Masalah hoaks di Indonesia sebenarnya seolah sudah menjadi sarapan sehari-hari masyarakatnya. Pagi hari belum lengkap rasanya kalau belum memikmati hidangan hoax yang disebar lewat media sosial, entah itu WA, Instagram, Facebook maupun media sosial lainnya.
Namun, belum kenyang dengan hoaks-hoaks kecil yang kita konsumsi setiap pagi itu, belakangan ini porsi sarapan hoax kita semakin besar porsinya. Bukan karena semakin banyaknya berita hoax—meskipun pada kenyataannya memang begitu—yang beredar, tetapi karena semakin masifnya jangkauan yang dapat dipeluk erat oleh sebuah hoax.
Sebut saja kasus yang baru diciptakan seorang aktivis RS beberapa waktu yang lalu. Betapa hebatnya efek yang dihasilkan hanya dengan sebuah kebohongan simple yang beliau ciptakan. Bukan hanya di lingkungan rumah ataupun organisasi saja, bahkan kebohongan tersebut mungkin saja membuat dunia tertawa terbahak-bahak saat mendengarnya. Mulai dari dokter-dokter spesialis, politisi-politisi hebat, hingga para petarung media sosial Indonesia ikut meramaikan kasus ini yang pada akhirnya hanya bisa menepuk jidat karena tertipu oleh kebohongan hebat ini.
Lalu sebenarnya kenapa, sih, negeri kita tercinta ini rentan banget sama yang namanya hoax? Nah, kalau kita mau membuka mata sejenak, sebenarnya masalah ini berawal ketika kita tidak mau mencari kebenaran atas sebuah berita.
Mayoritas masyarakat, terlebih pada kelompok umur lanjut usia, cenderung hanya mengkonfirmasi sebuah berita hanya melalui satu portal berita yang belum tentu diketahui kebenarannya. Contoh kecil yang dapat penulis berikan adalah pesan tentang pengisian daya otomatis lewat pesan WA.
Memang, kita sebagai golongan muda pasti akan tergelitik saat menerima pesan semacam itu. Tapi hal tersebut tidak berlaku bagi golongan tua. Mereka akan mudah percaya dengan pesan tersebut dan pastinya akan ikut menyebarkan pesan tersebut dengan sebuah harapan palsu, terisi penuhnya daya telpon pintar mereka.
Hal tersebut seolah menjadi pertanda bahwa sebenarnya sasaran hoax itu bukan melulu pada golongan muda. Golongan muda yang sudah akrab dengan yang namanya teknologi kemungkinan besar tidak akan mudah percaya atas kebenaran sebuah berita lewat satu media online saja.
Golongan muda kebanyakan akan mencari lagi berita serupa lewat perspektif berbeda dan menyimpulkannya sendiri kebenaran dari berita tersebut. Tapi, bukan tidak mungkin juga, sih, golongan muda melakukan hal tersebut mereka akan terbebas dari jebakan Batman hoax.
Lantas bagaimana cara untuk mengatasi masalah ini? Berdasarkan uraian di atas, jelas tercantum beberapa faktor utama yang harus dibenahi guna mengurangi, bahkan menghilangkan porsi sarapan tercinta kita ini. Untuk masalah golongan tua, kita sebagai golongan muda bisa membantu mereka agar lebih melek pada teknologi, khususnya pada penyebaran berita secara online. Memberi pengetahuan mengenai kebenaran sebuah berita online tersebut menjadi penting karena media penyebaran berita di era milenial ini mayoritas secara online.
Masalah kedua muncul akibat kurangnya pegangan seseorang dalam mengambil sebuah kebenaran atas sebuah berita. Cara mereka dalam menemukan kebenaran atas sebuah berita sebenarnya sudah cukup tepat dengan membandingan kubu pro-kontra dalam sebuah berita.
Namun, dalam pengambilan keputusan akhir akan menjadi fatal jika kurangnya informasi mendasar mengenai berita tersebut. Persoalan ini sudah mengikat semua golongan usia. Oleh karena itu ada satu hal mendasar yang dapat penulis sarankan untuk masalah kedua ini, yaitu belajar. Ya, dengan mempelajari berbagai macam hal, kita seolah memiliki sebuah perisai kuat untuk menghadapi kerasnya tusukan sebuah hoax. Solusi tersebut dimunculkan dengan harapan dimana masyarakat tidak perlu ambil pusing jika dihadapkan dengan berita hoax.
Pada akhirnya, keseluruhan tulisan di atas hanyalah sebuah opini penulis pribadi. Semua kembali pada diri masing-masing masyarakat mengenai masalah hoax ini. Karena terkadang ada saja orang-orang ‘pintar’ yang sudah mengetahui sebuah berita adalah bohong, namun tetap ikut menyebarkannya demi sebuah kesenangan belaka. Jika hal tersebut tetap dilakukan oleh oknum-oknum tersebut, mau sampai hari kiamat juga menu sarapan kita akan begitu-begitu saja.
Apakah tidak pernah terbesit sebuah pemikiran di dalam diri masyarakat untuk mengganti menu sarapan kita yang sudah sangat membosankan ini? Memang hoax di Indonesia bisa sedikit dikurangi? Jawabannya pasti ada di dalam diri tiap-tiap masyarakat negeri kita tercinta ini.