Selasa, April 30, 2024

Implikasi Perempuan dalam Dunia Politik

Riani Ani
Riani Ani
Mahasiswa Hukum Keluarga Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Setengah populasi penduduk Indonesia diisi oleh para perempuan yakni mencapai sekitar 136,3 juta berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasikan dalam Statistik Indonesia 2023 pada bulan Februari lalu.

Tentu jumlah tersebut bukanlah sedikit dan diperlukannya pengembangan terhadap para perempuan di dalam bidang-bidang termasuk salah satunya di bidang politik. Sebagaimana diketahui bahwa keterlibatan perempuan di dunia politik ataupun di parlemen hanya sedikit, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya yakni masih adanya budaya patriarki di mana laki-laki ditempatkan sebagai kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik dan sebagainya, hingga akhirnya menganggap sebelah mata terhadap potensi perempuan yang menimbulkan ketidakberanian perempuan dalam mengambil langkah terjun ke dunia politik.

Padahal peran perempuan dalam politik sangat diperlukan karena sistem di Indonesia ini memerlukan sudut pandang perempuan juga semisal kasus tentang perlindungan perempuan dan anak, belum tentu lelaki memahami hal atau kondisi tersebut walaupun mereka bisa melakukannya tetap saja perspektif perempuan dibutuhkan dalam tatanan masyarakat.

Sejatinya tidak hanya lelaki saja yang bisa berperan aktif dalam politik maupun parlemen, namun perempuan pun dapat setara dengan kedudukan laki-laki entah itu dalam hal pekerjaan, kedudukan, dan bahkan tak jarang ditemui wanita yang menjadi pemimpin, contohnya Megawati Soekarnoputri yakni ketua partai politik PDI Perjuangan. Hal itu membuktikan bahwa perempuan pun mampu mengemban posisi yang biasanya hanya diduduki oleh laki-laki.

Setiap tahun mengalami perkembangan, dimulai dari wanita yang dianggap remeh derajatnya dan selalu jadi bahan perbudakan dan eksploitasi seksual hingga sekarang perempuan bisa mengisi bangku-bangku perguruan tinggi, perkantoran, hingga kepemimpinan negara.

Perubahan tersebut menandakan mulai tumbuhnya kesetaraan gender dalam berbagai hal, hanya saja ruangnya masih terbatas untuk para perempuan karena tugas utama mereka adalah menjadi ibu rumah tangga sehingga harus pandai dalam mengelola tugas dan karirnya.

Sejak zaman dahulu perempuan selalu ditindas, dianiaya, diperlakukan kasar, direndahkan martabatnya, bahkan dianggap suatu aib dan cela memiliki anak perempuan. Hingga agama Islam pun hadir membawa perempuan kepada kedudukan mulia.

Sejak zaman Rasulullah SAW, perempuan telah turut mengambil andil dalam peran-peran politik guna menegakkan kalimat-kalimat Allah, seperti melakukan dakwah agama Islam, ikut hijrah dengan Nabi, berbai’at kepada Nabi SAW., dan melakukan jihad dalam peperangan bersama kaum laki-laki.

Perempuan juga turut berkecimpung dengan politik pada Masa Khulafa Ar-Rasyidin dan yang menjadi penggerak perempuan bangkit untuk bergerak dalam segala bidang termasuk bidang politik yakni Ummahat Al-Mu’minin.

Islam tidak pernah melarang perempuan untuk aktif dan terlibat dalam bidang politik. Pada zaman Rasulullah SAW. pun para perempuan telah menjadi aktivis di bidang politik yaitu diantaranya:

1. Ikut hijrah ke Habasyah bersama Nabi SAW bersama kaum laki-laki
2. Ikut hijrah dengan Nabi SAW ke Madinah bersama kaum laki-laki
3. Berbaiat dengan Nabi SAW
4. Ikut peduli terhadap sistem pemerintahan kekhalifahan
5. Ikut menghadapi kezaliman salah seorang penguasa

Adanya pembaiatan kaum perempuan dengan Nabi menjadikan adanya kelayakan hak-hak bagi wanita dan terjamin hak dan kehormatannya oleh Islam. Namun, mengenai perempuan menjadi pemimpin politis terdapat beberapa pandangan para ulama, ada yang membolehkan, ada yang tidak memperbolehkan hingga menganggapnya haram.

Sebagaimana kita ketahui, tugas menjadi pemimpin bukanlah mudah, di samping mengurus urusan pribadi dengan keluarga juga mengurus urusan politik ataupun negara. Tentu hal tersebut bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, diperlukannya tanggung jawab yang besar dan waktu yang panjang untuk berkorelasi dengan relasi yang lainnya.

Bagi pendapat ulama yang tidak memperbolehkan perempuan menjadi pemimpin politis atau negara karena kembali pada fitrah perempuan yakni menjadi madrasatul Ula bagi anak-anaknya dan Mar’atus Solihat bagi suaminya, bukan berarti perempuan tidak mampu menjadi pemimpin hanya saja ketika seorang perempuan menjadi pemimpin, maka ia akan banyak menghabiskan separuh waktunya dengan orang lain yang mungkin kebanyakan relasinya dengan laki-laki dan tugas berkuasa menjadi pemimpin itu lebih cocok ditanggung oleh laki-laki sebab laki-laki dan perempuan berbeda porsinya dalam mengemban tugas menjadi pemimpin.

Peran perempuan dalam politis pun berlanjut pada masa Khalifah yakni penggeraknya adalah Ummul Mu’minin salah satunya yakni Aisyah binti Abu Bakar yang banyak berkontribusi dan melakukan rekonsiliasi saat terjadi kekacauan pada masa Khalifah Utsman bin Affan dan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Berdasarkan hal tersebut, tentu tidak ada batasan bagi perempuan untuk aktif di dunia politik, yang terpenting tidak melupakan tugas utamanya dan fitrahnya sebagai seorang perempuan.

Keterlibatan perempuan di dunia politik akan membantu dalam menyeimbangkan perumusan kebijakan dan peraturan perundang-undangan, penganggaran, dan pengawasan yang akan lebih berpihak pada perempuan dan anak-anak.

Riani Ani
Riani Ani
Mahasiswa Hukum Keluarga Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.