan dunia yang bergantung pada dirinya.

Dan kemudian orang-orang ini mampu bertahan dalam menjalani kehidupan, karena bekal pengetahuan nya, dan manusia memiliki pengetahuan yang universal (filosofis), dan hal ini yang menurut Murtadha Muthahhari membedakan pengetahuan manusia dengan pengetahuan binatang yang partikular.

Dan manusia dengan etos intelektual islam akan mengikuti kebenaran pengetahuannya lalu mengaplikasikannya, seorang intelektual muslim akan fokus pada kebenaran pengetahuan yang akan memberikan dampak bagi dirinya, dan tidak akan membuang waktunya untuk membaca buku-buku yang tidak memberikan dampak bagi dirinya, dan sampai pada tahap manusia ini tidak hanya akan fokus pada ilmu pengetahuan yang memberikan hubungan lebih dekat kepada dirinya, tapi pula kepada manusia yang lain hingga kepada Tuhan. Dan ketika manusia itu mencapai derajat ilmu yang membawanya langsung berhubungan dengan Tuhan, maka Tuhan akan membimbingnya secara langsung (hudhuri), ia ibarat Al-Qur’an (kebenaran) yang berjalan, ilmu dan diri nya sudah menyatu (ittihad al-aqil wa al ma’qul).

Maka kualitas seorang intelektual/cendekiawan muslim haruslah mencerminkan gambaran seorang derajat manusian sempurna (Insan Kamil), prinsip Ketauhidan, Kemanusiaan dan Sosial (Rausyan-Fikr), dimana aspek lahir dan bathin Islam telah disentuhnya (Ali Syariati: 2011). Karena gerak sejarah Islam itu selalu bergerak maju (progress) dan transformatif untuk menjawab tantangan kekinian dan masa depan (modern), yang akan menciptakan islam sebagai ilmu dan paradigma dengan tetap berdasarkan prinsip Tauhid (Kuntowijoyo: 2001). 

Elaborasi agama (dalam hal ini Islam) sebagai aspek yang lahir dari fitrahwi kemanusiaan (Muthahhari: 1998), prinsip keagamaan yang berangkat dari sisi kemanusiaan nya meniscayakan bagi adanya aspek ilmu pengetahuan sebagai bagian integral dari agama (relasi teks/Qur’an dan konteks/Ilmu), yang memiliki relasi dengan kehidupan sosial dan ekologi, sehingga menciptakan insan intelektual yang profetik (Kuntowijoyo: 2005).

Muhammad Dudi Hari Saputra
Muhammad Dudi Hari Saputra
Lecturer at Kutai Kartanegara University and Former Industrial Ministry Special Analyze
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.