Indonesia menuju 100 tahun kemerdekaan pada tahun 2045 membutuhkan kekuatan besar yang tidak hanya berbasis pada kekuatan ekonomi dan teknologi, tetapi juga pada stabilitas sosial, nilai-nilai spiritual, serta identitas kebangsaan. Dalam konteks ini, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, memiliki peran strategis yang saling melengkapi, NU sebagai upaya dengan sosial dan kultural yang berakar kuat di masyarakat nusantara, dan Muhammadiyah sebagai struktural yang modern dengan menekankan rasionalitas dan sistem kelembagaan.
Muhammadiyah memapah beban pada modernisasi pendidikan, penguasaan teknologi, dan penguatan rasionalitas umat melalui sistem pendidikan dan amal usaha. Sementara NU membentuk basis kekuatannya melalui jaringan pesantren, budaya lokal, dan tradisi spiritual Islam Nusantara lainnya. Meskipun berbeda dalam pendekatan, mereka memiliki visi dengan amanat konstitusi: mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan keadilan sosial, dan memperkuat peradaban yang berketuhanan dan berkeadaban.
“Terwujudnya masyarakat Indonesia yang cerdas, religius, sejahtera, berdaya saing global, dan berakar kuat pada nilai-nilai spiritual dan budaya”.
Dalam mewujudkan visi tersebut, pendidikan berbasis nilai dan penguasaan teknologi harus menjadi landasan utama. Kolaborasi NU dan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan dapat menciptakan model pembelajaran yang holistik, dengan memadukan tradisi dan inovasi. Begitu juga dalam aspek pengembangan teknologi umat, keduanya dapat saling melengkapi antara basiskomunitas NU yang luas dan kekuatan kelembagaan Muhammadiyah yang sistemik.
Secara historis dari kedua lembaga ini, baik dari asal mula berdirinya organisasi, background para pendiri dan para penerusnya, tantangan yang dihadapi dalam berdakwah, hingga kasus-kasus polemik sekarang dari kedua ormas tersebut, dapat disimpulkan bahwa “Jika orientasi utamanya seperti efisiensi kelembagaan dan modernisasi pendidikan, Muhammadiyah lebih unggul. Tapi kalau orientasi utamanya adalah keterhubungan sosial, jangkauan luas dari akar ke elite, dan jembatan antara kemajuan dan tradisi, NU juaranya”.
Mewujudkan sinergi antara NU dan Muhammadiyah bukanlah suatu hal yang mudah. Perbedaan dalam pendekatan teologis dan kultural seringkali menjadi titik pertikaian. Muhammadiyah dengan pendekatan purifikasi dan rasionalitas keagamaan, sementara NU mengedepankan aspek tasawuf dan kearifan lokal. Jika tidak dikelola dengan bijak, perbedaan ini bisa menjadi penghalan gdalam program kolaboratif.
Selain itu, ego kekanak-kanakan oleh oknum juga menjadi penghambat sinergi. Rivalitas historis dan kecenderungan mempertahankan identitas masing-masing, terkadang mengalahkan urgensi bangsa. Belum juga ketimpangan akses dan sumber daya, tidak semua daerah mempunyai kualitasinfrastruktur pendidikan dan teknologi yang setara, sehingga perlu adanya upaya pemerataan berbasis sinergi. Tidak kalah penting, sinergi ini harus mampu menghadapi perubahan sosial dan ancaman fanatisme hingga ekstremisme yang berkembang seiring melajunya globalisasi dan disrupsi digital. Jika NU dan Muhammadiyah tidak mampu mengaktualisasikan nilai moderasi dalam konteks mewujudkan Indonesia Emas 2045, maka pengaruh ideologis yang eksklusif ini berpotensi memudar dalam ruang kepercayaan umat.
Strategi harus dibangun dari bawah ke atas, seperti kerja sama cabang dan wilayah di tingkat lokal. Pada tingkat nasional, dibutuhkan lembaga bersama yang dapat menjembatani perumusan kebijakan dan sinkronisasi program lintas ormas. Pada tingkat global, kolaborasi ini dapat diwujudkan melalui lembaga internasional berbasis keindonesiaan untuk mempromosikan Islam wasathiyah (moderat) kepada dunia.
Sinergi NU dan Muhammadiyah merupakan kebutuhan strategis bangsa. Masing-masing memiliki kelebihan yang tidak bisa saling menggantikan. Dalam menghadapi tantangan globalisasi, disrupsi teknologi, dan ancaman disintegrasi sosial, kolaborasi dua kekuatan ini bukan sekadar relevan, tetapi menjadi syarat mutlak bagi terwujudnya Indonesia Emas 2045. Dengan dasar iman, ilmu, budaya, dan penguasaan teknologi, Indonesia akan berdiri tegak sebagaibangsa yang adil, beradab, makmur, dan berdaya saing global.