Kamis, Oktober 9, 2025

Indonesia dan Tantangan Mengubah Narasi Bunuh Diri

Hobie Fauzan Lumban Tobing
Hobie Fauzan Lumban Tobing
Penulis dengan latar belakang Psikologi, berfokus pada isu kesehatan mental, pencegahan bunuh diri, dan dukungan komunitas.
- Advertisement -

Setiap tanggal 10 September, seluruh dunia memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri Internasional termasuk Indonesia. Hari Pencegahan Bunuh Diri Di Dunia ini telah ditetapkan oleh International Association for Suicide Prevention (IASP) bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) sejak tahun 2003. Alasan peringatan ini pada tahun tersebut adalah WHO dan IASP melihat bahwa bunuh diri sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat global, tapi masih jarang dibicarakan secara terbuka.

Tanggal 10 September dipilih sebagai momentum tahunan untuk membuka mata dunia bahwa bunuh diri bisa dicegah, asalkan ada kesadaran, dukungan, dan intervensi yang tepat dari berbagai elemen masyarakat serta pemerintah. 10 September bukan hanya sekedar mengenang, tapi menjadi momen untuk edukasi terkait kesehatan mental, menghapus stigma, dan mendorong aksi nyata pencegahan bunuh diri.

Pencegahan Bunuh Diri sudah seharusnya menjadi salah satu kegelisahan suatu negara. Jika kita melihat konteks isu ini di Indonesia, kita bisa memahami bahwa narasi bunuh diri memiliki tantangan tersendiri untuk bergeser ke ranah empati karena masih terikat pada budaya tabu yang berkaitan dengan spiritualitas seseorang. Topik ini justru sering dihindari dan jika dibahas malah diberi stigma, baik dalam percakapan sehari-hari maupun pemberitaan publik. Banyak orang mungkin sepakat bahwa isu ini adalah masalah yang serius.

Namun, ketika isu ini muncul dan terjadi di sekitar kita, reaksi yang terjadi justru sering berupa bisikan penuh prasangka, penyangkalan, atau bahkan penghakiman seakan-akan orang yang membahas hal ini mencari perhatian. Inilah yang disebut sebagai budaya tabu, hanya berfokus pada mitos dan mendasarkan pada hal yang negatif terjadi di sekitarnya tanpa mau mencoba mendengarkan dengan empati.

Sebelum kita berbicara tentang strategi pencegahan, kita perlu menengok beberapa tantangan mendasar yang kerap menghambat berkembangnya urgensi soal bunuh diri dan kesehatan mental itu sendiri di Indonesia.

Stigma

Di Indonesia, topik bunuh diri sering dianggap dosa, aib keluarga, atau tanda kelemahan iman. Terdapat beberapa kasus yang terjadi terkait dengan bunuh diri dan beberapa orang  menyalahi keadaan ekonomi seseorang yang berada dalam kondisi miskin bahkan tingkat keimanan seseorang sebagai penyebab bunuh diri.

Padahal jika ingin membahas alasan di balik perilaku bunuh diri, kita tidak dapat melihat dari satu aspek saja. Terdapat beberapa aspek yang menjadi alasan orang melakukan bunuh diri bisa jadi bukan sekedar ekonomi, tapi emosi, tekanan stress, kondisi fisik, bahkan regulasi pemerintah juga dapat berpengaruh.

Orang-orang sepertinya lebih mudah menyimpulkan bahwa perilaku tersebut hanya berasal dari satu aspek saja alih-alih berempati dan mencari solusi untuk membantu mencegah agar tidak terjadi kejadian serupa di kemudian hari. Karena kondisi tersebut membuat banyak orang enggan bercerita atau mencari bantuan. Ini menjadi tantangan besar untuk Indonesia bagaimana mengubah stigma menjadi empati, tidak hanya dalam kasus bunuh diri tapi juga untuk kehidupan sehari-hari.

