“Sederhana itu baik. Mengultuskan kesederhanaan itu buruk. Itu politik manipulatif,” kicau Rocky Gerung dalam twitterland. Pengajar filsafat Universitas Indonesia itu tentu ingin menyindir followers Joko Widodo yang terlampau memujinya mendekati semacam pengultusan.
Tepatkah kicauan itu? Katakanlah ya. Sebab, selain nalar jadi sulit untuk objektif, cara-cara mengultuskan dari followers-nya itu bisa jadi bumerang bagi diri sang RI 1 itu sendiri. Alih-alih memberi madu serta manisnya langkah yang men-support, yang ada, malahan timbulkan ngilu tepat di geraham sang presiden. Mengapa pula sepet madu itu buat ngilu? Karena ada aksioma: memuji itu perlu, yang tak perlu, kedunguan dalam memuji. Dan mestinya, kebebalan itu patut disetop, bila kita sama-sama tak mau melihat Joko Widodo yang memang sederhana itu jatuh secara perlahan.
Lalu mengapa jadi politik manipulatif? Karena ingar-bingar apa-yang-tampak dalam diri Joko Widodo (yang rasanya tak pernah ada dalam diri elite negeri ini di mana tubuhnya itu persis, serasi disandingkan dengan tubuh kebanyakan masyarakat Indonesia): wajah yang lugu itu menutupi apa-yang-tak-tampak darinya, yang jadi sebuah kecemasan publik, semisal -yang paling jadi catatan saya- kekeliruannya dalam memahami arti kebebasan. Tentang ini bisa baca https://www.qureta.com/post/munir-dan-perppu-no-2-tahun-2017. Entakan tangan Joko Widodo nyatanya tak seramah parasnya. Dan percakapan publik -apalagi di sosial media- sebatas membedah siapa, tanpa mendedah apa yang telah dan belum dilakukan siapa. Jadi ada suasana semacam “teks” yang mengubur “konteks”. Itu yang salah, dan barangkali itu yang disebut politik manipulatif –hasil kerja yang justru dominan dibuat followers-nya itu.
Namun benarkah kicauan itu? Saya katakan tidak. Sebab, kejemuan kolektif atas sikap para elite yang susah untuk cukup, terus serba kekurangan itu seakan terbayar sudah akan hadirnya sosok Joko Widodo yang sederhana itu. Mungkin itulah yang mengantarkannya pula jadi RI 1. Jadi bukan pengultusan, yang benar ialah keteladanan. Lebih-lebih, negeri ini memang sedang defisit keteladanan. Sepakat atau tidak, kita perlu mengakui bahwa Joko Widodo ialah sosok yang mampu mendefinisikan apa itu hidup sederhana –kendati, belum sepenuhnya menjalar ke mereka yang sedang membantunya di pemerintahan. Bagi saya, ini penting dan perlu, bukan sekadar “teks” apalagi sebab dari politik manipulatif itu, karena meminjam premis Rocky di atas: “sederhana itu baik.”
Maka, terlepas dari belum cukupnya kinerja Joko Widodo, utamanya minusnya ia dalam meredefinisi kebebasan + kedunguan yang dipertontonkan sebagian besar followers-nya, kita perlu sejenak menengok tubuh kurusnya itu yang setidaknya jadi simbol apa yang sederhana –salah satu kemewahan yang tersisa dari keteladanan.
***
Mengapa kurus itu sederhana? Karena sederhana itu menampik tubuh dengan pinggang yang tebal. Dan Joko Widodo punya cerita soal ini. Dari sekian banyak contoh, yang selalu saya ingat saat Hari Pers Nasional, awal tahun 2017. Sang presiden bersama Panglima TNI, Kapolri, jajaran kabinetnya beradu futsal. Sang presiden mengenakan jersey + celana pendeknya, tentu tak ketinggalan sepatu sport merek Reebok dengan tipe TwistForm berwarna putih. Yang nampak darinya, perawakannya kian terlihat kurus. Menariknya, bagi saya, sosoknya di lapangan futsal itu jadi pembeda, atau juga sebuah sindiran bagi tubuh-tubuh dengan perut yang membuncit: pejabat lainnya yang turut bermain di sana itu.
