“Kalau kekuasaan semata-mata menindas, tidak mengerjakan apa pun selain mengatakan tidak, apakah anda sungguh-sungguh beranggapan orang akan mematuhinya? Apa yang membuat kekuasaan itu bertahan sebagai sesuatu yang baik, yang membuatnya diterima, adalah semata-mata karena kenyataan bahwa kekuasaan tidak saja menimpa kita sebagai sebuah kekuatan yang mengatakan tidak, akan tetapi bahwa kekuasaan itu bergerak dan memproduksikan sesuatu, membawa kenikmatan, membentuk pengetahuan, memproduksikan wacana. Kekuasaan perlu dilihat sebagai jaringan produktif yang melilit tubuh sosial secara keseluruhan, jauh-jauh lebih daripada suatu hal negatif, yang berfungsi menindas (Foucault, 1972; Dhakidae, 2003: 63)”
Itu kata Pak Foucault, di satu sesi wawancara, yang dikutip oleh Bung Daniel Dhakidae pas menulis buku ampuh: Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru – suatu penjelasan untuk menggambarkan betapa menubuhnya kekuasaan.
Sekarang, meski Orde Babe telah bergeser ke Orde Twitwor, tapi kalimat Pak Foucault itu masih menarik untuk disimak, atau justru malah semakin relevan, sebab konsep kekuasaan ala Foucault simetris dengan desentralisasi kekuasaan paska Orde Babe, dengan satu diktum Foucault yang cukup dikenal: “Kekuasaan ada dimana-mana” (yang trus dilanjutin Baudrillard: ‘kekuasaan ada dimana-mana, sekaligus tidak ada dimana-mana’, jadi “Lupakan Foucault” – begitu tulisnya saat ngasih judul tulisannya.
Perspektif Foucault memang menarik sebab hampir cucok untuk melihat dinamika pendisiplinan tempurung. Tapi lebih cucok lagi tulisan Bung Dhakidae, sebab doski langsung nyuguhin seperti apa silsilah intelektuil Indonesia, yang belakangan ini fragmentasinya kian menguat gegara diskursus lingkar Batavia (apa cuma perasaanku aja kali ya, atau mungkin lagi sensi aja ni. biasalah ya, sensi itu manusiawi, katanyaa..).
Nganu, coba bayangkan, di Twitter (kali aja masih banyak yang pada maenan Twitter), tiap hari isinya intelektuil yang udah menjelang senja pada keranjingan buat ribut terus. Masih mending kalau ributnya meluaskan wacana-wacana minor (maksudnya, wacana yang jarang dilirik oleh mata media besar yang punya akses besar untuk membantu meluaskan peredaran wacana), saya hormat kalau sama yang satu itu. Lhaini ributnya soal-soal bataviasentris. Kampret bener.
Tahu kan bataviasentris? Saya pinjam istilah ini dari Billowo, intelektuil cap gedhang goreng di pusaran piring. Menurut doski, bataviasentris merujuk pada suatu gejala demam, yakni demam kecenderungan berpikir yang kebatavia-bataviaan. Maksudnya, pemahaman alias jagad pandang dalam melihat kompleksitas masalah kemanusiaan saat membincang Indonesia, seolah luasnya cuma selingkaran itu-itu saja. Pro kontra capres terus. Kan tiittt (sensor) banget ya.
Lebih tiittt (sensor) lagi, itu yang doyan bikin paduan suara, punya latarbelakang intelektuil yang oleh konstruksi wacana publik dimitoskan jadi tokoh progresif di setiap rezim (ndak perlu sebut nama lah ya, daripada dikupret sama UU ITE). Masak iya sampai sebegitunya psikologi kolektif terobsesi akan kehadiran ratu adil a.k.a superhero, trus jadi sampe sebegitunya. Dikit-dikit dimitosin. Dikit-dikit mitos. Ah mbuhlah.
