Salah satu cara menjaga citra suatu produk baik dalam bentuk barang dan jasa adalah iklan. Suatu siasat untuk membuat produk tersebut hadir dalam memori calon konsumen, mulai dari semua sisi produk, sampai kredo yang ditampilkannya. Bahkan usut punya usut, tidak sedikit anggaran yang digelontorkan untuk suatu tim kreatif bakal suatu iklan yang benar-benar membekas pada kognisi dan menyentuh sisi rasa dari calon konsumen.
Iklan tersebut disebar melalui suatu biro, dan mengisi seluruh ruang, baik melalui media massa cetak, eletronik, media digital, bahkan mengisi videotron, billboard pada tempat-tempat strategis di kota maupun di pedesaan. Barthes mengungkapkan dalam bukunya yang telah klasik A Roland Barthes Reader (1993); iklan adalah suatu sistem simbol (tanda atau penanda) baik bersifat kebahasaan maupun non-kebahasaan.
Dari sisi kebahasaan, iklan akan berusaha memunculkan tren bahasa, mengambil celah dalam stereotip yang berkembang pada suatu budaya. Iklan dapat menampilkan suatu dialek lokal untuk mencitrakan kedekatan produk itu dengan calon konsumen. Sementara dalam politik non-kebahasaan, pembuat iklan membuat suatu inovasi kreatif (creative inovation) yang diarahkan dalam relasi yang saling menguntungkan dengan norma-norma yang sudah berkembang kuat dalam masyarakat.
Iklan yang sukses atau kesuksesan sebuah iklan amat bergantung kelihaiannya membangun siasat secara mutualistik, dengan pranata-pranata atau institusi-institusi sosial yang ada. Misalnya, iklan dapat menggandeng tokoh berpengaruh untuk turut serta menjadi juru bicara produk tertentu.
Budaya Massa dan Konsumen Kreatif
Iklan dan media massa baik cetak, elektronik dan media digital akan perlahan menjadi institusi pembentuk budaya massa (popular culture). Pembentuk budaya bukan lagi para pujangga, cerdik cendikia atau para seniman yang menjadi rujukan, tapi citra yang dibentuk iklan dan media massa. Iklan menjadi salah satu pembentuk hegemoni baru bagi publik, selain kekuatan kekuasaan negara.
Iklan yang mendominasi beragam media, akan menjadikan dirinya sebagai mesin hasrat, mendorong massa untuk melakukan imitasi figuratif, peniruan berdasar rujukan iklan. Perlahan-lahan iklan akan membentuk para konsumen fanatik, yang kadangkala tidak lagi memperhitungkan aspek kegunaan dari suatu produk. Tapi lebih karena faktor-faktor trend dan memenuhi selera fashion.
Kualitas produksi bukan satu-satunya penentu seorang konsumen untuk memilih produk tersebut, tapi justru seberapa sukses tim marketingnya melakukan pencitraan produk barang atau layanan jasa yang dilakukan. Jelasnya, anda tetap saja mengkonsumsi makanan impor, karena telah menjadi trend, karena dibentuk iklan, padahal dari sisi kesehatan dan rasa jauh lebih nikmat makanan lokal. Pada akhirnya citralah yang menentukan suatu produk dipilih oleh konsumen, baik secara sadar atau karena dorongan trend.
Pada akhirnya iklan dapat menjadi suatu alat transportasi massal yang bergerak tanpa rute yang diketahui oleh penumpangnya. Rute yang kian tak menentu. Seluruh objek yang bakal mungkin melintasi medan itu akan tergerus, bahkan sangat mungkin menjadi serpihan-serpihan yang tiada guna.
Sebagai misal, penggunaan popok pampers yang pada awalnya memanjakan kita pada kemudahan merawat bayi, kini melahirkan masalah lingkungan yang serius. Tanpa kita duga, konsumsi massal kita terhadap produk makanan olahan telah membawa kita pada makin tercemarnya tubuh kita dengan berkumpulnya zat-zat berbahaya.
Hegemoni iklan telah membentuk suatu relasi kuasa, di mana publik perlahan menjadi buih yang digerakkan dengan mudah. Iklan telah membentuk budaya massa yang tak mudah diubah. Budaya massa yang seakan menjadi dogma baru, bahkan otoritas agama sekalipun kadang-kadang takkan mampu meruntuhkan budaya massa tersebut. Ia ibarat air, ia mengisi semua titik terendah. Seperti angin ia akan mengisi ruang-ruang kosong. Begitu terus tanpa tahu kapan berakhirnya.
Oleh karena itu, tak ada jalan lain selain kita, sebagai konsumen harus benar-benar terus mencurigai ‘hasrat’ dalam diri kita. Sekaligus mencari budaya tanding yang dapat menjadi alternatif yang dapat kita produksi sendiri.
Setiap individu ataupun kelompok komunitas kritis harus terus melakukan kreasi baru sekaligus berupaya untuk memilih secara selektif apa yang dijajakan oleh iklan yang berputar disekeliling kita. Individu dan masyarakat harus mengaktifkan segala bentuk sensor diri secara aktif atas dominasi budaya massa. Suatu konsumen kreatif, yang tak tenggelam dalam arus budaya massa (popcult) yang teramat deras mendera masyarakat yang hidup di era big data, era silang sengkarut makna.