Rabu, Oktober 9, 2024

Ingin Pulang Kampung

Dede Sulaeman
Dede Sulaeman
Blogger dan penulis buku Gagasan Tokoh Benny K Harman, “No Justice, No Peace!”

Seperti dikutip Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat (2016), menurut sejarahnya, di Eropa hari libur Sabtu dan Minggu disebut holiday karena diinspirasi Bibel bahwa Tuhan istirahat mengurus dunia pada Sabtu. Karena itu, manusia juga istirahat dari kerja mengejar duniawi lalu diganti dengan acara ritual memuja Tuhan sehingga pada holy-day, hari suci, orang pergi ke gereja atau kuil untuk memuja Tuhan.

Ada bagian waktu yang dikhususkan manusia untuk mengabdi kepada Tuhan dengan beribadah dan berbagi kasih sayang kepada sesama manusia.

Dalam tradisi Islam, setiap menjelang lebaran, hari raya Idul Fitri, hampir semua umat Islam berbondong-bondong mudik, kembali ke kampung, tidak hanya untuk merayakan hari raya, tapi lebih dari itu mereka saling membebaskan kesalahan, berbagi, dan menghormati satu sama lain.

Juga, pada momen itu, perputaran ekonomi yang tadinya lebih banyak di kota berpindah ke kampung secara signifikan. Ini menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat di kampung.

Momen itu menjadi sangat sakral bagi masing-masing orang. Pulang kampung memiliki makna spiritual, sekaligus sosial yang sangat kental. Dan, ternyata tradisi pulang kampung yang khas Indonesia, tidak hanya hidup bagi orang Jawa, tapi juga luar Jawa; tidak hanya umat Islam tapi juga umat-umat agama lain.

Ketika seseorang mengatakan ingin pulang kampung, artinya ia menginginkan kembali ke kampung halaman dengan tujuan spiritual juga sosial. Ia ingin mengabdi kepada Tuhan, sekaligus berbagi kepada sesama, tempat di mana pertama kali ia dilahirkan. Sebab mengabdi kepada Tuhan selalu memiliki makna ganda: pengabdian hamba kepada-Nya dan kepada sesama manusia. Karena itu, pulang kampung selalu memiliki makna luhur yang bernilai ketuhanan dan kemanusiaan.

Benny K Harman, salah seorang politisi senior nan mapan yang hampir tiga periode duduk sebagai anggota DPR RI, seolah terbawa hanyut oleh tradisi mudik itu. Ia ingin pulang kampung, kembali ke Nusa Tenggara Timur (NTT), tempat di mana ia dilahirkan dan tumbuh menjadi besar.

Ia mengatakan, “Kalau NTT mau maju, para perantau harus pulang kampung, dan saya adalah salah satu perantau yang hendak pulang kampung.”

Dalam konteks politik lokal yang sebentar lagi akan melangsungkan hajatan pilkada serentak di beberapa daerah, termasuk NTT, kalau ada politisi yang sudah malang melintang sebagai politisi senior di level nasional berterus terang ingin pulang kampung, tentu kita mafhum apa maksudnya.

Ya, Benny ingin ikut bertarung di pilkada. Tapi kenapa ia membawa-bawa istilah pulang kampung? Apakah itu benar-benar berhubungan dengan makna spiritual, sekaligus sosial; pengabdian kepada Tuhan, juga kepada sesama manusia?

Secara kasat mata, tak seorang pun tahu apa isi hati seseorang, kecuali Tuhan dan dirinya sendiri. Mungkin seseorang bermaksud baik, bisa juga bermaksud sebaliknya. Ini menjadi bagian misteri dari sosok manusia yang memiliki unsur malaikat, juga unsur setan.

Akan sangat sulit menilai sebuah misteri semacam ini. Karena itu, kita tidak perlu menilai isi hati yang tidak tampak. Memaksakan diri untuk tahu isi hati orang, hanya akan membuat seseorang senewen, stres, bahkan depresi. Mari fokus saja pada apa yang tampak diucapkan. Mengenai niat baik yang misteri, biarlah Tuhan yang menilai.

