Kamis, April 18, 2024

Inisiasi Gerakan Peduli Pendidikan Bagi Anak Miskin

Alimah Fauzan
Alimah Fauzan
Belajar dan berkarya bersama Komunitas Perempuan Pembaharu Desa. Berbagi pengalaman dan pembelajaran pemberdayaan masyarakat di sekolahdesa.or.id; buruhmigran.or.id; perempuanberkisah.com; dan alimahfauzan.id. Email: alimah.fauzan@gmail.com.

“Anak-anak yang putus sekolah itu masih bingung. Bekerja juga serabutan, dan kami sulit menggali informasi apa yang mereka butuhkan”

Pernyataan itu dari seorang warga di salah satu desa di Jawa Tengah (Jateng) usai menggali usulan kelompok marjinal di desanya. Pesoalan yang sama namun dengan kondisi yang berbeda juga pernah saya temukan di daerah Luar Jawa.

Di salah satu Desa di Jambi misalnya, ada satu desa yang mayoritas melayu, biaya pendidikan di sana menurut saya lebih murah dibandingkan di Jawa. Secara ekonomi warga di desa tersebut tergolong mampu, umumnya pendapatan mereka dari perkebunan karet dan sawit. Namun kesadaran untuk menyekolahkan anaknya masih sangat rendah.

Salah seorang teman saya yang juga seorang ibu, pernah bercerita bahwa kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya masih sangat rendah. Saya percaya dengan keterangannya karena saya sendiri menyaksikan persoalan pendidikan di desanya. Dia juga mendirikan sekolah PAUD yang tidak mematok biaya mahal, bahkan pada akhirnya digratiskan. Meskipun digratiskan, belum banyak orang tua yang tertarik. Selain PAUD, dia juga mendirikan lembaga pelatihan komputer dan mengajar di sekolah formal.

Kondisi di sejumlah Desa yang saya temukan, anak putus sekolah bukan hanya dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi. Dalam beberapa kasus, keluarga yang tergolong mampu secara ekonomi juga belum tentu mau menyekolahkan anaknya. Sehingga anak yang putus sekolah itu akan kembali ke kebun membantu orang tuanya. Dalam banyak kasus yang saya temukan, pemuda yang sudah mendapatkan penghasilan dari kebun maupun buruh pabrik, biasanya menikah di usia dini.

Terkait pilihan menikah di usia dini, realitasnya seperti yang pernah saya tulis di laman ini tahun 2017 yang berjudul Pemuda Desa: Bertani, Mengabdi dan Menikah Dini? Lalu, bagaimana seharusnya pendidikan yang tepat untuk anak-anak putus sekolah ini? Karena alasan mereka cukup beragam.

Di satu sisi karena orang tua mereka tidak mampu membiayai, di sisi lain ada juga orang tua yang mampu namun menganggap bahwa pendidikan itu tidak penting. Padahal anak-anak siapapun dia berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Atau setidaknya, mereka juga punya hak untuk belajar.

Pertanyaan selanjutnya, apakah pendidikan itu harus dilakukan di dalam sebuah ruangan kelas. Mengenai ini kita semua tahu bahwa sudah banyak model pendidikan alternatif. Salah satunya sekolah alam, sebuah model pendidikan holistik yang memanfaatkan alam semesta sebagai media belajar. Mulai dari yang paling mahal sampai yang digratiskan.

Pengetahuan Berbasis Kearifan Lokal 

Di sejumlah kota yang saya ketahui, Sekolah Alam masih menjadi barang mahal. Faktor biaya bagi kalangan menengah ke atas mungkin tidak akan menjadi masalah untuk menyekolahkan anak mereka, namun tidak demikian halnya bagi kalangan menengah ke bawah yang boleh dikata penghasilannya serba paspasan.

Jadi sekali lagi, bagaimana nasib anak-anak miskin di desa yang putus sekolah? Walaupun secara teori sekolah alam bisa dilakukan dimana saja, dengan fasilitas yang paling sederhana sekalipun. Namun berdasarkan sumber-sumber yang kami jadikan rujukan, sekolah alam membutuhkan tempat yang luas.

Pembelajaran penting yang kini dikenal masyarat adalah “Sokola Rimba” yang diinisiasi Butet Manurung. Yang juga menarik perhatian saya adalah Sekolah Alam gratis yang diinisiasi komunitas di Kabupaten Cirebon, yang kini menjadi Yayasan Wangsakerta. Wangsakerta merupakan sekelompok orang pembelajar dan peduli masalah sosial. Dengan keterbatasan sumber daya manusia maupun pendanaan, Wangsakerta berhasil merangkul anak miskin di Desa dampingan mereka untuk belajar dan berkarya di Sekolah Alam yang mereka dirikan.

