Indonesia merupakan suatu negara yang mempunyai penduduk sangat beragam, mulai dari etnis, suku, agama, bahasa, dan budaya. Dari adanya keragaman dapat memiliki keunikan, kekuatan, dan pluralitas tersendiri di mana tercipta masyarakat multikultural yang intensitas interaksi sesama manusia cukup tinggi.
Namun, dari pluralitas tersebut apabila tidak disikapi dengan bijaksana akan menjadi tantangan serta ancaman konflik perpecahan dan pertikaian yang dapat mengganggu kedamaian dan keamanan sosial. Lalu, terciptanya keadaan damai dan aman berawal dari kesadaran diri masing-masing yang memahami bahwa sebenarnya kita makhluk sosial yang selamanya membutuhkan bantuan orang lain serta terwujudnya keadaan tersebut dapat dilakukan melalui strategi moderasi beragama.
Kesadaran dan pemahaman mengenai keragaman khususnya keragaman agama semakin dibutuhkan masyarakat. Penyuluh agama sebagai pelayanan publik sebaiknya memiliki kemampuan dalam melakukan gerakan moderasi beragama agar meningkatkan kedamaian dan kerukunan antar umat.
Dalam moderasi beragama harus dipahami secara kontekstual yang mana dimoderatkan itu cara pemahamannya dalam beragama karena Indonesia memiliki berbagai aspek keberagaman. Seperti, moderasi beragama yang berada di Desa Kauman, Kota Kudus di mana masih berpegang teguh atas ajaran yang dibawa Sunan Kudus pada saat itu agar tidak boleh menyembelih sapi karena untuk menghargai dan menghormati kepercayaan agama Hindu terhadap hewan yang disakralkan.
Dalam memahami implementasi dari sikap moderasi beragama mengenai pelarangan menyembelih hewan sapi khususnya saat hari raya Idul Adha yang berada di Kota Kudus, merupakan wujud adanya penyebaran ajaran agama Islam yang di bawa Sunan Kudus pada waktu itu dengan melihat situasi dan kondisi masyarakat yang mayoritas agama Hindu.
Maka, hal tersebut berkaitan dengan teori sosiologi struktural fungsional yang didalamnya bersifat konstruktif serta menjelaskan mengenai agama sebagai bagian dari struktur yang membentuk norma. Teori ini dicetuskan oleh beberapa tokoh, yaitu August Comte, Emile Durkheim, dan Herbet Spencer. Dalam teori stuktural fungsional ini memposisikan agama mencakup bagian dari unsur pembentuk realitas sosial atas pemaknaan individu. Sehingga dalam memaknai agama yang berbeda akan mengetahui bagaimana seseorang tersebut menerima nilai agama dari kelompoknya.
Indonesia sebagai negara multikultural yang dilihat dari aspek budaya, suku bangsa maupun agama membutuhkan strategi untuk menciptakan dan menjaga kerukunan umat yang memiliki kebebasan beragama.
Hal itu sangat penting dilakukan agar dapat terwujudnya masyarakat Indoensia yang damai, aman, tentram, sejahtera, dan bersatu dalam ideologi pancasila. Sehingga dalam mewujudkan situasi keagamaan tersebut perlu adanya penerapan moderasi beragama. Dengan itu, akan menimbulkan sikap yang saling menghargai, menghormati antar sesama yang tidak terlibat pada radikalisme, ekstremisme, dan intolarisme.
Salah satu aspek keragaman di Indonesia dalam beragama merupakan suatu kemestian yang harus diterima dan tidak bisa dihilangkan. Di mana moderasi beragama hadir sebagai pengikat persamaan dan bukan mencari celah dari adanya perbedaan. Karena dari setiap agama pasti membawa misi hidup keselamatan dan perdamaian serta mengajarkan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh sebab itu, dari moderasi beragama hadir sebagai cara dalam menjalankan praktik beragama agar sesuai dengan substansiya dalam kehidupan yang menjaga harkat dan martabat manusia.
Implementasi dari moderasi beragama dapat dilihat dari beberapa masyarakat desa di Kota kudus. Salah satunya Desa Kauman yang teretak di sekitar Menara Kudus yang masih meyakini dan berpegang teguh sampai sekarang dari ajaran yang dibawa salah satu walisongo penyebar ajaran Islam di tanah Jawa yaitu, Sunan Kudus. Di mana dalam penyampaian penyebarannya saat itu tidak boleh menyembelih hewan sapi untuk kurban dalam perayaan Hari Raya Idul Adha. Karena Sunan Kudus bersikap menghormati dan menghargai dalam melihat situasi dan kondisi masyarakat Kudus pada waktu itu yang mayoritas beragama Hindu. Sebab dalam ajaran agama Hindu hewan sapi sangat di sakralkan. Hal tersebut merupakan strategi Sunan Kudus dalam menyebarkan ajaran Islam di Kota Kudus khususnya.
Dengan metode dakwah semacam itu, menjadi jalan kebijaksanaan dengan melihat realitas kehidupan beragama, sehingga sebagian masyarakat Kudus dapat menerima agama Islam. Masyarakat yang beragama Hindu merasa tetap dihargai karena tidak menyinggung kepercayaannya. Hal tersebut membuktikan bahwa Sunan Kudus lebih mementingkan toleransi dan keseimbangan dalam membawa penyebaran agama Islam. Meskipun terdapat perbedaan agama namun bukanlah sebagai alasan untuk saling menyombongkan maupun menonjokan ajarannya. Akan tetapi, sebaliknya menciptakan suasana rukun dan damai dalam kehidupan multikultural.
Dalam kehidupan masyarakat multikultural pasti terdapat pluralitas yang apabila tidak disikapi dengan bijak akan menimbukan ancaman konflik yang terjadi baik itu dari aspek agama, budaya, maupun suku bangsa. Dengan itu, perlu adanya kesadaran dan pemahaman akan moderasi beragama agar tercipta kedamaian dan keamanan sosial yang terjaga serta dipahami secara kontekstual dalam berbagai aspek keberagaman. Moderasi beragama sudah di implementasikan oleh masyarakat Kudus yang mana dalam Hari Raya Idul Adha tidak boleh menyembelih hewan sapi karena untuk menghargai dan menghormati kepercayaan agama Hindu. Hal tersebut sebagai upaya Sunan Kudus dalam penyebaran agama Islam saat itu. Akan tetapi, sampai saat ini keyakinan itu masih dipegang teguh dan tetap di lestarikan.
Pemahaman mengenai moderasi beragama bagi masyarakat Indonesia menjadi kebutuhan penting dalam menciptakan kedamaian serta keharmonisan masyarakat berbangsa dan bernegara. Sehingga perlu dibutuhkan pendidikan mengenai hal tersebut dalam penyuluhan terhadap masyarakat yang dilakukan penyuluh agama. Untuk itulah moderasi beragama dapat disosialisasikan melalui acara rutinan majlis pengajian, dialog kebangsaan yang mana melalui Kementerian Agama serta Balai Diklat Keagamaan dapat menjadi penggerak gerakan moderasi beragama di Indonesia.