Peran Media

Media memiliki peran yang besar dalam membangun label terkait kesehatan mental dan juga terkait isu bunuh diri. Di Indonesia, masih banyak berita bunuh diri yang ditulis dengan detail dari cara, lokasi ditemukannya, catatan bunuh diri, bahkan foto korban yang dapat berisiko menimbulkan copycat effect. Di dalam jurnal penelitian The impact of media reporting of suicides on subsequent suicides in Asia: A systematic review tahun 2024 terdapat temuan bahwa kasus bunuh diri maupun percobaan bunuh diri meningkat setelah adanya pemberitaan bunuh diri di media. Hal ini berlaku tanpa memandang negara, status, jenis media, dan cara bunuh diri. Pemberitaan yang memaparkan cara kematian korban juga terbukti berpotensi meniru bunuh diri dengan metode serupa. Karena itu, perlunya edukasi dan training media yang tepat agar tidak menimbulkan stigma atau ide perilaku serupa yang beresiko.

Akses

Jumlah psikolog dan psikiater masih sangat sedikit dibanding populasi yang membutuhkan bantuan kesehatan mental. Berdasarkan pemaparan Dr. Imran Pambudi (Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia) pada tahun 2024 Kementerian Kesehatan mencatat bahwa konseling baru tersedia di sekitar 40% Puskesmas, dan distribusinya tidak merata ke seluruh Indonesia. Salah satu tantangan adalah minimnya jumlah psikolog dan psikiater di provinsi lain, sementara 60–70% tenaga ahli tersebut hanya terkonsentrasi di Jakarta.

- Advertisement -

Layanan konseling juga sering dianggap mahal, jadi akses masyarakat terbatas ekonomi. Menurut Detik.com pada tahun 2024 biaya konseling psikolog rata-rata berkisar antara Rp 400 ribu hingga Rp 1 juta per sesi. Tingginya tarif ini menjadi salah satu hambatan bagi warga yang ingin mendapatkan layanan kesehatan mental. Namun, tidak perlu khawatir jika ingin menjangkau rumah sakit umum daerah (RSUD) atau rumah sakit pemerintah lainnya, biaya konsultasi psikolog atau psikiater biasanya lebih terjangkau, berkisar antara Rp100.000 hingga Rp300.000 per sesi. Jika pasien menggunakan layanan BPJS Kesehatan, maka konsultasi dapat dilakukan secara gratis asalkan mendapatkan rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (Puskesmas atau klinik).

Kebijakan

Layaknya fenomena gunung es yang hanya melihat dasarnya saja, fenomena bunuh diri seringkali underreported karena keinginan keluarga untuk menutupinya atau aparat mencatat dengan istilah lain. Tanpa data yang akurat dan transparan, sulit membuat kebijakan pencegahan yang efektif. Tantangan ini seharusnya bisa mendorong pemerintah melihat bunuh diri bukan hanya isu medis, tapi juga perlu mengulas bagaimana faktor sosial, ekonomi, budaya, dan kebijakan publik ikut berperan dalam munculnya ide bunuh diri.

Meskipun sudah terdapat PP Nomor 28 Tahun 2024 yang membahas pencegahan terkait gangguan mental dan bunuh diri, pemerintah wajib menyediakan layanan seperti konseling melalui saluran siaga, dukungan peer, dan penanganan psikososial bagi para penyintas.

Mengubah narasi bunuh diri di Indonesia bukan hanya soal menghapus stigma yang ada di masyarakat, tetapi juga membangun sistem yang lebih inklusif untuk berbagai pihak dalam menangani isu kesehatan mental. Dibutuhkan sinergi antara regulasi yang berpihak kepada masyarakat, media yang bijak dalam memberitakan konten, serta masyarakat yang mau membuka ruang dialog tanpa menghakimi.

Selama bunuh diri masih dianggap aib atau kelemahan pribadi atau dalam agama disebut iman yang lemah terhadap Tuhan, upaya pencegahan akan sulit berjalan optimal. Ketika memandang isu ini sebagai persoalan kesehatan masyarakat yang bisa dicegah, Indonesia memiliki kesempatan untuk melindungi lebih banyak nyawa dan menumbuhkan budaya empati yang nyata.

Hobie Fauzan Lumban Tobing
Hobie Fauzan Lumban Tobing
Penulis dengan latar belakang Psikologi, berfokus pada isu kesehatan mental, pencegahan bunuh diri, dan dukungan komunitas.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.