Kaum intelektual sekarang ini seakan-akan mengalami sebuah kemunduran dan eksklusifitas. Hal ini didasari oleh intelektual yang menganggap sesuatu yang terjadi merupakan sebuah kewajaran yang umum. Sebagai contoh pada masa lalu perbudakan kerap dilakukan untuk menindas seseorang yang lemah.
Hal tersebut di wajarkan karena adanya people power yang berusaha menarik simpati publik bahwasanya perbudakan merupakan sebuah hal yang diperbolehkan secara moral karena orang lemah tidak layak untuk hidup. Bahkan, kejadian tersebut sekarang ini mengalami pengulangan.
Tepatnya sekarang ini semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka ia menganggap apapun yang dilakukan walau salah secara moral akan dianggap benar. Sebagai contoh maraknya dosen kerap menggunakan kuasa intelektualnya untuk menggerakan
Dengan demikian, bisa kita pertanyakan juga apa bedanya masa dan kehidupan intelektual zaman sekarang dengan zaman dahulu? Dalam tulisan esai ini penulis melakukan sebuah analisis dengan mendialektikan fenomena-fenomena yang meresahkan masyarakat. Intelektual sudah tidak memiliki kehormatan lagi merupakan sebuah isu yang kerap digaungkan bagi masyarakat.
Salah satunya berdasarkan pengalaman penulis pada suatu desa di Yogyakarta, saat penulis melakukan pengabdian kerap memandang adanya sebuah miss persepsi yang ada di masyarakat.
Salah satunya ialah krisis masyarakat atas konteks yang mencoba ditangani oleh seorang intelektual. Biasanya krisis ini terjadi persepsi jurang perekonomian. Khususnya di Indonesia ini kebanyakan masyarakat menilai pendidikan hanya untuk uang. Hal ini merupakan hal yang cacat secara logika. Penalaran masyarakat kerap juga menilai bahwa semakin tinggi pendidikan maka semakin tidak berguna dan semakin menghamburkan materil. Semua yang dipandang masyarakat juga merefleksikan bagaimana kaum intelektual yang ada disekitarnya.
Masyarakat yang telah mengenyam pendidikan yang cukup tinggi, sekarang ini merasakan bahwa pendidikan ini digunakan hanya untuk kebutuhan ekonomi secara mandiri saja. Bukan pada kekuatan untuk membumi kepada masyarakat yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, sudah menjadi sebuah kewajaran jika intelektual yang ada di tengah masyarakat eksklusif dan tidak berkenan menghadirkan keilmuan dalam mengatasi permasalahan yang ada.
Problem kebuntuan dan kepatuhan
Dikarenakan ada ekslusifitas yang dialami oleh kaum intelektual, maka dari itu disini ada permasalahan yang cukup menjadi perhatian. Permasalahan pertama, masyarakat intelektual yang mengenyam pendidikan tinggi dalam institusi pendidikan hanya mengejar kebutuhan akreditasi dan pasar saja. Maka dari itu, marwah kebutuhan keilmuan di masyarakat mengalami kebutuhan.
Disamping itu, kaum intelektual yang mengenyam pendidikan dari berbagai keilmuan tidak memiliki kebebasan bergerak untuk mengabdi. Salah satunya faktor pendukung disini ialah, maraknya pembatasan yang dilakukan institusi dalam mengontrol aktivisme intelektual di masyarakat. Terlebih lagi ketika institusi pendidikan dimasuki ideologi politik, maka segala hal akan dilancarkan sehingga pendidikan akan menjadi patuh dan kebuntuhan terjadi.
Permasalahan kedua, kaum intelektual terkadang selalu menggunakan bahasa komunikasi yang baku dan terkesan formal. Kondisi ini biasanya akan menekan masyarakat yang membuat masyarakat tidak memberikan data dan kondisi yang riil. Problem komunikasi ini juga bisa menjadi sebuah kesalahpahaman publik terkait interpretasi makna penyampain. Salah satu yang menjadi kebiasaan kaum intelektual ialah, ketika masyarakat memberikan sebuah kondisi yang ril kaum intelektual terkadang tidak memberikan tanggapan yang diinginkan.
Justru kaum intelektual itu menggunakan pengaruh publiknya untuk memberikan solusi yang justru malah membebani masyarakat. Permasalahan ini jika dikaji secara riil di lapangan salah satunya yang menjadi pertanyaan ialah, apakah program KKN dari universitas itu sudah mampu membantu masyarakat atau justru membebani masyarakat ?. Hal ini merupakan sebuah permasalahan yang hingga sekarang ini belum terjawab.
Melalui dua permasalahan tersebut, bisa disimpulkan bahwa eksklusifitas intelektual merupakan sebuah permasalahan yang berkelanjutan. Padahal dalam kondisi dunia sekarang ini, perkembangan ilmu sangat dibutuhkan masyarakat untuk mencapai kemajuan peradaban. Hal ini sejalan dengan pemikiran dari Antonio Gramsci yang memandang bahwa, masyarakat membutuhkan intelektual organik.
Gagasan intelektual organik ini ialah intelektual yang menyatu dengan masyarakat dan tidak menunjukan sebuah identitas. Melalui refleksi ini dapat disimpulkan bahwa ketika sebuah identitas intelektual menonjol maka kecenderungan masyarakat akan membatasi interaksi dan eksklusifitas pasti akan terjadi
Pencerahan peradaban
Dalam memandang hubungan intelektual dan masyarakat ini, salah satu tokoh bangsa juga memberikan perhatian. Tokoh bangsa tersebut ialah Tan malaka. Dalam pemikiran Tan Malaka, dijelaskan bahwa ketika kaum muda telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlau tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.
Secara hermeneutik pepatah tersebut menjelaskan bahwa peradaban ini akan maju ketika sosok pemuda intelektual mampu membaur bersama masyarakat. Walaupun masyarakat itu hanya bekerja mencangkul dan bercita-cita sederhana bukan berarti standar hidup kaum intelektual itu sederhana.
Dalam hal ini dengan kembali ke kebiasaan dan hidup bersama masyarakat maka intelektual dapat berkontribusi dan meningkat secara berkelanjutan. Sedangkan, ketika kaum intelektual tidak mau membaur bersama masyarakat maka maksud pendidikan tidak diberikan sama sekali merupakan sebuah kebenaran.
Kebenaran itu merupakan sebuah kebenaran objektif yang berusaha untuk menjelaskan realita bahwa ketika ada pendidikan tinggi dan tidak menyentuh masyarakat. Maka masyarakat akan semakin susah dan yang berpendidikan semakin eklusif yang kelak akan merambat pada kapitalisasi.