Adanya dugaan serangan mematikan di kota Douma Suriah oleh Presiden Bassar Asad, dengan menggunakan senjata kimia, membuat oposisi Suriah yang melibatkan tiga negara, Amerika, Prancis dan Inggris semakin merasa memiliki alasan kuat untuk terus terlibat dan ikut campur dalam konflik yang terjadi di Suriah saat ini. Dugaan serangan itu dipengarai telah membunuh tak kurang dari seribu warga sipil.
Benarkah faktanya demikian? Paling tidak, kita semua tahu bahwa konflik di Suriah saat ini-di mana Presiden Bassar Asad berkoalisi dengan dua negara kuat, Rusia dan Iran-melibatkan enam negara yang saling berseteru. Tiga negara oposisi, di samping memiliki pengaruh yang kuat di Timur Tengah, khususnya Amerika, juga mereka tidak mau kehilangan pengaruh akibat hadirnya Rusia dan Iran yang juga sama-sama memiliki kepentingan untuk menancapkan pengaruhnya di banyak negara-negara di Timur Tengah.
Kita menjadi sadar bahwa betapa konflik yang melibatkan banyak negara ini, merupakan konflik yang memiliki kepentingan terselubung dan agenda politik sendiri-sendiri untuk memperkuat pengaruh mereka di sana. Bukan konflik untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pelik, yang sejauh ini dihadapi oleh Suriah dan barangkali juga banyak negara lainnya. Adanya dugaan penggunaan senjata kimia oleh Presiden Suriah, juga membuat konflik menjadi semakin runcing dan tidak kunjung menemukan titik temu.
Baru-baru ini, ada pernyataan menarik yang disampaikan oleh Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Georgievna Vorobieva, tentang pernyataan resminya yang dirilis oleh Harian Republika 15 Mei 2018. Isi tanggapannya ingin mengklarifikasi fakta yang sesungguhnya terkait apa yang terjadi di Suriah belum lama ini tentang benar tidaknya fakta penggunaan senjata kimia oleh Presiden Bassar Asad dalam suatu insiden di kota Douma, Suriah.
Setalah berita-berita tentang serangan kimia bermunculan, menurut pernyataan Lyumdila, Para wakil Pusat Rusia untuk Rekonsiliasi pihak-pihak yang saling bermusuhan di Suriah bersama-sama dengan wartawan militer mengunjungi satu-satunya rumah sakit di kota Douma dan tidak menemukan satu pun korban yang punya gejala keracunan kimia atau keadaan-keadaan yang mengarah pada adanya dampak fisik penggunaan senjata kimia.
Anehnya, beberapa waktu setelah penelusuran itu, ditemukan anak laki-laki berusia 11 tahun, Hasan Diab, yang mengakui telah ikut serta dalam pementasan rekaman film imitasi penggunaan senjata kimia, anak laki-laki itu hanya diberi imbalan makanan atas pementasan fiktifnya. Fakta ini menunjukkan bahwa betapa tindakan-tindakan ini jelas dilakukan dan direkayasa oleh pihak-pihak yang anti-Pemerintah, dengan kata lain kelompok oposisi.
Fakta lain juga menunjukkan bahwa provokasi dengan adanya membuatan film imitasi tersebut ternyata dibuat oleh organisasi yang dikenal dengan nama ‘Helm Putih’ yang didanai secara langsung oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris. Dengan bersandar pada film yang direkayasa itu-sebagai bentuk alasan yang dibuat-buat-, pada 14 April 2018, AS bersama Inggris dan Prancis telah melanggar norma-norma internasional dan Prinsip Piagam PBB dengan melakukan serangan rudal mematikan di negara Suriah yang telah berdaulat.
Hal yang amat memprihatinkan, serangan tersebut dilakukan sehari sebelum kedatangan para pakar dari Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) yang akan menyelidiki di Douma. Pemerintah Suriah pun membuka jalan secara bebas dan menjamin bagi mereka yang akan meneliti fakta-fakta sesungguhnya atas apa yang diduga ada serangan memakai senjata kimia di sana.
Lantas, jika faktanya sudah jelas bahwa itu semua merupakan manipulasi fiktif dan sengaja dibuat-buat, yang menjadi pertanyaan, lalu siapa yang paling diuntungkan dari serangan rudal itu menjelang kedatangan Organisasi OPCW? Yang jelas, di atas semua spekulasi, Amerika dan sekutu-sekutunya telah membuat konflik menjadi semakin runyam, tidak sehat dan banyak melanggar hukum-hukum internasional.
Padahal, sejak diadakannya perundingan AS-Rusia di Jenewa pada 14 September 2013, telah terjadi kesepakatan bersama antar berbagai pihak, yang juga didukung oleh Keputusan Eksklusif OPCW dan resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 2118, tentang rencana pengeluaran dari Suriah dan pemusnahan senjata kimia. Walhasil, seluruh senjata kimia di Suriah sepenuhnya dimusnahkan. Pemusnahan ini juga telah dikonfirmasi oleh Direktur Jenderal OPCW A Uzumcu pada 4 Januari 2016.
Sampai di sini, kita bisa menyimpulkan siapa dalang dibalik rekayasa diadakannya senjata kimia yang beberapa waktu yang lalu dipengarai telah digunakan oleh Presiden Asad. Rekayasa senjata kimia oleh AS dan sekutunya, ternyata bertujuan untuk melakukan serangan rudal agar membuat stabilitas Pemerintahan menjadi oleng dan terombang-ambing. Tetapi, Suriah tidak sendiri, bersama Rusia dan Iran, fakta-fakta palsu itu dapat diungkap dan menunjukkan bahwa betapa Amerika-secara sengaja-telah melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar norma-norma internasional.
Memang, konflik Suriah tidaklah sederhana. Keterlibatan enam negara dalam perseteruan sengit di atas berbagai kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai, kita perlu melihat konflik ini secara objektif dan meletakkan kedua belah pihak yang sedang berseteru secara berimbang. Mungkin pernyataan resmi dari Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Georgievna Vorobieva, adalah pernyataan dari sudut pandang Rusia.
Paling tidak, kita dapat berspekulasi dan memahami fakta-fakta objektif yang sejauh ini didapat, atas apa yang sebenarnya terjadi di Suriah terkait senjata kimia di atas semua kepentingan. Kehadiran dan ketelibatan Amerika dalam berbagai konflik di Timur Tengah juga harus dilihat secara kolektif sebagai satu kesatuan utuh dan mata rantai yang memiliki hubungan satu sama lain antar berbagai negara.
Amerika akan terus melakukan berbagai macam cara untuk mengulingkan kekuasaan Presiden Bassar Asad di Suriah bersama sekutu-sekutunya. Kita semua tahu bahwa di atas semua konflik yang melibatkan oposisi vs negara-negara koalisi di Suriah, adalah rakyat yang menjadi korban. Rakyat semakin lemah, tak berdaya dan kehilangan semua harapan-harapan hidupnya. Betapa ini menyedihkan dan merongrong hati nurani kemanusiaan kita sebagai masyarakat internasional.