Jumat, Maret 29, 2024

Investasi dalam Bidang SDA dan Agenda Neoliberal

Ernesto Teredi
Ernesto Teredi
Peneliti di Lembaga Terranusa Indonesia

Hari telah menuju sore, dengan wajah yang elok Presiden Joko Widodo membacakan naskah pidatonya saat dilantik untuk kedua kalinya pada tahun 2019 lalu. Sepenggal kalimat yang ditangkap oleh publik saat itu adalah “jangan ada yang alergi terhadap investasi, karena dengan cara inilah, lapangan pekerjaan dapat terbuka secara luas”.

Tujuan dasar dari investasi selama ini yang diframing oleh pemerintah, antara lain; untuk meningkatkan ekonomi, peningkatan serapan tenaga kerja, dll. Singkatnya investasi memberi kemajuan bagi masyarakat Indonesia.

Salah satu aspek kunci dalam keterbukaan Indonesia terhadap investor yaitu bidang Sumber Daya Alam (SDA) yang mencakupi Pertambangan dan Energi. Tentu ini sangat problematis, mengingat kerusakan lingkungan yang terjadi semakin tahun semakin parah.

Kendati demikian, semangat dan tujuan yang baik dari Pemerintah, kekhawatiran juga muncul dalam korpus pemerintah sendiri. Hal ini disebabkan indeks keterbukaan ekonomi justru Indonesia menempati peringkat ke-68 dari 157 negara, (Legatum Institute yang rilis pada Oktober 2019). Bagi kalangan yang mendukung investasi khususnya pemerintah, angka tersebut terbilang rendah dan sangat mengancam posisi Indonesia dalam persaingan global.

Sehingga mengatasinya pun, Presiden Jokowi, telah menginstruksikan jajarannya untuk memangkas perizinan, serta melakukan deregulasi dan debirokratisasi. Cara ini agar urusan investasi tidak dipersulit sehingga Indonesia menjadi negara yang ‘ramah investasi’.

Investasi SDA di Indonesia

Secara umum, data yang dirilis oleh Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM), maka realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) Menurut Sektor Periode Januari – Maret 2019, terdapat 9.815 proyek yang ada di Indonesia dengan jumlah dana investasi senilai US$, 6.080.722,6. Dan ini berlangsung di 34 daerah.

Sementara dalam konteks spesifik, bentuk investasi pada aspek Pertambangan, maka data pada Sistem Administrasi Badan Usaha, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kemenkum dan HAM, per-Oktober, 2019, jumlah PT yang bergerak dalam bidang pertambangan sebanyak 86.693.

Pada tahun 2018, data dari BKPM terkait investasi penanaman modal asing (PMA) di sektor pertambangan sebesar Rp 42 triliun yang tersebar pada 606 proyek. Salah satu provinsi yang menyumbang paling banyak adalah provinsi Kalimanatan Timur (Kaltim) menyumbang Rp 8,218 triliun dari 275 proyek atau menyumbang 20% dari total PMA di bidang pertambangan, (Media Indonesia, 2019).

Sementara dalam dimensi energi, bauran energi primer dan Energi Baru dan yang Terbarukan (EBT) di tahun 2025, diproyeksikan sebesar 23% dan menjadi 31% di 2025. Berdasarkan target tersebut, pembangkitan listrik EBT di tahun 2025 mencapai 45 GW dan 165 GW pada tahun 2050. Sedangkan untuk energi fosil, produksi batu bara hanya dibatasi 400 juta ton mulai tahun 2019, target produksi minyak bumi di tahun 2025 adalah sebesar 568 Ribu BOPD (Barel Oil Per Day) dengan kapasitas minyak sebesar 2, 425 Ribu BOPD, dan 699 Ribu BPOD di tahun 2050, (IESR & IIEE, 2019).

Tambang dan Energi menjadi proyeksi besar pemerintah dalam menghadirkan investor. Dengan alasan yaitu untuk meningkatkan ekonomi sebuah negara. Dan hal ini diperkuat dengan argumentasi oleh rezim-rezim neoliberalisme  ‘this is economic stupid’. Untuk itu, upaya untuk meningkatkan investasi masuk ke Indonesia, dengan mempermudahkan administrasi dan menciptakan iklim yang kondusif.

