Minggu, Desember 22, 2024

Indonesia Mendekati China: Diplomasi Vaksin atau LCS?

Ludiro Madu
Ludiro Madu
Dosen di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta. Peminat studi ASEAN, Asia Tenggara, Politik Luar Negeri & Diplomasi Indonesia, dan kaitan internet-hubungan internasional
- Advertisement -

Mendekati China pada saat ini tampaknya menjadi salah satu agenda penting bagi diplomasi Indonesia. Menurut saya, upaya diplomasi Indonesia ini sangat wajar mengingat posisi China pada saat ini sangat strategis dan memiliki posisi tawar sangat tinggi. Dunia memerlukan China untuk dua hal paling strategis, yaitu vaksin Covid-19 dan perdamaian di Laut China Selatan (LCS). Tanpa China, solusi bagi kedua masalah itu tidak akan optimal.

Kedekatan dengan China telah memberikan bukti nyata bagi Indonesia. Indonesia sudah mendapatkan vaksin Covid-19 itu dari perusahaan Sinovac China untuk diuji di BUMN Biofarma di Bandung. Uji klinik itu tentu saja dengan harapan ada jaminan bagi Indonesia untuk memperoleh vaksin itu ketika telah siap pada awal 2021 mendatang. Keberhasilan diplomasi vaksin Indonesia ini tentu saja membuat lega masyarakat yang tidak perlu kuatir lagi dengan persediaan vaksin Covid-19 di Indonesia.

Setelah diplomasi vaksin berhasil, Indonesia tampaknya juga berharap kedekatan dengan China memberikan peluang untuk melancarkan diplomasi perdamaian dalam konflik di perairan LCS.

Dibandingkan dengan diplomasi vaksin, masalah kompleksnya tentu saja terletak pada penyelesaian diplomatik pada konflik LCS. Setidaknya ada dua pilihan jalan diplomasi yang bisa ditempuh Indonesia dalam mengupayakan diplomasinya terhadap China.

Pilihan pertama

Menurut saya, pilihan posisi Indonesia dalam konflik klaim di LCS bisa ‘melihat’ saja. Posisi melihat ini berdasarkan pada kenyataan bahwa Indonesia adalah non-claimant state dalam konflik klaim antara China dengan empat negara anggota ASEAN. Indonesia tidak perlu melakukan langkah-langkah atau inisiatif diplomasi apapun berkaitan dengan konflik LCS itu.

Pilihan ini menganggap diplomasi LCS tidak memberikan manfaat konkrit bagi rakyat Indonesia. Konflik di LCS bukan persoalan Indonesia, sehingga Indonesia lebih baik memilih prioritas pada agenda diplomasi lain. Salah satu prioritas itu, misalnya, adalah memperkuat posisi diplomasi Indonesia di ZEE di Laut Natuna Utara yang memang bersinggungan dengan claim China di LCS.

Banyak kritik tentu saja akan muncul terhadap pilihan pertama ini. Alasan normatifnya adalah bahwa Indonesia harus mendukung perdamaian dunia, seperti semangat pembukaan UUD 1945. Jika diplomasi LCS berhasil, manfaatnya lebih pada peningkatan citra Indonesia sebagai negara pendukung perdamaian. Diplomasi ini lebih banyak menghasilkan perasaan senang atau citra daripada manfaat riil bagi Indonesia.

Persoalan lain di LCS adalah bahwa perdamaian di LCS tidak dapat muncul begitu saja. Jika diplomasi dimaknai dengan usaha membawa pihak-pihak yang berkonflik ke meja perundingan, maka kesempatan itu tidak akan datang dalam waktu cepat.

Di tengah rivalitas AS-China dan peningkatan ketegangan di LCS, upaya mendinginkan suasana keda pisak bukanlah sesuatu yang müdah dilakukan oleh pihak ketiga, seperti Indonesia. Padahal salah satu syarat penting perundingan adalah kemauan dari pihak-pihak yang bersengketa untuk berdamai. Kesediaan datang ke meja perundingan ini tampaknya masih merupakan angan-angan.

