Jumat, April 19, 2024

Islam dan Integrasi Masyarakat Global

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Kajian terhadap realitas sosial modern melahirkan apa yang disebut pluralisme sebagai ideologi baru tatanan masyarakat multikultural. Paham pluralisme sosial didasarkan atas kenyataan akan kemajemukan wujud (eksistensi) manusia mulai dari latar belakang, adat-kebiasaan, etnik, agama, ras (warna kulit) hingga profesi dan organisasi lingkungan yang membentuknya menjadi sebuah komunitas (masyarakat).

Dalam perspektif Islam, di antaranya dinyatakan dalam QS al-Hujurât (49) ayat 13 bahwa Allah menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (plural) untuk melakukan interaksi sosial. Piagam Madinah yang dibuat Nabi Muhammad Saw dan kaum muslimin bersama orang-orang Yahudi memuat pasal-pasal tentang kesepakatan sosial antar mereka juga diyakini secara implisit memuat ajaran-ajaran tentang pluralisme sosial.

Pluralisme

Kebebasan merupakan ajaran utama pluralisme. Ia berkembang menjadi wacana global ditujukan untuk mengikis paham primordialisme dan eksklusivisme yang ditengarai menuai banyak bencana kemanusiaan. Bila dikaitkan dengan agama, ia ingin menghapus klaim kebenaran (trust claim) oleh dan atas satu agama.

Ketika pluralisme diusung menjadi ideologi, nilai-nilai kemanusiaan universal seperti kebebasan, keadilan, persamaan hak, dan sejenisnya dijadikan sebagai tema sentral bagi terciptanya sistem sosial yang langgeng dan abadi. Nilai-nilai tersebut dikemas dalam bentuk ajaran-ajaran demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Kemodernan diukur oleh sejauh mana penerapan demokrasi dalam lembaga-lembaga sosial dan penghargaannya terhadap HAM. Tatanan masyarakat modern didasarkan atas norma-norma kemodernan yang tecermin dalam hukum-hukum demokrasi dan HAM.

Pluralisme sebagai ideologi masyarakat modern meskipun berangkat dari keniscayaan eksistensial tidak luput dari multi perspektif (cara pandang beragam) atas ajaran-ajaran yang dikandungnya. Di antara ragam pandang atas ajaran-ajaran pluralisme, perspektif sosial dan agama mendapat tempat istimewa mengingat pengaruh keduanya terhadap tata gaul sosial masyarakat modern.

Perspektif sosial, misalnya memandang pluralisme sebagai perangkat utama penunjang terjadinya perubahan sosial. Ajaran-ajaran di dalamnya merupakan piranti pengikat simpul-simpul perbedaan menuju tercapainya tujuan-tujuan sosial. Sedangkan Islam memandang pluralitas sebagai sunnatullah agar dijadikan media interaksi antarmanusia untuk tujuan spiritual.

Antara kedua perspektif ini terdapat persamaan sekaligus perbedaan. Keduanya sama-sama memandang pluralitas sebagai realitas (kenyataan) dan merupakan instrumen pengembangan sosial. Sementara yang pertama menitikberatkan pada aspek perubahan melalui simpul-simpul perbedaan, yang kedua mengutamakan fungsi integrasi dalam interaksi antarmanusia.

Khazanah Politik Islam

Khazanah sosial politik Islam memerankan fungsi integrasi dengan sangat baik, dan sering dijadikan sebagai prototipe dan model integrasi masyarakat plural. Sejarah awal integrasi sosial politik Islam dimulai sejak perjalanan hijrah Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah.

Didahului dua kesepakatan antara beberapa orang penduduk Madinah dengan Nabi Muhammad Saw yang dikenal dengan Baiat Aqabah I dan II, dilaksanakanlah hijrah ke negeri plural namun dilanda banyak perseteruan antarsuku, khususnya antara suku Auz dan Khazraj.

Pada saat itu, di Madinah terdapat tiga golongan Yahudi, yakni Bani Quraidhah dan Bani Nazhir yang memihak suku Auz dan Bani Qainuqa yang memihak suku Khazraj. Kedua suku tersebut terlibat pertikaian politik berkepanjangan yang mengganggu ketenteraman masyarakat Madinah.

