Rabu, November 20, 2024

IPD dan Kemiskinan Pedesaan

Eko Setiobudi
Eko Setiobudi
Dr Eko Setiobudi, SE, ME Dosen di STIE Tribuana Bekasi
- Advertisement -

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data Indeks Pembangunan Desa (IPD), yang menyebutkan jumlah desa tertinggal berkurang sebanyak 6.518 desa menjadi 13.232 desa dibandingkan dengan tahun 2014 yang mencapai 19.750 desa, dengan sebaran status tertinggal masih terbanyak di wilayah Papua, Kalimantan dan Maluku.

Pendataan IDP ini masuk ke dalam Pendataan Potensi Desa (Podes) yang diadakan tiap tiga kali dalam 10 tahun. Khusus data perbandingan IDP 2014 dan 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mengunakan data 2014 dimana jumlah desa mencapai 73.670 desa.

Data ini tentunya bisa dijadikan sebagai salah satu indikator pembangunan desa khususnya keberhasilan menyangkut dengan alokasi dana desa bagi program pembangunan desa serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan pendekatan pemberdayaan.

Diketahui, dari tahun ke tahun memang terjadi tren kenaikan alokasi dana desa dalam postur APBN. Tahun 2015, Dana Desa tercatat Rp 21,7 trilun, pada 2016 naik menjadi Rp 49,6 triliun dan di 2017 mencapai Rp 60 triliun, dan tahun 2018 masih sama sekitar Rp 60 triliun dengan sasaran 74.958 desa.

Sementara IPD adalah indeks komposit yang menggambarkan tingkat kemajuan atau perkembangan desa dengan skala 0-100. Adapun, skala kurang dari sama dengan 50 mengambarkan desa teringgal, 50-75 merupakan desa berkembang dan lebih dari 75 termasuk kategori desa mandiri. IPD disusun dari beberapa dimensi, antara lain penyelenggaraan pemerintah desa, kondisi infrastruktur dan pelayanan dasar.

Sejak disahkannya Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah memang berkomitmen untuk terus mendorong pemerataan pembangunan sampai dengan level desa. Termasuk didalamnya adalah menguranggi angka kemiskinan di pedesaan.

Permendes Nomor 5 Tahun 2015 disebutkan bahwa prioritas penggunaan Dana Desa untuk pembangunan Desa harus memenuhi empat prioritas utama, yakni pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa,  pengembangan potensi ekonomi lokal, dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

Ke-4 priotitas utama tersebut memang menjawab berbagai berbagai studi yang sudah dilakukan mengenai faktor-faktor penyebab kemiskinan di pedesaan. Diantaranya adalah adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat “tersumbatnya” aksesibilitas masyarakat pedesaan terhadap sumber-sumber daya ekonomi, seperti infrastruktur, telekomunikasi dan informasi, pasar dan lain sebagainya. Serta disebabkan oleh adanya ketimpangan mengenai pelayanan dan pemberian hak-hak dasar masyarakat seperti hak atas akses pendidikan dan kesehatan yang sama.

Dengan demikian, penurunan jumlah desa tertinggal tersebut menjadi berita yang mengembirakan, ditengah masih besarnya angka kemiskinan di pedesaan. Berdasarkan data BPS, sampai dengan Maret 2018, angka kemiskinan di desa sebesar 13,20% atau hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kota yang sebesar 7,02%.

Angka itu sekaligus membenarkan bahwa kehidupan masyarakat desa seperti aksesibilitas yang minim, baik transportasi, telekomunikasi dan informasi termasuk infrastruktur, kondisi lingkungan, pendidikan dan lain sebagainya menjadi pembenar faktor-faktor yang menyebabkan tingginya angka kemiskinan di pedesaan.

- Advertisement -

Pada sisi lain, regulasi pembangunan yang berorientasi dan berbasis pada peningkatan kesejahteraan masyarakat desa baru beberapa tahun belakangan mulain intensif dilakukan oleh pemerintah. Simak saja trend penurunan angka kemiskinan di masyarakat desa selama ini. Tahun 2010 angkanya 16,6%, 2011 sebesar 15,7%, tahun 2012 sebesar 14,3%, terus menurun hingga tahun 2016 sebesar 14,1% dan sampai dengan Maret 2018 kembali turun menjadi 13,20%. Hal ini juga sejalan dengan peningkatan alokasi dana desa sebagaimana yang tersebut di atas.

Oleh sebab itu, selain upaya untuk terus menguranggi status desa tertinggal, upaya menguranggi angka kemiskinan di pedesaan juga tidak boleh dilupakan. Fakta memang menyebutkan bahwa kemiskinan di pedesaan jauh lebih dalam dan parah. Penyebabnya adalah (a) upah riil petani dan buruh tani (sebagai basis utama pekerjaan masyarakat desa) biasanya senantiasa tergerus dengan lanju inflasi.

Atau dalam bahasa lain, bahwa upah riil petani dan buruh tani tidak linier dengan kenaikan inflasi, (b) distribusi pendapatan yang kurang berjalan efektif bagi masyarakat desa, akibat keterbatasan aksesibilitas masyarakat pedesaan terhadap berbagai fasilitas seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, serta informasi dan telekomunikasi.

Oleh sebab itu, sinergitas program antar kementerian menjadi penting, agar penguranggan kemiskinan di pedesaan sinergi dengan pengurangan status desa tertinggal. Oleh sebab itu, kebijakan dan program penguranggan kemiskinan di pedesaan harus berorientasi jangka panjang dan berorientasi menguranggi kedalaman dan keparahan kemiskinan, bukan semata-mata menurunkan jumlah prosentasi dan angka penduduk miskin.

Dalam konteks tersebut, langkah pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla yang mengfokuskan pembangunan pada infrastruktur menjadi menemukan kontekstualisasinya.

Memberikan alokasi APBN untuk belanja infrastruktur yang terus meningkat dari tahun ke tahun (tahun 2016 sebesar Rp 317 triliun, tahun 2017 sebesar Rp 387,3 triliun, dan tahun 2018 kembali meningkat sebesar Rp 410,4) menjadi kebijakan yang dapat dirasakan dampaknya secara langsung dalam jangka panjang. Meskipun untuk itu, harus dilakukan dengan mengambil kebijakan tidak populis, seperti penghapusan beragam program subsidi.

Membuka daerah-daerah yang terisolir, memberikan akses yang sama khususnya bagi masyarakat di luar Pulau Jawa dan masyarakat pedesaan, memberikan akses pelayanan pendidikan dan kesehatan yang setara perkotaan dan pedesaan bukan hanya akan berdampak pada distribusi pendapatan yang seimbang, tetapi memberikan kesempatan yang sama bagi semua daerah dan masyarakat untuk mendapatkan aksesibilitas yang sama terhadap semua sumber daya ekonomi bangsa.

Jika semua hal tersebut dapat berjalan secara kontinyu dan mendapatkan dukungan masif dari semua komponen dan elemen bangsa, baik pemerintah swasta, akademisi, dunia industri dan kelompok masyarakat lainnya, bukan tidak mungkin, bangsa Indonesia bisa segera mengatakan “selamat tinggal kepada kemiskinan”.

Eko Setiobudi
Eko Setiobudi
Dr Eko Setiobudi, SE, ME Dosen di STIE Tribuana Bekasi
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.