Silam kemarin (28/01) “surat seruan” perayaan Cap Go Meh (CGM) dapat merusak aqidah membuat saya sebagai urang Bogor merasa heran. Dalam butir-butir suratnya, FMB mengatakan jika CGM mengancam aqidah muslim Bogor.
Sekali lagi, kasus intoleransi terjadi di kota yang dirancang sebagai tempat peristirahatan di masa kolonial, lengkap dengan penataan ruang sosial yang khas mengotakan suatu area berdasarkan demografi kelompok sosialnya.
Seperti, daerah Surya Kencana, lokasi Klenteng Hok Tek Bio, yang berada selemparan batu dari daerah Empang, area pemukiman Keturunan Arab di kota Bogor. Seandainya perayaan CGM sudah mengancam aqidah umat muslim Bogor sejak baheula, situasi di area yang bersebelahan itu mungkin sudah serupa dengan Jalur Gaza.
Kembali pada berulangnya tindakan intoleransi, iklim relasi antar-keyakinan adakalanya tidak sesejuk dengan imaji kota ini sebagai kota hujan. Sebut saja, sengketa pendirian Gereja Yasmin, persekusi penganut paham Syiah dan Ahmadiyah yang sempat menjadi pemberitaan media massa.
Luput dalam pemberitaan, dalam ruang publik kota pun, jalanan kerap menjadi arena unjuk kekuataan suatu kelompok yang bebas mengekspresikan sikap intoleran. Belum lagi, dalam obrolan keseharian, stigma dan prasangka diskriminatif semakin mengental.
Situasi kemalangan hidup, secara cocokologi, kerap dikaitkan oleh keberadaan kelompok atau gaya hidup yang berbeda dengan kebanyakan. Berbeda mulai dianggap sebagai permasalahan, namun peliknya, berbeda dianggap pula sebagai sesuatu yang mencemari kemurnian sosial.
Pencemaran atas kemurnian sosial merupakan sandungan metafisis dalam menggapai peningkatan kualitas hidup. Seakan Tuhan enggan memberi berkah-Nya, jika kehidupan umat-Nya masih dilekati oleh polusi-polusi sosial.
Obsesi atas Polusi
Indonesia, seperti kita ketahui, mulai menjadi lahan persemaian benih intoleransi. Penanganan atasnya belum memberikan kejelasan yang jernih bagi khalayak, apakah tindakan intoleransi merupakan pelanggaran hukum atau hak mendasar bagi warga negara, sebab pelakunya adakalanya bebas berlagak seperti pahlawan?
Apa yang terjadi di Bogor, bukan saja semata merepresentasikan tren di Indonesia, namun juga rupanya banyak tempat di dunia sedang terobsesi atas pemurnian dari polusi sosial. Pew Research Center dalam kajiannya sejak 2016 sudah mendata peningkatan intoleransi, terutama terkait pembatasan agama. Namun yang khas dari perkembangan empiris global itu, negara rupanya mempunyai andil besar dalam penyebaran benih intoleransi.
Hasil pendataan lembaga riset itu menyimpulkan, aparat pemerintahan, baik pejabat publik dan politisi, membenamkan tangannya dalam tindakan intoleransi dengan selubung retorika nasionalisme.
Intoleransi rupanya tidak semata pertentangan antarkelompok sosial. Indonesia sendiri berada di urutan teratas bersama Mesir, Rusia, India, Turki dan Cina. Gilanya lagi, banyak negara di dunia ini bahkan menjadi pihak yang aktif dalam melahirkan atau melegitimasi imajinasi-imajinasi apa saja yang dianggap sebagai polusi sosial.
Oleh sebab itu, tidak heran dalam momen terakhir ini, rupa intoleransi begitu beragam, baik berupa pembiaran, meningkatannya gerakan rasisme dan anti-imigran di Eropa dan Amerika Serikat, pencucian ulang ideolgi bagi Muslim Uighur di Cina, sampai urusan sepele, hadirnya para radikalis dalam persoalan kulinari atau urusan secangkir kopi.
