Jumat, April 19, 2024

Indonesia Bukan Negara Assassin (1)

Muhammad Amiruddin Dardiri
Muhammad Amiruddin Dardiri
Universitas Nahdlatul Ulama Surakarta

Tulisan ini adalah tulisan pertama. Tulisa kedua bisa klik di sini. Mei 2018, Indonesia diramaikan dengan berbagai aksi terorisme. Setidaknya ada 5 kejadian, yaitu serangan terhadap Mako Brimob Kelapa Dua Depok, Selasa (15/05); ledakan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, Minggu (13/05); ledakan bom di rusunawa Wonocolo Sidoarjo, Minggu (13/05); ledakan bom di Polrestabes Surabaya, Senin (14/05); dan penyerangan Mapolda Riau, Rabu (16/05).

Berbagai aksi teror di atas tentu membuat kita tidak nyaman dalam beraktivitas, terlebih aksi teror tersebut menyasar di ruang-ruang publik tempat berkumpulnya banyak orang dan menjelang bulan Ramadhan. Sehingga, sangat mungkin aksi ini sengaja dilakukan agar masyarakat tidak nyaman menjalakan ibadah Ramadhan, atau keyakinan pelaku akan dapat  meraih surga dengan malakukan ‘jihad’ menjelang bulan penuh pahala itu.

Aksi tebar teror semacam ini bukan hal yang baru. Sejarah Islam mencatat, pernah ada beberapa kelompok penebar teror, bahkan mulai dari masa khulafaurrosyidin. Sebutlah Khawarij, kelompok yang muncul pada masa khalifah Ali bin Abu Thalib ini menebarkan teror di kalangan umat Islam saat itu hingga terbunuhnya khalifah Ali. Selain itu, muncul juga kelompok Assassin di Iran, Irak, dan Suriah sepanjang perang salib yang dimulai pada 1095 masehi.

Merebut Peradaban dengan Teror

Assassin merupakan sebuah kelompok pecahan dari Syi’ah Isma’iliyyah yang dipimpin oleh Hasan al-Shabah, keturunan Yaman yang menghabiskan hidupnya di Iran. Kelompok ini melancarkan serangan dengan menyamar, menyusup, dan membunuh kelompok yang berseberang ideologi dengan mereka, baik dari kalangan sipil, pemerintah, maupun ulama-ulama Sunni.

Dari kalangan pemerintah yang menjadi korban kelompok ini adalah Nizam al-Mulk (perdana menteri Dinasti Saljuq, w. 1092), al-Amir Bi-Ahkamillah (Khalifah Fatimiyah, w. 1130), dan al-Mustarsyid (Khalifah Abbasiyah, w. 1135). Selain itu di antara ulama Sunni yang menjadi target utama adalah Imam al-Ghazali, meskipun usaha pembunuhan itu gagal.

Dalam upaya perekrutan calon pembunuh, kelompok yang berpusat di Iran ini dibangun loyalitasnya kepada para pemimpin mereka sehingga setia mengorbankan jiwa dan raganya. Para ‘kader’ pembunuh ini diambil dari desa sekitar benteng Assassin, mereka diasuh sejak kecil dan ditanami doktrin-doktrin oleh pemimpinnya. Dari proses panjang kaderisasi itu menjadikan para Fida’i atau kader pembunuh siap mati dalam menjalankan misi mereka.

Uniknya, kelompok Assassin ini pada biasanya beraksi di tengah keramaian. Sehingga, pada umumnya lokasi pembunuhan mereka berada di masjid, pada tengah hari, dan hari Jum;at sebagai hari favorit mereka. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan ketakutan pada masyarakat.

Upaya yang dilakukan Assassin adalah semata untuk mempertahankan pemerintahan Ismailiyyah versi mereka. Namun sayang, usaha tersebut sia-sia. Justru kini kelompok pembunuh itu tersingkir dari narasi sejarah karena cara-cara keji mereka sendiri.

Peradaban dengan Tradisi Ilmu

Berbalik dengan apa yang dilakukan Assassin, kelompok Sunni justru membangun masyarakatnya dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali dan Nizam al-Mulk.

Al-Ghazali berusaha mengembalikan spiritualitas dalam dunia Islam melalui Tasawwuf. Penyucian jiwa menjadi hal yang sangat penting bagi seorang muslim. Sedangkan Nizam al-Mulk membangun madrasah Nizamiyyah sebagai pusat pendidikan saat itu. Dan al-Ghazali menjadi salah satu guru besar di sana.

Jihad ilmiyah ini yang kemudian melahirkan tokoh pembaru dalam dunia Islam, seperti Nurudin Zanki dari dinasti Zengi dan Sholahuddin al-Ayyubi atau Saladin, seorang muslim Kurdi yang mendirikan dinasti Ayyubiyah dan berpengaruh dalam perang Salib.

Kebijaksanaan Sholahuddin dalam menaklukkan Jerussalem mengandung simpati dari kalangan barat, karena ia tidak membunuh rakyat sipil, perempuan dan anak-anak. Yang ia perangi hanya pasukan dan tentara resmi yang ikut dalam peperangan.

Lane-Poole, seorang sejarawan barat mengagumi sikap Sholahuddin dalam mengatur pasukannya agar menaati disiplin dalam peperangan. ”Tenteranya sangat bertanggungjawab, menjaga peraturan di setiap jalan, mencegah segala bentuk kekerasan sehingga tidak ada kedengaran orang Kristian dianiaya.”

Berbeda dengan kaum muslimin, upaya tentara Salib menaklukkan Baitul Maqdis pada 1099 dipenuhi dengan aksi kekejaman dan penuh teror. Orang Islam yang tak bersenjata disiksa, pembakaran massal, rakyat sipil dihabisi, sehingga jalanan Jerussalem dipenuhi dengan darah umat Islam.

Adapun kisah kekejaman Sholahuddin, tidak ada seujung kuku dari kekejaman yang dilakukan oleh pasukan Salib dalam menaklukkan Jerussalem. Pembantaian terhadap masyarakat sipil muslim, memerkosa para wanita, dan membunuh anak-anak tak berdosa sudah menjadi menu wajib tentara Salib. Sedangkan dari pihak Saladin, kalaupun ada kekejaman yang dilakukan pasukannya tidak lain hanya diarahkan kepada tentara pasukan salib. Sehingga, tidak layak disebut kekejaman karena semua dilakukan saat peperangan sebagaimana mestinya.

Muhammad Amiruddin Dardiri
Muhammad Amiruddin Dardiri
Universitas Nahdlatul Ulama Surakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.