Rabu, Juli 30, 2025

Institusi Keagamaan Menghadapi Akal Imitasi

Nurul
Nurul
santri,
- Advertisement -

Perkembangan pesat Artificial Intelligence (Akal Imitasi, AI) telah memicu respons yang kompleks dan beragam dari institusi-institusi keagamaan di seluruh dunia. Sebuah laporan dari Dewan Gereja-Gereja se-Dunia pada tahun 2023 menyoroti teknologi ini dipandang sebagai sebuah paradoks: ia merupakan anugerah dan puncak kreativitas manusia yang berpotensi menyelesaikan tantangan global; di saat yang sama, ia menimbulkan kegelisahan mendalam sebagai sumber potensi bahaya etis yang dapat mengancam martabat manusia dan kohesi sosial.

Meskipun berasal dari tradisi yang berbeda, institusi-institusi keagamaan menunjukkan titik temu pada serangkaian prinsip etika inti yang berpusat pada manusia, seperti keadilan, akuntabilitas, dan transparansi. Namun, kesatuan ini pecah ketika membahas status teologis dan batas otoritas AI. Titik perbedaan yang paling krusial terletak pada penentuan batas antara AI sebagai alat yang diizinkan (permissible tool) dan AI sebagai otoritas yang tidak dapat diterima (impermissible authority) dalam urusan iman dan hukum keagamaan.

Agama-agama Abrahamik telah menjadi yang terdepan dalam merumuskan respons etis yang terstruktur. Gereja Katolik, melalui Vatikan di Roma, pada 28 Februari 2020 meluncurkan “Rome Call for AI Ethics,” sebuah inisiatif multi-pemangku kepentingan yang secara strategis melibatkan raksasa teknologi seperti Microsoft dan IBM. Inisiatif ini mempromosikan “algoretika” yang didasarkan pada enam prinsip fundamental: transparansi, inklusi, tanggung jawab, imparsialitas, keandalan, serta keamanan dan privasi, yang semuanya berakar pada konsep teologis tentang martabat manusia. Terbaru, Qualcomm, raksasa teknologi asal San Diego, California turut menandatangani inisiatif ini.

Dalam dunia Islam, kerangka etika utama adalah Maqasid al-Sharia, atau tujuan-tujuan Syariat Islam, yang mengevaluasi AI berdasarkan kemampuannya untuk melindungi lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Meskipun AI dipandang bermanfaat dalam bidang-bidang seperti kesehatan, terdapat konsensus yang kuat bahwa AI tidak dapat mengeluarkan fatwa. Institusi terkemuka seperti Al-Azhar dan Departemen Fatwa Yordania menolak otoritas AI karena kurangnya pemikiran kritis, pemahaman kontekstual, dan empati. Penolakan ini berakar pada ketiadaan rantai transmisi pengetahuan manusia yang dapat diverifikasi (isnad), yang membuat fatwa dari AI dianggap berasal dari sumber yang tidak diketahui (majhul al-hal) dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Pemikiran Yahudi menunjukkan gejala serupa. AI dianggap sebagai alat riset yang kuat. Namun ia tidak akan pernah bisa menggantikan seorang posek (pemberi keputusan hukum). Alasannya adalah bahwa keputusan hukum Yahudi (halacha) bukanlah proses mekanis, melainkan dialog yang hidup yang membutuhkan pemahaman mendalam terhadap situasi pribadi penanya, sebuah elemen manusia yang tidak dapat ditiru oleh mesin.

Meskipun terdapat perbedaan teologis, ketiga agama Abrahamik telah menemukan landasan bersama. Penandatanganan “Rome Call” oleh para pemimpin Yahudi dan Muslim terkemuka pada tahun 2023 menandai sebuah “komitmen Abrahamik” terhadap algoretika, menunjukkan bahwa ancaman bersama dari teknologi yang berpotensi mendehumanisasi telah mendorong kolaborasi antar agama yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Di luar tradisi Abrahamik, Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (WCC), yang mewakili 352 gereja Protestan dan Ortodoks, menyuarakan keprihatinan atas “keadilan digital” (digital justice). WCC menyoroti bahaya yang sudah nyata, seperti bias algoritmik yang melanggengkan diskriminasi ras dan gender, serta amplifikasi disinformasi. Pendekatan mereka dapat dilihat sebagai perpanjangan dari teologi pembebasan, yang menganalisis bagaimana struktur teknologi dapat melanggengkan “dosa struktural” dan memperburuk ketidakadilan global.

Filsafat Buddhis, terutama yang diartikulasikan oleh Dalai Lama, menawarkan perspektif yang berbeda, dengan fokus pada hakikat kesadaran dan penderitaan (dukkha).  Dalai Lama tidak menolak kemungkinan sebuah mesin bisa menjadi sadar, dengan menyatakan bahwa seberkas kesadaran secara konsepsional dapat memasuki substrat fisik yang cukup kompleks seperti komputer jika kondisi karma yang tepat terpenuhi. Perspektif ini berfungsi sebagai koan modern yang menantang pemahaman kita tentang diri (anatta) dan kesadaran.

Di Indonesia, perdebatan global ini dilokalkan. Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan putusan tegas bahwa hukumnya haram untuk menjadikan jawaban AI sebagai pedoman keagamaan, dengan alasan ketidakpastian, kurangnya empati, dan potensi bias dari pengembang. Sebaliknya, para pemimpin dari Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menunjukkan pendekatan yang lebih beragam, dengan hati-hati menimbang antara manfaat (maṣlaḥah) dan potensi bahaya (mafsadah).

- Advertisement -

Terlepas dari peringatan di tingkat teologis, AI secara pragmatis diadopsi di tingkat akar rumput. Gereja-gereja memanfaatkannya untuk efisiensi administrasi, penjangkauan yang dipersonalisasi, dan bantuan dalam persiapan khotbah. Di Indonesia, pondok-pondok pesantren didorong untuk menguasai AI untuk tujuan pendidikan dan kewirausahaan, seperti menciptakan karya seni religi dan mendigitalkan kitab-kitab klasik.

Adopsi ini menimbulkan pertanyaan teologis jangka panjang yang mendalam. AI menantang keunikan manusia sebagai imago Dei (citra Allah), memaksa para teolog untuk menegaskan bahwa AI diciptakan menurut citra manusia, bukan Tuhan, dan tidak memiliki tubuh, jiwa, serta kapasitas untuk menderita. Selain itu, AI menghadirkan ancaman ganda bagi religiusitas: ia berpotensi menggantikan fungsi instrumental agama dengan menyediakan keteraturan dan solusi, dan pada saat yang sama, sifatnya yang misterius membuatnya rentan untuk diasimilasi ke dalam praktik keagamaan dengan cara yang dapat mendistorsi iman tradisional.

Pada akhirnya, pergulatan institusi agama dengan AI bukanlah tentang teknologi, melainkan tentang manusia. Kecerdasan buatan telah menjadi cermin yang memaksa kita menatap kembali definisi kemanusiaan itu sendiri: apa artinya menjadi citra Tuhan (imago Dei) di zaman ketika kecerdasan dapat diciptakan menurut citra manusia? Jawaban atas pertanyaan ini tidak akan ditemukan dalam barisan kode, melainkan dalam kedalaman jiwa, empati, dan nurani, wilayah sakral yang tak akan pernah bisa dijamah oleh mesin

Nurul
Nurul
santri,
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.