Apa yang dilakukan sekarang oleh pemerintah dengan konsepnya deregulasi dan debirokratisasi selain ‘ramah investasi’  juga ‘sayang investasi’. Karena kalau hanya ramah, maka jumlah investasi yang ada saat ini terbilang banyak, dan jika dikelola sebaik mungkin tanpa mengabaikan dimensi kehidupan masyarakat, tentu ekonomi tidak lagi buruk melainkan membaik. Namun karena menurut pihak Pemerintah jumlah investasi tersebut berkurang, maka satu-satunya cara adalah ‘sayang investasi’.

Agenda Neoliberalisme dan Efeknya

Tentu berbagai discourse tentang investasi yang getol dibicarakan oleh pemerintah harus dipertimbangkan dengan matang. Serta memahami dilema-dilema dari investasi yang sudah terjadi. Sebab kerja dari negara-negara besar serta kroni-kroninya di negara berkembang memiliki agenda besar dalam aspek investasi – salah satu iman mereka adalah, meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.

Agenda neoliberalisme dengan ekaspansi investasi sebesar-besarnya selalu membangun argumen bahwa kemakmuran selalu hadir dalam bentuk ajimat kunci yaitu ‘pasar’ sekaligus menghadirkan realitas melalui elemen-elemen, kontraktual, individualisme, kompetisi, efisiensi, kalkulasi, kewirasusahaan, good governance, profesionalisme, dan demokrasi prosedural (Brown, 2005).

Bagi negara-negara yang sedang berkembang, ketika tidak memenuhi apa yang dikonsepkan oleh agenda negara neoliberalisme, maka dengan sendiri masuk dalam jebakannya: korupsi, kalah bersaing, apatisme, dan berbagai persoalan yang mungkin kita sudah hadapi dan bahkan kita menghidupi suatu keburukan itu secara berkelanjutan.

Dalam agenda besar yang dibungkus dengan ‘sayang investasi’ maka pencapaiannya lebih bersifat redistributif daripada generatif, (Harvey, 2003, 2005: 20). Dengan kata lain, para investor yang hadir dari negara-negara kaya, memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dalam bentuk redestribusi dari negara yang rentan. Negara-negara yang rentan hanya memperoleh ampasnya melalui pajak, serta keuntungan bagi kalangan kelas mengenah ke atas semata. Yang tersisa dari keuntungan melalui redistribusi tersebut, rusaknya lingkungan, marjinalisasi masyarakat, ketimpangan sosial, dll.

Persis, Indonesia adalah salah satu negara yang menghadapi dilema-dilema efek buruk dari investasi yang mana para pemodal itu kurang bertanggung jawab dalam kerusakan lingkungan, dan kelompok marjinal masyarakat. Dengan kata lain, agenda neoliberalisme dalam kerangka investasi tak dapat dibaca sebagai sebuah peluang yang diambil dengan mudah. Namun harus dipikirkan dalam kerangka yang imparisal.

Perhatikan Hal Mendasar

Investasi tak dapat ditolak secara mutlak dan itu benar! Namun untuk membicarakan investasi, yang paling penting adalah memikirkan soal hal-hal dasar yang menjadi fundamental bagi kehidupan manusia, seperti; Hak  atas tanah, air, kultural, dan derivasi lainnya, pendidikan, ekonomi, kesehatan, dll.

Hak dasar tidak bisa diatasi dengan CSR, ganti rugi tanah, atau jual beli tanah. Sehingga jauh sebelum investasi dalam dimensi pertambangan dan energi itu dijadikan kebijakan, pemerintah harus memikirkan secara matang kehidupan masyarakat yang berada sekitar tambang.  Jika hal-hal yang fundamental dikorbankan bagi masyarakat, maka sebaiknya pertambangan itu dibatalkan.

Di sisi lain,  pemerintah tidak boleh membatasi keterlibatan masyarakat dalam menyuarakan political demand. Dan political demand itu hadir dalam berbagai bentuk, salah satu bentuk yang sering dilakukan masyarakat selama ini adalah konflik vis a vis dengan perusahan investor. Sehingga tugas pemerintah harus melindungi masyarakat, bukan membela para investor saja.

Ernesto Teredi
Ernesto Teredi
Peneliti di Lembaga Terranusa Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.