Karena itu kebijakan politik pertama Nabi adalah mempersempit ruang pertikaian antar suku-suku di Madinah, dan berusaha menyatukan mereka dalam satu kesatuan masyarakat Anshar. Sedangkan kaum muslimin yang datang (mengikuti Nabi) dari Makkah disebut kelompok Muhajirin. Kedua kelompok ini kemudian bekerja sama membentuk integrasi politik dalam satu keumatan.

Untuk merealisasikan integrasi politik tersebut, Nabi memprakarsai penyusunan suatu perjanjian atau konsensus bersama yang ditandatangani oleh semua kepala suku dan pemuka masyarakat Madinah. Perjanjian ini di kemudian hari dikenal dengan sebutan “Piagam Madinah.” Piagam ini dipandang sebagai undang-undang dasar tertulis pertama dalam sejarah peradaban dunia, dan sangat besar artinya bagi kehidupan politik umat Islam.

Piagam Madinah memuat prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial politik berupa integrasi, kebebasan dan toleransi beragama, kewajiban mempertahankan kedaulatan, mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan kelompok, persamaan hak dan kewajiban serta memerangi kezhaliman dan segala bentuk penindasan. Prinsip-prinsip inilah yang sejatinya menjadi dasar kehidupan sosial politik masyarakat dunia.

Tentang kebebasan yang menjadi ajaran utama pluralisme, al-Quran menegaskan tak ada paksaan dalam agama (al-Baqarah [2]: 256); bagimu agamamu, dan bagiku agamaku (al-Kafirûn [109]: 6); bagi kami perbuatan-perbuatan kami, dan bagi kamu perbuatan-perbuatan kamu (al-Baqarah [2]: 139). Kebenaran bukan monopoli suatu ajaran atau agama tertentu, tetapi merupakan hak setiap orang yang berbuat baik dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah (al-Baqarah [2]: 112).

Lazimnya negara modern, integrasi sosial—juga teritorial—merupakan prasyarat utama terbentuknya tatanan masyarakat yang mampu mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Apa yang dilakukan oleh Nabi dengan mempersatukan kelompok-kelompok masyarakat di Madinah merupakan langkah awal menuju terbentuknya masyarakat modern yang sangat menghargai perbedaan, termasuk di dalamnya perbedaan dalam hal keyakinan serta aspek ritualitas dan penetapan hukum (al-Mâidah [5]: 48).

Meskipun belum sepenuhnya dapat dieksplorasikan menjadi sebuah teori ilmu sosial, prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial politik telah mampu diaplikasikan dengan sangat gemilang oleh generasi muslim awal, yakni pada masa kepemimpinan Nabi Saw dan Khulafaur-Rasyidin yang mencapai titik puncaknya pada masa kepemimpinan Umar bin Khaththab.

Baru setelah itu, kehidupan sosial politik kaum muslim mengalami titik balik dengan munculnya perpecahan antarkelompok dalam tubuh umat Islam sendiri. Benih perpecahan Islam politik mulai terlihat di akhir-akhir masa kepemimpinan Utsman bin Affan. Kecemburuan sosial berlatar belakang etnik-keturunan memudarkan rasa solidaritas antarkelompok berakibat pada munculnya berbagai ketegangan, dan memicu terjadinya pemberontakan yang berujung pada terbunuhnya Utsman.

Estafet kepemimpinan beralih ke tangan Ali bin Abi Thalib beberapa hari setelah terbunuhnya Utsman. Perpecahan semakin meluas, dan akhirnya Ali juga terbunuh. Sejak saat itulah realitas sosial politik muslim mengalami pasang surut dengan jatuh-bangunnya dinasti-dinasti kepemimpinan yang saling berganti hingga berakhirnya dominasi sosial politik muslim.

Betapapun dalam masa pasang-surut dominasi sosial politik, kaum muslim berhasil mencapai puncak kegemilangannya hingga abad ke-13 M, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan epistemologi, berkat interaksinya dengan pelbagai pemahaman keagamaan dan filsafat Yunani kuno, India maupun Cina.

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.