Keruntuhan Kekaisaran Romawi pada penghujung abad ke-5 M menandai akhir dari zaman klasik di Eropa. Tidak adanya imperium yang bisa mengisi kekosongan politik tersebut membawa Eropa memasuki zaman baru.
Gereja tampil mengisinya dan lambat laun pengaruhnya meluas hingga melampaui batas-batas kerajaan. Zaman ini disebut juga sebagai abad pertengahan, sebelum Eropa memasuki zaman modern. Karena besarnya pengaruh agama dalam kehidupan masyarakat maka disebut juga sebagai era kebangkitan religi.
Pengaruh ini juga terjadi pada ilmu pengetahuan. Ilmuwan digantikan oleh teolog dan aktifitas keilmuan diarahkan untuk pembenaran gereja. Gereja mengembangkan posisinya sedemikian rupa sehingga hanya gerejalah yang berhak atas tafsir terhadap agama dan kehidupan. Ilmu pengetahuan yang telah berkembang di zaman Eropa klasik dipinggirkan dan dianggap sebagai sihir karena bisa memperdaya manusia dan mengalihkan perhatiannya terhadap Tuhan.
Salah satu yang bisa menggambarkan hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan adalah rumusan yang dikemukakan oleh Uskup Agung Anselmus (1033 – 1109) yang dikenal juga sebagai pujangga gereja yakni credo ut intelligem. Imani dahulu, baru kemudian dimengerti. Jadi argumen-argumen disusun sebagai pembenaran terhadap apa yang diimani. Ini berkebalikan dengan doktrin ilmu pengetahuan yang menuntut pembuktian terlebih dahulu baru kemudian menerima suatu hal, dan bila mungkin diterima sebagai iman.
Kondisi ini memunculkan tafsir tunggal terhadap agama dan kehidupan dengan otoritas kebenaran ada pada gereja. Ilmu pengetahuan mandeg, karenanya abad ini disebut juga sebagai abad kegelapan. Satu contoh yang menunjukkan dominasi gereja adalah hukuman terhadap astronom, filsuf, dan fisikawan Galileo Galilei (1564 – 1642) karena mengeluarkan pendapat yang berbeda dengan gereja tentang kedudukan bumi dan matahari di tata surya.
Gerakan kebudayaan Renaissance (kelahiran kembali) pada abad 14 sampai abad 17 mengakhiri abad pertengahan dan Eropa pun kembali hidup. Gerakan ini melahirkan kembali kecintaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan dan bisa disebut sebagai tonggak awal Eropa untuk memasuki zaman modern. Pada abad 18 terjadilah revolusi industri. Eropa pun memasuki babak baru sebagai pemimpin peradaban karena menguasai industri dan teknologi.
Sejarah yang Berulang di Zaman Now
Pelajaran penting dari Eropa abad pertengahan ini adalah bahwa kekeliruan epistemologis seperti tersebut dalam credo ut intelligem dan perilaku pemegang otoritas keagamaan – dalam hal ini diwakili gereja – yang cenderung memanfaatkan agama untuk meneguhkan posisinya, mempunyai dampak yang sangat besar bagi peradaban manusia. Padahal tidak ada agama mana pun di dunia ini yang tidak membawa perubahan dan perbaikan bagi peradaban manusia.
Semua nabi adalah para revolusioner peradaban dengan ajaran agama yang dibawanya. Tugas para nabi ini kemudian diteruskan oleh para ulama/gereja/pemuka agama. Tetapi kadang-kadang, tugas ini tidak dilaksanakan dengan baik. Sehingga agama yang dimaksudkan untuk membawa manusia menuju kehidupan yang lebih baik, justru berbalik menjadi hal yang sangat kontra produktif.
Bisa dibayangkan bagaimana umat manusia di Eropa mengalami stagnasi dan kemunduran selama beratus tahun hanya karena kekeliruan tafsir terhadap agama, ditambah perilaku pemegang otoritas keagamaan yang cenderung memelihara hal tersebut. Situasi semacam inilah yang disebut oleh Murthadha Muthahhari – seorang ulama yang sangat berpengaruh dalam revolusi Islam di Iran – menghinggapi juga kaum muslimin.
Muthahhari menyebut bahwa pukulan paling berat bagi perkembangan Islam adalah bukan dari luar melainkan dari dalam sendiri, yaitu dari mereka yang mengaku sebagai penjaga Islam.
Credo ut intelligem menempatkan iman sebelum akal sehingga akal berfungsi sebagai penjelas bagi hal-hal yang diimani. Dalam perjalanan iman, kadang-kadang memang dijumpai hal-hal yang di kemudian hari baru bisa dijelaskan oleh akal. Para spritualis yakni penempuh jalan penyucian jiwa bahkan mengkategorikan akal sebagai hijab yang tebal sebelum sampai tahap kasyaf yakni tersingkapnya realitas alam semesta. Pada posisi ini credo ut intelligem bisa diterima.
Akan tetapi pada posisi proses pencarian kebenaran, credo ut intelligem tidaklah berlaku. Apa yang harus diimani jika kita tidak mengerti tentang apa yang harus diimani tersebut ? Bagaimana bisa menjadi iman jika akal tidak mampu menjawab keraguan ? Nabi Ibrahim/Abraham yang dikenal sebagai Bapak Tauhid agama-agama besar pun melewati keraguan sebelum memperoleh kebenaran yang hakiki. Dan dibandingkan dengan beliau maka sebenarnya kitalah yang lebih layak untuk ragu.
Credo ut intelligem adalah rumusan khusus yang hanya benar untuk maqom tertentu, tetapi tidak bila diterapkan secara umum.
Di zaman now, umat Islam juga terlanda persoalan epistemologis yang mirip. Bila Eropa di abad pertengahan adalah credo ut intelligem, maka rumusan yang berpotensi besar untuk menjadi problem di kalangan umat Islam adalah laa hukma illa lillah.
Laa hukma illa lillah artinya tidak ada hukum kecuali hukum Allah. Kebenaran Allah bersifat mutlak sedangkan dari manusia bersifat relatif. Oleh karena itu hukum Allah harus ditempatkan di atas hukum manusia.
Meskipun nampak sebagai perbandingan dalam menentukan kebenaran, yakni apakah kebenaran tersebut bersumber dari hukum Allah (Al-Qur’an) ataukah bersumber dari akal, sebenarnya laa hukma illa lillah tidaklah demikian halnya. Al-Qur’an tidak bisa berbicara sendiri, ia tidak datang dengan membawa makna di pundaknya sehingga harus dibaca, ditafsirkan, dan dimengerti oleh akal. Jadi sebenarnya tidak tepat untuk memposisikan Al-Quran dan akal dalam perbandingan sumber untuk menentukan kebenaran, karena bagaimana pun juga semuanya melalui proses akal.
Kekeliruan epistemologis ini sering menyebabkan keragu-raguan umat dalam menyikapi perkembangan zaman. Ghirah umat yang besar untuk menerapkan Islam dalam kehidupan sehari-hari dan keinginan umat untuk bangkit dan menemukan kembali kejayaannya, akan sangat sulit terwujud jika persoalan epistemologis ini tidak diselesaikan dengan baik. Sebaliknya hal ini bisa membawa kemunduran umat Islam dan mengembalikan umat ke zaman onta.
Seperti sebuah ungkapan, “Pada saat Barat/Eropa telah pergi ke bulan, umat Islam bahkan masih berdebat apakah halal atau tidak melihat bulan”. Wallahu a’lam.