Gillian Brock menyatakan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang merusak keadilan dan sistem pemerintahan. Menurutnya, korupsi muncul dalam berbagai bentuk, seperti nepotisme—memberikan keuntungan atau posisi kepada anggota keluarga tanpa mempertimbangkan kualifikasi—dan favoritisme—perlakuan istimewa kepada teman atau kolega tanpa alasan yang jelas.
Brock juga menyoroti penipuan (fraud), memanipulasi informasi demi keuntungan pribadi, serta pemerasan (extortion), di mana seseorang dipaksa menyerahkan sesuatu melalui ancaman. Selain itu, praktik penerimaan imbalan rahasia dalam transaksi tidak transparan dikenal sebagai komisi gelap (kickbacks). Dalam konteks pemilu, kecurangan seperti election rigging terjadi ketika hasil pemilihan diubah untuk menguntungkan pihak tertentu, sementara pembelian suara (vote buying) melibatkan pemberian insentif agar seseorang memilih kandidat tertentu. Penyuapan (bribery), praktik memberikan atau menerima suap demi keputusan yang menguntungkan, juga termasuk.
Brock menambahkan, korupsi juga terjadi melalui penangkapan negara (state capture), di mana kebijakan publik dikendalikan oleh kelompok atau individu demi kepentingan pribadi. Kapitalisme kroni (cronyism) terjadi ketika keuntungan diberikan kepada teman atau orang dekat dalam bisnis serta kontrak pemerintah, sedangkan perdagangan pengaruh (influence peddling) melibatkan penggunaan kekuasaan atau hubungan untuk memengaruhi keputusan demi keuntungan pribadi. Ia menegaskan bahwa korupsi tidak selalu secara eksplisit ilegal, tetapi seringkali berakar pada penyalahgunaan jabatan atau peran profesional untuk kepentingan pribadi atau politik, sehingga kepercayaan publik terganggu dan institusi yang seharusnya melayani kepentingan bersama melemah, menghambat keadilan dan kesejahteraan masyarakat (Brock, Corruption and Global Justice, 2023, h. 3-4).
Korupsi tidak berdiri sendiri, melainkan terkait erat dengan kondisi sosial dan ekonomi tertentu. Salah satu konsep yang relevan dalam memahami hal ini adalah “profit-seeking” atau pencarian keuntungan. Pada dasarnya, mengejar keuntungan bukanlah sesuatu yang negatif, tetapi dalam konteks negara yang korup, pencarian keuntungan sering kali dilakukan dengan cara menyimpang. Dalam sistem negara yang korup, kekayaan dan kekuasaan cenderung terkonsentrasi di tangan segelintir orang, yang mengutamakan koneksi politik atau monopoli daripada inovasi dan produktivitas.
Pendekatan filsafat politik Jhon Rawls membantu kita memahami dan mengatasi korupsi dengan menerjemahkan nilai-nilai abstrak ke dalam praktik nyata. Penilaian Rawls terhadap keadilan bukan sekadar mematuhi hukum, melainkan menerapkan prinsip-prinsip dasar yang dapat mewujudkan masyarakat berkeadilan.
Adam Cureton menjelaskan pandangan Rawls, “Rawls’s own suggestion is to construct a procedure for choosing principles of political justice that reflect and incorporate the values and judgments that are implicit in these conceptions of society, the person and the role of justice.” Rawls menghendaki pembentukan kebijakan, tidak cukup hanya mengandalkan aturan-aturan yang ditetapkan secara abstrak, melainkan harus ada proses partisipatif yang melibatkan berbagai pihak sehingga nilai-nilai seperti integritas, keadilan, dan akuntabilitas benar-benar diinternalisasi. Hal ini patut dilakukan demi mencegah terjadinya praktik koruptif (Cureton dalam Distributive Justice and Access to Advantage, 2015, h. 86).
Holger Lengfeld juga menjabarkan konsep Rawls tentang “original position” yang menawarkan cara pandang menarik terhadap distribusi keadilan. Rawls melihat, kendati setiap orang cenderung bertindak berdasarkan kepentingan pribadi, keadilan dapat terwujud bila semua pihak menyepakati prinsip distribusi yang adil tanpa mengetahui posisi sosial mereka (The ‘original position’ ensures impartial judgment). Konsep ini menekankan pentingnya batasan yang jelas atas sumber daya publik dan kesepakatan kolektif untuk mencegah eksploitasi (Lengfeld dalam Distributive and Procedural Justice, 2007, h. 207-208).
Pandangan Rawls tentang keadilan distributif menegaskan bahwa keadilan harus memastikan setiap individu memiliki akses yang cukup terhadap sumber daya dan peluang untuk mengembangkan potensi diri. Korupsi jelas menghambat distribusi sumber daya publik yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, sehingga memperlebar ketimpangan dan mengurangi akses masyarakat terhadap layanan penting.
Lebih lanjut, Rawls menekankan bahwa keadilan berarti tidak hanya kesetaraan akses, tetapi juga “fair equality of access to a wide range of career and cultural opportunities (Freeman, Liberalism and Distributive Justice, 2018, h. 122).” Setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk meraih potensinya tanpa terhalang kondisi sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi harus berfokus pada penciptaan sistem yang menjamin distribusi sumber daya publik secara adil, agar setiap individu dapat berkembang dan menikmati kebebasan sepenuhnya sesuai dengan prinsip keadilan.
Pandangan filosofis Francis Hutcheson membuka ruang pemikiran yang luas dalam memahami akar penyebab dan dinamika korupsi. Berbeda dengan Thomas Hobbes yang melihat manusia sebagai makhluk yang terikat pada wickedness and corruption (kejahatan & korupsi), Hutcheson menekankan bahwa dalam diri setiap individu terdapat dorongan alami untuk membangun kohesi sosial melalui nilai-nilai seperti belas kasih, kesyukuran, dan penghormatan terhadap kebaikan. Hutcheson menunjukkan bahwa manusia memiliki “a natural delight men take in being esteemed and honoured by others for good actions,” yang menandakan bahwa apresiasi dan pengakuan atas perbuatan baik tidak hanya memberikan kepuasan emosional, tetapi juga berfungsi sebagai kekuatan pendorong yang memotivasi perilaku positif.
Strategi anti-korupsi yang hanya mengandalkan hukuman represif tidaklah cukup. Hutcheson menilai manusia merespons dengan baik penghargaan moral dan sosial, sehingga penegakan hukum perlu digabungkan dengan insentif positif untuk mendorong integritas. Dengan menciptakan lingkungan di mana perilaku jujur—terutama di kalangan pejabat publik—mendapat apresiasi dan penghormatan, terbentuklah budaya kolektif yang menolak korupsi.
Teori perilaku sosial dari George Homans memperkuat pendekatan ini, yang menyatakan bahwa “Human behavior is a function of the resultant reward or punishment, and it becomes social when it triggers a similarly determined behavior in another individual,”. Artinya, perilaku manusia dipengaruhi oleh ganjaran dan hukuman, baik secara individu maupun kolektif. Ketika masyarakat secara aktif menghargai integritas, penghargaan itu menular dan mendorong lebih banyak orang untuk meniru perilaku positif (Homans, Social Behavior, 1961, h.13).
Di era modern, terutama di sektor pemerintahan dan lembaga publik, pendekatan yang menekankan nilai compassion dan sense of gratitude menawarkan cara yang lebih manusiawi melawan korupsi. Kebijakan yang menghargai integritas dan kebaikan, menciptakan iklim sosial yang mendukung pertumbuhan moral sekaligus memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi negara.