Menurut salah satu fasilitor Sekolah Alam, Farida Mahri, anak-anak putus sekolah itu sebagian besar ditinggal ibunya menjadi buruh migran. Ada juga yang sehari-hari membantu bapaknya menjual cobek. Di Desa Karangdawa memang masih banyak perajin cobek. Anak-anak mereka biasanya memilih untuk membantu orang tuanya. Kabar terkini, anak-anak tersebut sudah mulai menghasilkan karya berupa produk yang dihasilkan dari kerja keras mereka menanam beragam sayuran. Seperti produk “sambal kering”, lalu sari buah pace, dan lain-lain.

Inisiasi dari Desa

Di desa-desa, pada umumnya belum banyak pemerintah desa (Pemdes) yang benar-benar memiliki inisiatif memastikan anak-anak di desanya mendapat pendidikan. Bukan hanya mendapatkan kebutuhan dasar seperti kesehatan. Pendidikan bagi anak-anak miskin putus sekolah juga menjadi persoalan yang terabaikan. Padahal bidang pendidikan juga menjadi salah satu perhatian penting dalam pelayanan dasar. Kebutuhan dan tantangan pendidikan di level desa masih tampak lebih rendah dibandingkan dengan kesehatan.

Semua orang desa membutuhkan kesehatan, sementara pendidikan hanya terbatas dibutuhkan oleh anak-anak usia sekolah. Untuk pendidikan SD yang berada di desa, misalnya, kebutuhan kurikulum, guru, fasilitas dan gaji sudah ditanggung oleh pemerintah kurikulum, guru, fasilitas dan gaji sudah ditanggung oleh pemerintah kabupaten/Kota. Desa tidak mempunyai kewenangan terbatas pada pengelolaan PAUD, pemberian beasiswa anak-anak tidak mampu, pemberantasan buta huruf, dan lebih khusus lagi adalah gerakan membangun sadar pendidikan.

Salah satu desa yang pernah saya ketahui memiliki inisiasi untuk pendidikan anak-anak miskin di desanya adalah Tana Modu. Menurut hasil penelitian Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) (Sutoro Eko, 2014), ada beberapa gerakan penting di bidang pendidikan yang diinisiasi Pemdes Tana Modu bersama warga masyarakat yaitu gerakan menabung untuk pendidikan.

Gerakan itu diinisiasi desa bersama warga masyarakat yaitu gerakan menabung untuk pendidikan anak dan gerakan wajib belajar. Desa bekerja sama dengan Bank NTT dalam mengelola tabungan pendidikan. Orang tua wajib menabung untuk anak-anak mereka yang duduk di bangku TK hingga SMA.

Tabungan hanya untuk kebutuhan sekolah anak, jika orang tua akan mengambil uang di bank, maka harus melalui rekomendasi Desa. Desa menerima uang tabungan, pihak bank akan datang untuk mengambil uang tabungan, pihak bank akan datang untuk mengambil uang tabungan tersebut.

Kepala Desa sangat prihatin dengan kurang bermintanya warga masyarakat menyekolahkan anak hingga Perguruan Tinggi, sedangkan mereka tidak keberatan jika mengeluarkan uang untuk pesta adat. Hal inilah yang mendorong Desa membuat program menabung untuk pendidikan anak.

Tahun 2014, Pemdes Tana Modu telah mendapat bukti perubahan perilaku warganya. Mereka yang sebelumnya tidak berpikir pentingnya pendidikan anak, berubah menjadi orang tua yang sadar pentingnya pendidikan anak. Gerakan peduli pendidikan anak sekolah juga memberlakukan sanksi lokal bagi orang tua yang tidak melaksanakan.

Desa kemudian menyusun Perdes No. 06/2013 tentang Wajib Belajar 9 Tahun di mana semua pihak ikut bertanggung jawab dalam mendorong semua warga mengenyam pendidikan dasar. Perdes juga mengatur sanksi lokal bagi orang tua yang abai mendidik anaknya setelah desa melalui RW dan RT memberi teguran pada orang tua tersebut. Ihwal anak sekolah kadang-kadang lekat dengan persoalan perkawinan dini yang memaksa anak tidak melanjutkan sekolah.

Alimah Fauzan
Alimah Fauzan
Belajar dan berkarya bersama Komunitas Perempuan Pembaharu Desa. Berbagi pengalaman dan pembelajaran pemberdayaan masyarakat di sekolahdesa.or.id; buruhmigran.or.id; perempuanberkisah.com; dan alimahfauzan.id. Email: alimah.fauzan@gmail.com.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.