Kita tahu, besarnya perut itu sering diidentikkan sebagai tubuh seorang pria yang makmur dan tanda apa yang sukses. Oleh sebabnya, bagi Joko Widodo, kurus itu sebuah sikap. Bukan karena tak doyan makan, apalagi tak bisa makan. Ia, sang RI 1 dengan fasilitas menterengnya itu punya sikap bahwa sebagai pemimpin, ia ialah teladan. Maka untuk dapat mengubah, perlulah terlebih dahulu dimulai dari dirinya. Menurutnya, tak elok hidup bermegah-megahan bila masih banyaknya anak Indonesia yang busung lapar. 7,6 juta balita di Indonesia terhambat pertumbuhannya akibat kurangnya gizi (MCA Indonesia, 2013). Tentu pekerjaan rumah bagi Joko Widodo untuk mengentaskan itu. Selain menawarkan cara pandang baru tentang tubuh seorang yang dikatakan telah berhasil: hidup sederhana memang tak mesti jadi kurus, tapi kurus itu bisa jadi ciri hidup sederhana.
Berarti, kesederhanaannya itu bukanlah sebuah politik manipulatif. Justru Joko Widodo menawarkan dirinya sebagai cermin bagi para pembantu dan pendukungnya (lebih tepat pengikut, sepertinya) itu agar bisa mengomentari tubuhnya sendiri: “Pantaskah?” “Sudah tepatkah?” Sebab bagi Joko Widodo, Indonesia bukanlah hasil garapan orang-orang Eropa yang terbiasa melihat raja-rajanya berbadan besar nan gemuk sebagai tanda kewibawaan. Apalagi sampai gembrot.
Yang selalu diingat sejarah soal kegembrotan itu tentu kisah William Sang Penakluk. Terbuai dengan kemenangan dan kekuasaan, terus menerus menegak minuman keras jadikannya lemah dan tak perkasa lagi. Lantas, sampailah kita pada cerita konyol pemakaman Raja Inggris yang buncit itu. Sarkofagus, tempat peristirahatan terakhir yang terbuat dari batu itu terlalu sempit untuk tubuh gendut sang raja. Seperti tak ada cara lain, dipaksakanlah tubuh itu untuk masuk, sebelum akhirnya perut jenazah itu pecah dan bau tak sedap menyebar…
Mungkin, menurut Joko Widodo, Indonesia tak punya riwayat setragis, juga selucu itu. Malahan, bagi sang presiden yang seorang Jawa, agaknya, sejarah Indonesia lebih akrab dengan lakon-lakon pewayangan. Dalam dunia wayang kulit di Jawa, entah kenapa para protagonis biasanya digambarkan dengan tubuh yang tidak gemuk, melainkan kurus bahkan cenderung terlihat kerempeng. Boleh jadi, dalam tradisi kita, kegembrotan itu sesuatu yang gak ilok (tidak bagus), ia justru lambang sebuah kerakusan. Bukan kemapanan. Pondasi seperti itu, sejak dulu, semisal di era Majapahit, lapisan masyarakat tertingginya diduduki bukan oleh para saudagar atau para tuan tanah, bukan pula mereka yang diberi kepercayaan untuk mengurusi negara, melainkan oleh kaum rohaniawan, resi yang hidup jauh dari keramaian perebutan akses atas urusan dunia dan materi –yang dimintai nasihat selalu oleh masyarakat: Brahmana, Empu, Wali Songo.
Artinya, hidup sederhana itu menolak ketamakan. Dan ketamakan itu kerap mewujud dalam tebalnya timbunan lemak di pinggang. Jadi, tubuh Joko Widodo menolak keserakahan. Karena ia kurus. Sebab ia memilih hidup sederhana. Dan “sederhana itu baik,” saya tambahkan, “juga perlu.”