Dunia maya sedang digegerkan dengan berbagai macam aksi demonstrasi yang berlangsung hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Gerilya udara pun banyak dilayangkan di berbagai platform media sosial. Tak jarang warganet bisa melihat tagar-tagar seperti “#TolakOmnibusLaw”, “#MosiTidakPercaya”, dan masih banyak lagi, menghiasi trending topic di Twitter.
Di balik masifnya gerakan protes tersebut, ada pula teror dan tindakan represif yang harus dialami oleh beberapa orang yang vokal dalam menyuarakan pendapatnya, baik secara langsung maupun lewat media sosial. Secara tidak langsung, tindakan tersebut justru menjadi ancaman tersendiri dalam berdemokrasi di negara yang menganut sistem demokrasi.
Al Araf, Direktur Imparsial, menjelaskan bahwa ada beberapa indikator yang bisa menandai sebuah proses kemunduran (regresi) demokrasi. Penjelasan itu disampaikannya dalam acara Diskusi Hukum dan HAM (DUHAM) guna memperingati 24 tahun Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI).
Indikator regresi demokrasi tersebut diantaranya:
1. Adanya Pembatasan Kebebasan Sipil
Al Araf menyatakan bahwa pembatasan ini terjadi pasca Pilkada DKI Jakarta. Mulai banyak diskusi-diskusi yang dibubarkan oleh aparat. Publik menjadi tidak punya ruang untuk berekspresi dan menyatakan pendapat. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat setidaknya ada 157 kasus pembatasan kebebasan sipil yang terjadi di tahun 2020.
Seperti dituliskan dalam Medcom.id (2020), Rivanlee Anandar, Wakil Koordinator KontraS Bidang Riset dan Mobilisasi, merinci kasus tersebut diantaranya 63 penangkapan, 55 pembubaran aksi massa, 22 pelarangan berkumpul, 22 kali intimidasi, 15 kali penganiayaan, lima persekusi, dan satu sanksi sewenang-wenang.
Pewajaran tindak represi seperti intimidasi dan doxing ini membuat kasus pembatasan sipil semakin meningkat. Ditambah lagi tersebarnya Telegram Rahasia (TR) Nomor STR/645/X/PAM/3.2/2020 yang melarang demonstrasi Tolak UU Ciptaker dan mogok kerja selama pandemi Covid-19.
2. Adanya Pembatasan Kebebasan Berpendapat
Selain pembatasan sipil, regresi demokrasi juga ditandai dengan adanya pembatasan kebebasan berpendapat. Hal tersebut bisa dilihat dari dikeluarkannya surat pelarangan mahasiswa melakukan demonstrasi Tolak Omnibus Law Nomor 1035/E/KM/2020 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kampus yang seharusnya menjadi lokasi aman untuk berdiskusi dan menyatakan pendapat pun ditutup. Seolah mereka menghalangi mahasiswa untuk melakukan konsolidasi. Contohnya adalah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Sempat beberapa kali kampus tersebut ditutup agar mahasiswa tidak bisa melakukan konsolidasi di sana.
Tidak hanya kebebasan berpendapat secara langsung. Bayang-bayang UU ITE juga menimbulkan ketakutan tersendiri untuk berpendapat. Banyaknya pasal karet bisa menjerat siapa saja yang sedang berpendapat di media sosial. Contohnya adalah Jerinx SID yang harus mendekam di bui selama 3 tahun karena cuitannya tentang IDI.
3. Represifitas Aparat
Disampaikan oleh Gina Sabrina selaku Pemantau Pelanggaran HAM PBHI dalam acara DUHAM bahwa setidaknya ada 2.643 orang di seluruh Indonesia yang mengalami penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (arbitrary arrest and detention) selama aksi menolak Omnibus Law berlangsung.
Tindakan represif aparat tidak hanya menangkap massa aksi saja. Aparat juga mendatangi sekretariat organisasi dan menyurati perwakilan massa aksi guna menyampaikan larangan demo. Aparat juga melakukan sweeping, menyiksa, memaksakan tes urin dan Covid-19 tanpa dasar hukum dan konsensus, serta menghalangi akses bantuan hukum bagi massa aksi yang ditangkap atau ditahan.
4. Sekuritisasi
Al Araf menyatakan sekuritisasi ini bentuk domain HAM dan kebebasan berpendapat yang kemudian ditarik dalam domain ancaman terhadap keamanan. Mengingat ada beberapa kasus peretasan dan doxing beberapa aktivis yang vokal menyuarakan pendapat baik secara langsung maupun di media sosial.
5. Muncul Produk Politik Bersifat Konservatif dan Represif
Produk politik yang berupa kebijakan dan undang-undang pun tak lantas menjawab perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Justru produk politik ini sarat akan kepentingan para pemegang kekuasaan. Seperti yang bisa dilihat diantaranya Perppu Organisasi Masyarakat (ormas), pengesahan UU KPK, UU Sumber Daya Nasional, UU MK, Omnibus Law Cipta Kerja, dan Perpres Pelibatan TNI dalam Menanggulangi Terorisme.
Dari Rakyat, Oleh Birokrat, Untuk Korporat
Jika demokrasi sangat menjunjung tinggi asas “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Maka, kemunduran demokrasi di Indonesia justru mengubah asas tersebut menjadi “dari rakyat, oleh birokrat, untuk korporat”.
Rakyat Indonesia selalu diminta suaranya selama lima tahun sekali. Bagaimana para pejabat selalu menjalankan tradisi blusukan, mendengar aspirasi dari orang-orang kelas menengah ke bawah, berlomba menampilkan citranya sebagai “wakil rakyat”. Namun, setelah mereka berhasil menduduki kursi di birokrat, mereka justru lupa dengan rakyat.
Para pejabat di birokrat justru saling berlomba. Bahkan mereka membentuk konsensus untuk membuat kebijakan yang menguntungkan mereka dan kebanyakan justru merugikan masyarakat. Contohnya adalah UU Cipta Kerja. Minimnya partisipasi rakyat, komunikasi bottom up (dari rakyat kepada pemerintah), serta transparansi dari pemerintah membuat kebijakan tersebut menimbulkan berbagai kontroversi.
Pengesahan UU Cipta Kerja yang terkesan buru-buru, serta tidak mau menampung aspirasi dari buruh, mahasiswa, aktivis, hingga para ahli. Pasca diketok palu oleh DPR pun masih banyak revisi yang harus dilakukan. Tak tanggung-tanggung, revisi tersebut tidak hanya koreksi typo (kesalahan penulisan), melainkan juga substansinya.
Hingga pada tanggal 3 November 2020, tepatnya saat tengah malam, Presiden Jokowi resmi teken UU Cipta Kerja sebanyak 1.187 halaman pada UU Nomor 11 Tahun 2020. Hal ini menandai bahwa undang-undang tersebut memang ditujukan untuk kepentingan pemerintah yang sudah berselingkuh dengan oligarki, serta mengabaikan kepentingan rakyat.
Setelah dikikisnya demokrasi, apa lagi yang akan dilakukan pemerintah kepada rakyat Indonesia? Who knows?
Sumber:
Sucipto, Theofilus Ifan. (2020). KontraS Catat 157 Pembatasan Kebebasan Sipil Terjadi Setahun Terakhir. Diakses pada 7 November 2020, https://www.medcom.id/nasional/hukum/yKXDz9OK-kontras-catat-157-pembatasan-kebebasan-sipil-terjadi-setahun-terakhir