Dalam beberapa kesempatan Benny yang dikabarkan akan berpasangan dengan wakil gubernur sekarang, Beny Litelnoni, mengatakan hal pokok yang menjadi motivasinya pulang kampung, yaitu pengabdian.

Pengabdian menjadi kata ajaib bagi Benny dan tampaknya ini diilhami oleh sang ibu yang menohok dirinya, “Untuk apa kamu pintar dan hebat di negeri orang, sedangkan orang-orang di kampungmu miskin dan menderita. Untuk apa kamu berkedudukan dan kaya raya, tapi orang-orang itu tidak bisa kamu ubah nasibnya.” (Widodo dan Sulaeman, No Justice, No Peace, 2017: 173)

Mengubah nasib orang-orang yang miskin supaya menjadi berkecukupan bukanlah persoalan mudah, apalagi sebagian masyarakat yang hidup di provinsi seluas NTT. Perlu ada upaya sistematis yang melibatkan banyak pihak: pemerintah daerah, pihak swasta, dan masyarakat.

Di antara tiga pihak itu, pemerintahlah yang menjadi faktor paling penting dengan tanpa menafikan dua faktor lainnya. Sebab pemerintah memiliki kebijakan yang mengandung unsur hukum yang mengikat untuk mengatur semua penyelenggaraan tata kelola masyarakat di sebuah daerah. Karena itu, pemerintah menjadi kata kunci bagi maju tidak sebuah masyarakat. Faktor inilah yang menjadi motivasinya untuk pulang kampung, memimpin NTT.

Membangun Kampung Sendiri

Tak mau sendirian, Benny K Harman juga mengajak orang-orang asli NTT yang sudah merantau dan sukses, baik itu pengusaha, ilmuwan, akademisi, politisi, dan sebagainya, untuk kembali ke kampung halaman demi membangun NTT yang maju. Tak segan ia mengajak perantau asal NTT pulang kampung untuk membangun kampung sendiri. Menurutnya, daerah akan maju apabila para perantau mau pulang kampung (Widodo dan Sulaeman, 2017: 195).

Benny menuturkan, pengalaman keliling Indonesia selama duduk di DPR RI membuat dirinya sampai pada kesimpulan bahwa kalau mau membangun kampung, maka para perantau juga ikut bertanggung jawab membangun kampung sendiri. Para perantau, kata dia, tidak boleh menutup mata dan apatis dengan kampung halaman. Kalau mau membangun daerah butuh pengorbanan untuk mau kembali ke kampung.

Pengusaha yang sukses di rantau, menurutnya harus pulang untuk bangun daerah. Ia mengatakan bahwa uang yang diperoleh orang-orang sukses dari NTT harus diinvestasikan ke kampung halaman. Selain itu, kaum intelektual atau cendikiawan juga harus mengorbankan kepintarannya untuk membangun daerah. Kemudian, para politisi harus pula kembali ke kampung untuk membangun daerah; anak muda yang sudah selesai kuliah harus berani pulang kampung membangun daerah.

Benny mewanti-wanti, Provinsi NTT mempunyai potensi pariwisata yang luar biasa untuk meningkatkan pendapatan per kapita. Kalau tidak diantisipasi dengan baik dari sekarang, maka bisa menjadi orang asing di kampung sendiri.

Benny juga menandaskan, walaupun ada cerita yang memilukan di NTT, seperti kasus human traffiking, konflik tanah, masalah pembangunan, tapi hal itu tidak akan menyurutkan semangat untuk membangun kampung halaman sendiri (Widodo dan Sulaeman, No Justice, No Peace, 2017: 196-197). Ia berharap, provinsi NTT akan bisa sejajar dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia, bahkan dapat melebihinya.

Apakah semua yang dikatakan Benny bisa terwujud? Tunggu tanggal mainnya, ketika pilkada di NTT telah selesai digelar. Tentu kita sebagai warga negara yang netral yang cinta kepada NKRI dan sesama anak bangsa, sangat berharap kesejahteraan bisa terwujud di banyak daerah melalui proses politik lokal, siapa pun orang yang menjadi pemimpinnya dan apa pun partai pengusungnya. Semoga.[]

Dede Sulaeman
Dede Sulaeman
Blogger dan penulis buku Gagasan Tokoh Benny K Harman, “No Justice, No Peace!”
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.