Seakan menjadi tren global, kawin silang antara keterlibatan negara dan pihak yang merepresentasikannya dengan dengan mobilisasi politis di tataran akar rumput adalah tindakan intoleransi seakan menjadi perihal yang lumrah, bahkan ada kecenderungan untuk menormalisasinya seperti praktik atau gagasan sehari-hari. Tidak heran, bagi pelaku intoleransi, rasa salah adalah emosi yang prematur. Sebab, tiada yang salah, jika intoleransi sudah dianggap suatu yang normal.
Lantas, jika memang purifikasi mengancam pada ketertiban sosial, mengapa banyak negara malah melestarikannya?
Ilusi dalam Purifikasi
Simaklah perjalanan hidup Umar Walusimbi. Mungkin, dirinya tidak membayangkan jika kemalangan dapat berulang, biarpun di tempat berbeda. Umar adalah pria kelahiran Uganda. Dirinya terpaksa mengungsi ke Kenya, setelah dirinya menjadi buruan ayah dan keluarganya sebab orientasi seksual.
Namun, setelah berada di Kenya, suatu malam saat berjalan pulang, gerombolan pemuda menghampirinya. “Hei, gay mau ke mana lu?!” Belum sempat membela diri, Umar dihujani oleh bogem mentah. Ia nyaris dibakar. Ajaib, dirinya selamat dan bahkan dapat mengisahkan kemalangannya di sejumlah media massa.
Sembari merenungi kemalangannya dan bertanya pada Tuhan, “untuk apa aku dilahirkan di dunia ini,” di negeri kelahirannya upaya purifikasi masih terjadi, bahkan dianggap sebagai capaian dari pemerintahnya yang ingin mensucikan Uganda dari praktik homoseksual yang merupakan “bukan tradisi Afrika,” “produk impor barat,” maupun “ancaman” bagi bocah-bocah belum akhil baliq, generasi penerus bangsa.
Dalam banyak pemberitaan atau video yang beredar di kanal sosial, persekusi atas kelompok homoseksual seakan dilakukan oleh massa, khalayak banyak. Namun, Hyeon-Jae Seo dalam The Origin and Consequences of Uganda’s Brutal Homophobia yang terbit di HR Review Harvard melihat homophobia di Uganda tidak lain adalah perangkat politis praktis.
Rejim berkuasa di Uganda berupaya melanggengkan kekuasaan di tengah amburadulnya kesejahteraan dan stagnansi ekonomi dengan menyiptakan ilusi, bahwa segala masalah sosial dan ekonomi terkait dengan “tidak bermoralnya kelakuan kelompok homoseksualitas.”
Bagai karya orkestra, bukan saja atas terbitnya regulasi anti-homoseksualitas, homophobia di Uganda rupanya produk impor dari Evangelis Dunia Barat yang berhasil mengalihkan perhatian publik atas kinerja pemerintah. Meski sudah beberapa tahun berjalan, serta menimbulkan banyak korban kekerasan, angka ataupun indeks kesejahteraan rakyat Uganda tidak melonjak. Purifikasi atas polusi sosial, dalam kasus Uganda adalah homophobia, rupanya tidak berhasil melenyapkan rasa lapar, ketidakadilan, dan kemiskinan.
Apakah pola ini yang sedang terjadi di Indonesia? Kita dapat menilai sendiri, purifikasi baik dalam persoalan agama, etnis, kelas sosial dan ekonomi, tengah dimanfaatkan oleh kelompok politis tertentu.
Meski seakan para pelaku intoleransi menanggap sedang menanggung tugas suci untuk mempurifikasi kehidupan agar mendapat restu ilahiah untuk terciptanya transformasi sosial dan ekonomi, senyatanya, itu hanya merupakan satu bagian dari kepentingan politik praktik.
Akan menjadi masalah, jika kita tidak memilah purifikasi sebagai ritus sosial untuk transformasi transendental, dengan purifikasi sebagai alat politis. Sekalipun menggunakan segala macam selubung, purifikasi yang senyatanya hanyalah kedok untuk menyemai intoleransi adalah kejahatan, yang kelak akan menampilkan kontradiksinya tersendiri.
Serupa dengan logika penggagas “surat seruan” yang melarang penggunaan ampao, takut merusak aqidah, tetapi tidak mempermasalahkan adakah kesucian dalam isi dari amplop merah itu, sehingga menjadi berkah dan tidak mencemari aqidah seorang yang berkeyakinan. Ya, isinya: uang!
Gong Xi Fa Cai.