Tahun ini, 2017 kita melihat cukup banyak fenomena tentang kemalasan, malas baca buku, malas menggunakan cara yang baik untuk memenangkan jagoannya, malas jalan kaki dan malas bekerja. Malas baca buku misalnya, masyarakat sepertinya susah disuruh mengangkat selembar kertas untuk dibaca karena dirasa lebih berat daripada mengangkat smartphone yang dirasa lebih ringan. Berdasarkan data BPS dan UNESCO tahun 2012 jumlah masyarakat yang memiliki minat baca hanya 1 : 1.000, artinya dari seribu penduduk Indonesia, hanya yang satu yang memiliki minat baca (http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/07/22/oapl025-minat-baca-yang-rendah).
Hal itu diperkuat dengan pemberitaan Okezone (10/10/16) bahwa Lembaga UNESCO merilis hasil survei terhadap minat baca di 61 negara dan Indonesia menempati terendah kedua dengan hanya 0,001 persen (Solopos.com). Artinya, buku-buku konvensional yang terbuat dari kertas semakin tidak diminati oleh masyarakat Indonesia. Rendahnya minat baca buku ini membuat media konvensional (cetak) semakin terpojok, majalah HAI dan semacamnya sudah kukut (berhenti cetak) per Juni 2017 kemarin.
Tulisan Muhammad Sufyan di kolom kompas (07/07) berjudul “Berapa Lama Lagi Usia Koran di Indonesia” menjelaskan mengenai penurunan trend membaca. Koran dan Iklan merupakan dua hal yang saling berkaitan, untuk apa beriklan di koran jika masyarakat sekarang cenderung beralih ke Internet. Akhirnya bisnis koran semakin minus, sehingga ramai-ramai pindah ke digital seperti yang dilakukan oleh majalah HAI (https://inet.detik.com/cyberlife/d-3521748/tamatnya-edisi-cetak-majalah-hai).
Dalam analisis itu pula dapat disimpulkan tulisan Muhammad Sufyan, seperti ini trend koran menurun, trend digital naik. Sesuai dengan tulisannya juga dengan merujuk data APJII 2016, bahwa motivasi warganet Indonesia mengakses internet (dalam jawaban terbukanya) yang tertinggi ternyata bukan akses media massa daring atau berita,melainkan media sosial dan mencari hiburan. Disini, harusnya peran pemerintah melalui kementrian pendidikan perlu merevolusi sistem pendidikan yang tidak mengutamakan kecintaan terhadap membaca.
Jika berkaca pada era reformasi, internet masuk disaat kecintaan masyarakat terhadap buku belum tertancap kuat. Hingar bingar media sosial, semenjak kemunculan media sosial seperti facebook, friendster dan yahoo.com kehidupan terasa lebih menarik daripada membaca buku, hasilnya menjadi gaya hidup masa kini. Kemalasan ini menular kepada yang lain dalam kreatifitas kampanye politik untuk memenangkan calon dukungannya, bagaimana cara menjegal lawan? Mereka yang melakukan black campaign merupakan hasil dari sebuah kenyataan bahwa buku tidak diperlukan untuk memberi inspirasi tentang cara menjatuhkan lawan politik.
Jika anda menonton three idiots anda tahu cara untuk menjadi nomor satu, belajar lebih keras atau turunkan nilai mereka (dengan cara memberi buku konten dewasa sehingga temannya lupa belajar). Tentu saja, sosialisasi yang buruk ini sudah berlangsung sejak era Orde Baru, dengan militernya (ABG) alm. Soeharto tidak terlalu pusing memikirkan cara untuk meraih suara terbanyak. Kita harus pusing, kita harus lelah untuk membaca buku tapi hasilnya akan luar biasa, kita bisa menciptakan hal-hal yang kreatif dan inspiratif.
Lebih parah lagi mengenai pemberitaan tentang malas jalan kaki ( berita internasional oleh kompas.com, 12/07), berujung malas kerja, lebih baik ngerampok atau mencopet. Jika diperhatikan Indonesia sekarang terlihat lebih kurus, masyarakatnya jarang jalan kaki dan lebih memilih naik kendaraan untuk jarak dekat. Selain itu, kini banyak yang mendonasikan buku, karena rendahnya minat baca sehingga rendahnya daya beli buku, hal itu juga terjadi pada dunia transportasi, bukan mendonasikan tapi terpaksa (dipaksa) untuk mendonasikan tanahnya agar diaspal guna pelebaran jalan (tujuannya untuk mengurai kemacetan).
Sejatinya, penulis ingin tidak perlu sekolah seama setahun. Hal tersebut dilakukan agar pemerintah melalui kementrian pendidikan selama itu fokus merumuskan suatu sistem mulai dari TK hingga SMA untuk cinta membaca. Penulis berharap dengan suatu metode untuk mengembalikan martabat buku dan koran yang senantiasa juga ada di warkop-warkop kembali sedia kala. Ingat, beberapa warkop sekarang lebih memilih memberikan fasilitas wi-fi dan TV daripada memberikan fasilitas koran, karena mereka tahu koran sekarang tidak menarik untuk dibaca walau isinya menarik.