Saya perhatikan negara-negara yang terlibat dalam mobilisasi kapal-kapal perang di LCS belum menyatakan perlunya negosiasi di antara mereka hingga kini. Himbauan ASEAN melalui pernyataan para pemimpinnya pada KTT ke-36 di Juni 2020 pun tidak mendapat tanggapan memadai. Jika pihak-pihak yang bersengketa belum merasa perlu berunding, maka ajakan damai dari pihak di luar mereka menjadi lebih sulit dijalankan. Jika ASEAN saja tidak dipedulikan, apalagi Indonesia.

- Advertisement -

Pilihan kedua

Namun demikian, posisi non-claimant state juga dapat menimbulkan tafsir lain. Justru posisi itu memudahkan Indonesia ikut serta dalam upaya perdamaian regional di kawasan LCS itu. Peluang ini yang tampaknya sedang berjalan sekarang ini. Pertemuan bilateral-virtual antara Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi dan Menlu China Wang Yi pada akhir Juli 2020 tampaknya menjadi langkah konkrit upaya diplomasi RI memafaatkan kedekatan dengan China dalam menyelesaikan konflik di LCS.

Peluang ini mungkin bisa disebut sebagai ‘diplomasi ganda’. Maksudnya adalah Indonesia melancarkan dua agenda diplomasi sekaligus. Pertama, ‘mendekati’ China untuk memperoleh jaminan akses terhadap vaksin Covid-19. Kedua, keberhasilan pada diplomasi vaksin dapat dimanfaatkan untuk menjalankan diplomasi LCS. Tujuannya paling tidak adalah menurunkan ketegangan di LCS.

Indonesia tampaknya harus berhati-hati dalam berdiplomasi dengan China. Dalam beberapa bulan terakhir ini, pemerintah China cenderung sangat sensitif dengan persoalan pandemi Covid-19 dan LCS. Sikap itu ditunjukkan para diplomat China di berbagai negara, misalnya di AS, Australia, dan Inggris.

Bahkan para diplomat China berani mengancam negara tertentu dan mengaitkannya dengan kerjasama bilateral. Diplomasi wolf warrior atau prajurit serigala dipraktekkan para diplomat China itu untuk menolak tuduhan negara-negara lain soal asal-usul virus Corona. Indonesia tentu saja tidak ingin mengalami situasi seperti itu karena bisa berakibat pada sektor kerjasama lain dengan China.

Dalam pengamatan saya, posisi tawar China pada saat ini sangat menarik. Negara Panda ini ‘memegang’ kunci keamanan global, yaitu keamanan di LCS dan keamanan dalam bentuk vaksin Covid-19. Posisi tawar China sangat tinggi dibandingkan AS, apalagi dibandingkan negara-negara lain.

Presiden Filipina Duterte terpaksa takluk dengan kekuasaan China di kedua isu global strategis itu. Walaupun menjadi korban provokasi China di perairan LCS, Filipina memilih ‘berbaikan’ dengan China demi mendapatkan jaminan akses ke vaksin Covid-19. Demikian pula Malaysia yang meminta jaminan dari China untuk mendapatkan akses persediaan vaksin Covid-19.

Faktor-faktor, seperti belum adanya kemauan AS dan China untuk berunding, tidak peduli pada himbauan ASEAN, sikap sensitif China, posisi tawar China itu tentu saja mempersulit pilihan kedua dalam diplomasi di LCS.

Bahwa upaya-upaya diplomasi damai untuk LCS perlu diupayakan tentu saja bisa tetap dilakukan, namun menempatkan diplomasi LCS sebagai sebuah prioritas dalam agenda diplomasi Indonesia pada saat ini perlu dipertimbangkan lagi.

Menurut saya, diplomasi Indonesia sebaiknya tetap berpegang pada prioritas memberikan manfaat konkrit bagi masyarakat Indonesia. Pilihan pertama perlu diberi porsi lebih besar dalam diplomasi Indonesia ke depan. Dalam situasi sekarang ini, kedekatan dengan China lebih baik diarahkan pada diplomasi vaksin yang lebih strategis dan nyata manfaatnya bagi rakyat Indonesia ketimbang diplomasi LCS.

Ludiro Madu
Ludiro Madu
Dosen di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta. Peminat studi ASEAN, Asia Tenggara, Politik Luar Negeri & Diplomasi Indonesia, dan kaitan internet-hubungan internasional
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.