Di tengah situasi genting ini, tak jarang kita melihat pemandangan kontras dimana para pejabat tinggi negara atau daerah turun langsung ke lokasi bencana di Sumatera Barat. Sebuah gestur yang seyogiannya diapresiasi. Namun, sorotan publik belakangan justru tertuju pada beberapa perilaku yang dianggap minus empati, yang semakin memicu amarah di tengah penderitaan.
Fenomena “pejabat berompi anti peluru” di lokasi bencana banjir Pesisir Selatan atau Padang Pariaman menjadi perbincangan hangat di media sosial. Rompi yang sejatinya didesain untuk melindungi dari ancaman fisik, terkesan berlebihan dan bahkan ironis di tengah genangan air, lumpur, dan puing-puing. “Apa ancamannya di sini? Hanyut? Atau takut diserbu warga yang kelaparan? Warga kami butuh makanan dan tempat tinggal, bukan pejabat yang pamer seragam,” cetus seorang relawan lokal yang enggan disebut namanya, mengacu pada kunjungan beberapa pejabat ke daerah terdampak banjir minggu lalu.
Tak hanya itu, aksi “menggendong karung beras” yang kerap menjadi adegan wajib dalam kunjungan bencana juga tak luput dari kritik tajam. Sejumlah laporan dan kesaksian warga di media sosial bahkan menuding beberapa karung beras yang digendong pejabat saat mengunjungi titik pengungsian di Padang atau Pesisir Selatan terlihat kosong atau hanya berisi sedikit barang, semata-mata untuk kebutuhan foto dan publikasi. “Kami butuh beras utuh untuk makan, bukan karung kosong untuk dipegang-pegang pejabat. Jangan jadikan penderitaan kami sebagai konten,” kata seorang warga pengungsian di daerah Koto Tangah, Padang, yang merasa frustrasi.
Erosi Kepercayaan Publik di Tengah Krisis, Profesor Sosiologi Politik dari Universitas Gajah Mada, Dr. Budi Santoso, menjelaskan bahwa perilaku semacam ini, meskipun mungkin dilakukan dengan niat baik oleh sebagian kecil pejabat, justru berpotensi mengikis kepercayaan publik. “Ketika ada kesenjangan antara narasi publik yang dibangun dengan realitas di lapangan, masyarakat akan merasa dipermainkan. Ini berbahaya bagi legitimasi pemerintah dalam jangka panjang, apalagi di tengah krisis seperti yang terjadi di Sumatera Barat saat ini,” ujarnya.
Bencana alam bukanlah panggung politik, melainkan ujian kemanusiaan. Pejabat memiliki peran krusial, bukan hanya sebagai simbol, tetapi sebagai motor penggerak. Sudah saatnya prioritas bergeser dari “apa yang terlihat baik” menjadi “apa yang benar-benar baik” bagi korban. Apalagi dengan skala kerusakan dan jumlah pengungsi di Sumatera Barat yang memerlukan perhatian serius dan penanganan jangka panjang.
Sebagai rekomendasi kepada pemerintah agar berhati hati dalam melakukan mitigasi bencana berikut hal yang perlu di perhatikan:
1. Fokus pada Logistik dan Distribusi Efektif. Pemerintah daerah dan pusat harus memastikan bantuan logistik, terutama bahan makanan pokok, air bersih, obat-obatan, dan selimut, tidak hanya tersedia tetapi juga terdistribusi secara cepat, merata, dan transparan hingga ke daerah terpencil yang terisolir akibat akses jalan putus.
2. Transparansi dan Akuntabilitas Dana Bencana. Publik, khususnya warga Sumatera Barat, berhak tahu bagaimana dana darurat bencana dialokasikan, berapa bantuan yang masuk, dan bagaimana penyalurannya. Publikasi data real-time bisa meningkatkan kepercayaan.
3. Pelibatan Ahli dan Komunitas Lokal. Libatkan ahli kebencanaan, sosiolog, psikolog, serta tokoh masyarakat dan relawan lokal yang paling memahami medan dan kebutuhan, untuk penanganan yang komprehensif, bukan hanya mengandalkan pendekatan politis dari pusat.
4. Komunikasi Empati dan Jelas. Sampaikan rencana pemulihan, bantuan, dan dukungan dengan bahasa yang tulus, hindari retorika yang berlebihan atau janji-janji kosong. Fokus pada penjelasan langkah konkret yang akan diambil.
5. Prioritaskan Kebutuhan Mendesak dan Jangka Panjang. Selain evakuasi dan bantuan darurat, segera mulai perencanaan pemulihan infrastruktur vital seperti jalan dan jembatan yang terputus di Pesisir Selatan, serta penanganan trauma dan dukungan psikososial bagi para korban, terutama anak-anak. Pertimbangkan pula langkah mitigasi jangka panjang untuk mencegah terulangnya bencana serupa.
Banjir akan surut, lumpur akan mengering. Tetapi ingatan tentang siapa yang benar-benar peduli dan bertindak, bukan sekadar berpose, akan tetap membekas di hati masyarakat Sumatera Barat. Ini adalah saatnya menunjukkan empati sejati, bukan sekadar lakon tanpa isi.