Mending nggosip soal sejarah intelektuil cap gedhang goreng dalam pusaran piring yang kalau diusut sebenarnya tidak punya akar sejarah. Jadi mbrojol gitu aja. Mungkin ada yang bertanya, lantas apa bedanya intelektuil dan cendekiawan?
Alm Wiratmo Soekito (1997, penandatangan Manifesto Kebudayaan) pernah membuat catatan kaki untuk uraian Julien Benda “La Trahison des Clercs” (yang selanjutnya diIndonesiakan menjadi “Pengkhianatan Kaum Cendekiawan”). Kata doski, “istilah cendekiawan, yang rupanya sudah diterima secara luas dalam masyarakat kita, mungkin akibat salah-kaprah, karena tidak setiap cendekiawan menulis karangan atau buku yang diterbitkan secara terbuka”.
Sejarah kata ‘intelektual’ ini mulanya nongol di Perancis, dalam sebuah manifeste yang dibikin oleh sekelompok pengarang semacam Emile Zola, Marcel Proust, Anatole France, dkk (gatau dkk-nya siapa aja). Manifeste itu berisi “protes kepada Alfred Dreyfus, seorang perwira tentara Perancis yang pada tahun 1894 diadili atas tuduhan menjual rahasia militer kepada para agen Jerman.
Sejak disiarkannya manifesto itulah, lahir kata intellektuel, yang sebelumnya tidak didapati dalam Grand Larousse, kamus Perancis. Manifeste ini dengan para pendukungnya telah dikecam oleh Ferdinand Brunetiere, seorang kritikus sayap kanan yang menyatakan bahwa orang yang menandatangani manifeste tersebut telah berupaya untuk menciptakan suatu aristokrasi baru dengan mengangkat para pengarang, ilmuwan, profesor ke tingkat manusia super. Padahal tempat yang sebenarnya adalah di laboratorium dan perpustakaan (Wiratmo Soekito, 1997: viii-ix)”.
Jadi begitulah sejarah nongolnya kata itu. Mirip dengan polemik Manikebu dan Lekra, kan? Mirip ndak? Kalau ndak ya ndak papa. Tapi yang jelas sejak itulah, posisi intelektual jadi agak sedikit lebih bergengsi daripada sebelumnya. Secara Perancis, ruang sosial di mana seni sastra dan filsafat dapat tempat yang lebih asoi daripada politik-politikan. Lain dengan Hindia Belanda yang pada tahun-tahun yang sama saat Perancis sedang membikin kelas sosial baru (intelektual), di sini intelektualisme sudah lekat dengan aktivisme, satu hal yang tidak dapat dipisahkan – yang tentu saja lain lubuk lain belalang, lain dulu lain sekarang.
Lain Soekito, lain pula Franz Magnis-Suseno. Dalam sebuah pengantarnya untuk tulisan Edward Said “Peran Intelektual”, doski ngasih perbandingan posisi intelektual di Indonesia dan di Jerman, lewat koran. “Di koran-koran Jerman, percuma kita mencari nama tokoh intelektual.
Tajuk rencana dan kolom pendapat umumnya ditulis oleh jurnalis dari koran itu sendiri.., tetapi di Indonesia, pendapat seorang intelektual yang tidak mempunyai kekuasaan sedikitpun, barangkali dia hanya dosen di sebuah perguruan tinggi, dapat menjadi headline di halaman pertama!.., Nah, orang intelektual adalah orang yang pintar mengatakan hal-hal oposisional sedemikian rupa, sehingga ia gets away with it.
Karena ia betul-betul menguasai seni bicara, dan di lain pihak tidak langsung tergantung dari seorang atasan yang berhak menentukan apa yang boleh dikatakan, ia dapat mengatakan hal-hal yang tidak berani dikatakan oleh kaum politisi (dikutip dari Magnis-Suseno, 2014: viii-x).”
Jadi, bagaimana ceritanya intelektual bisa jadi intelektuil?
Aduh! Itu lagii…..