Indonesia secara resmi memiliki Presiden dan Wakil Presiden yang baru. Menggantikan Joko Widodo – Ma’ruf Amin, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming akan memerintah negara Indonesia hingga tahun 2029. Dalam pelantikannya sebagai Presiden, ada hal menarik dari pidato Prabowo. Ia mengatakan agar kita jangan terlalu puas dengan angka- angka statistik.
Involusi
Di bidang ekonomi, misalnya, setelah pandemi Covid-19 membuat ekonomi Indonesia dan dunia mengalami kontraksi, World Bank mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia (year on year) bisa kembali ke angka sekitar 5% pada tahun 2022 dan 2023. Tentu saja ini pencapaian yang cukup baik dan patut diapresiasi.
Sayangnya, ditengah pencapaian positif tersebut ada catatan merah yang cukup menyita perhatian publik: jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan.
Bulan Agustus yang lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah kelas menengah di Indonesia tahun 2024 sebanyak 47,85 juta jiwa. Angka ini turun drastis bila dibandingkan dengan jumlah kelas menengah sebelum pandemi Covid-19 yang mencapai 57,33 juta jiwa. Bukan tidak mungkin jumlah penduduk miskin di Indonesia akan bertambah.
Selain itu, perekonomian Indonesia juga sedang mengalami deflasi lima bulan berturut- turut sejak Mei hingga September 2024. Sekilas deflasi tampak positif karena harga barang dan jasa terjangkau oleh banyak orang (konsumen). Namun, beberapa ekonom menyakini deflasi beruntun ini mengindikasikan orang yang memiliki uang semakin sedikit. Artinya, pendapatan sebagian besar masyarakat mengalami penurunan.
Turunnya pendapatan akan berdampak pada melemahnya daya beli masyarakat. Melemahnya daya beli akan mengakibatkan konsumsi rumah tangga menurun. Bila hal ini terus berlanjut, menurunnya konsumsi rumah tangga – sebagai penggerak utama perekonomian Indonesia – akan berdampak buruk pada perekonomian Indonesia.
Dua kondisi di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi sekitar 5% belum dinikmati oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Bila bangsa ini ingin naik kelas dari negara berkembang menjadi negara maju pada perayaan 100 tahun kemerdekaan, ekonomi Indonesia – meminjam istilah yang dipakai Prabowo – tidak cukup hanya tumbuh secara statistik.
Selain aspek ekonomi, hal lain yang menjadi indikasi suatu negara dikategorikan maju dan sejahtera adalah kualitas sumber daya manusianya.
Sudah bukan rahasia lagi bila kualitas sumber daya manusia juga menjadi faktor penting dan bisa menentukan kemajuan dan kemakmuran suatu negara. Salah satu indikator yang bisa menunjukkan kualitas sumber daya manusia adalah pendidikan.
Agaknya kondisi pendidikan di Indonesia tidak berbeda jauh dengan kondisi ekonominya. Sejak dicanangkan wajib belajar 12 tahun pada tahun 2015, BPS mencatat, tingkat penyelesaian pendidikan menengah atas di Indonesia pada tahun 2023 sebanyak 66,79%. Ada peningkatan yang signifikan dibanding tahun 2015 yang hanya sebesar 52,04%.
Sayangnya, pencapaian angka statistik ditingkat penyelesaian pendidikan menengah atas belum diikuti dengan pencapaian dalam hal kualitas pendidikan. Bila mengacu skor PISA dari 2015 hingga 2022, Indonesia justru mengalami penurunan dalam bidang matematika, membaca dan sains.
Skor matematika, membaca dan sains tahun 2015 secara berurutan adalah 386, 397, 403. Sedangkan, untuk tahun 2022 adalah 366, 359, 383.
Dengan kondisi ekonomi dan pendidikan yang seperti itu, tidak berlebihan bila bangsa Indonesia sedang mengalami involusi menuju Indonesia emas 2045. Tumbuh secara involusi: timpang dan belum inklusif.
Hal ini masih sangat jauh dari harapan untuk menjadi negara maju dan sejahtera yang hanya tinggal 2 dekade lagi menuju 2045. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Transformasi institusi
Belum lama ini Daron Acemoglu, Simon Johnson dan James Robinson diganjar hadiah Nobel Ekonomi 2024. Studi mereka menunjukkan, bahwa yang menentukan suatu negara bisa maju dan sejahtera adalah institusi politik dan ekonomi negara tersebut, bukan sumber daya alam ataupun letak geografis.
Menurut penelitian Daron Acemoglu, Simon Johnson dan James Robinson, negara yang memiliki institusi inklusif cenderung maju dan sejahtera. Sebaliknya, negara miskin umumnya memiliki institusi yang bersifat ekstraktif.
Institusi inklusif memiliki karakteristik bahwa semua masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan setara. Institusi inklusif bersifat partisipatif, aksesibilitas, serta menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan.
Kebalikandari institusi inklusif, institusi ekstraktif berpusat pada segelintir elit,menguasai semua sumber daya dan mengelolanya untuk kepentingan mereka semata.
Bila ditelaah lebih dalam, salah satu perbedaan yang sangat fundamental antara institusi inklusif dan ekstraktif adalah tata kelolanya. Institusi inklusif umumnya menerapkan tata kelola yang baik (good governance), sedangkan institusi ekstraktif tidak atau belum menerapkan tata kelola yang baik.
Tata kelola yang baik (good governance) dibutuhkan dalam pembangunan. World Bank dalam Worldwide Governance Indicators, mencatat, bahwa tata kelola yang baik dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pembangunan manusia dan memperkuat kohesi sosial.
Worldwide Governance Indicators dalam mengukur kualitas tata kelola tiap negara menggunakan skala dari -2,5 hingga 2,5 – dimana semakin tinggi skor, semakin baik tata kelolanya. Dari 6 indikator selama 5 tahun terakhir tidak ada satupun skor Indonesia yang menyentuh angka 1. Sangat kontras bila dibandingkan dengan Singapura, dimana 5 dari 6 indikator pada periode yang sama, skornya diatas 1, bahkan ada yang 2. Maka, tidak mengherankan bila Singapura diakui sebagai salah satu negara dengan tata kelola pemerintahan yang baik.
Berdasarkan laporan World Bank tersebut, bisa dikatakan tata kelola pemerintahan kita belum memenuhi standar good governance. Dengan kata lain – meminjam istilah Daron Acemoglu, Simon Johnson dan James Robinson – institusi kita belum bisa dikatakan inklusif, tapi masih ekstraktif. Oleh sebab itu, transformasi dari institusi ektraktif menjadi institusi inklusif harus menjadi agenda utama yang penting dan mendesak untuk terus diupayakan.
Sudah seharusnya institusi di Republik ini menerapkan tata kelola yang baik. Institusi penyelenggara negara harus menjamin kebebasan sipil, menegakan hukum secara adil dan setara, menjalankan pemerintahan secara efektif, membentuk regulasi untuk kepentingan publik, serta komitmen terhadap pemberantasan korupsi.
Prinsip- prinsip seperti partisipatif, transparansi, akuntabilitas dan inklusivitas harus menjadi karakteristik institusi dalam mengelola negara. Dengan demikian, pembangunan ekonomi dan manusia yang inklusif bisa terwujud. Disparitas ekonomi dan pendidikan bisa diperkecil.
Tanpa transformasi institusi dari ekstraktif menjadi inklusif, amanat konstitusi seperti memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sulit terwujud.