Jumat, April 26, 2024

Idul Adha Wahana Reformasi Akhlak

Rosidin
Rosidin
S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pendidikan Islam [2010-2012]. Dosen STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang. Penggemar Kajian Tafsir Tarbawi (Pendidikan) secara khusus dan kajian keIslaman secara umum.

Di tengah hiruk pikuk kegaduhan politik yang semakin tidak bermoral sekarang ini, Idul Adha seharusnya menjadi momentum umat muslim memperbaiki akhlak kepada sesama manusia (hablum-minan-nas), baik diri sendiri, orang lain, keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara; dengan mengutamakan pengamalan nilai-nilai ketuhanan (hablum-min-Allah) (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 103).

Pertama, akhlak terhadap diri sendiri. Setiap manusia pasti memiliki problem hidup (Q.S. al-Balad [90]: 4), padahal manusia diciptakan dalam keadaan serba lemah (Q.S. al-Nisa’ [4]: 28). Oleh sebab itu, tidak berakhlak jika manusia merasa mampu menyelesaikan seluruh problem hidupnya tanpa pertolongan Allah SWT.

Akan tetapi, pertolongan Ilahi selalu menunggu ikhtiar manusia. Inilah yang disebut “perjuangan” atau “mujahadah” yang mengundang datangnya pertolongan Allah SWT (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 69).

Contoh nyata perjuangan di tengah kondisi serba lemah adalah kisah Sayyidah Hajar yang hidup bersama Nabi Isma’il AS yang ketika itu masih bayi di tengah padang pasir yang tandus dan gersang. Ketika mereka mengalami krisis pangan, Sayyidah Hajar menunjukkan perjuangan (mujahadah) yang tidak kenal lelah dengan berjalan mondar-mandir antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali.

Pada puncak perjuangan itulah, datang pertolongan Allah SWT dari sumber yang tidak terduga sama sekali, yaitu munculnya mata air zamzam melalui kaki-kaki mungil Nabi Isma’il AS yang menjejak-jejak tanah.

Hikmahnya, apabila seseorang mengalami masalah hidup, maka dia dapat meneladani spirit Sa’i antara bukit Shafa dan Marwah. Yaitu kaki melangkah dengan semangat perjuangan tak kenal lelah, namun hati dan lisan senantiasa berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT. Insya Allah, solusi akan segera muncul dari berbagai sumber yang tidak terduga-duga.

Kedua, akhlak kepada orang lain. Apabila perjuangan sudah menuai hasil, maka langkah berikutnya adalah mengorbankan hasil perjuangan tersebut untuk kemaslahatan orang lain. Misalnya, meskipun penemu sumur zamzam adalah Sayyidah Hajar dan Nabi Isma’il AS, namun mereka rela berbagi kepada siapapun yang membutuhkannya.

Bahkan manusia zaman sekarang pun masih dapat merasakan hasil perjuangan Sayyidah Hajar dan Nabi Isma’il AS tersebut ketika meminum air zamzam. Hikmah ini juga dapat ditemukan pada orang yang berkurban.

Dia berjuang mengumpulkan harta, kemudian rela membeli kambing atau sapi untuk dikurbankan pada momen Idul Adha, padahal daging kambing atau sapi tersebut justru lebih banyak dinikmati oleh orang lain.

Mental rela berkorban untuk orang lain inilah yang perlu diteladani pada momen Idul Adha. Apalagi Allah SWT memuji orang yang suka berkorban untuk kemaslahatan orang lain, sebagai orang-orang yang sukses (Q.S. al-Hasyr [59]: 9).

Ketiga, akhlak terhadap keluarga. Sasaran pertama dari sikap rela berkorban untuk orang lain, sepatutnya ditujukan pada keluarga. Wujudnya adalah rela mengorbankan kepentingan atau selera pribadi, demi kemaslahatan keluarga, sehingga terbina keluarga yang harmonis antara suami-istri maupun antara orangtua dengan anak. Inilah keteladanan dari kisah penyembelihan Nabi Isma’il AS.

Beliau rela mengorbankan nyawa; sedangkan Nabi Ibrahim AS dan Sayyidah Hajar rela mengorbankan anak tunggal yang sangat mereka cintai. Jika dicermati lebih dalam kisah tersebut, maka dapat dipahami bahwa salah satu tips menciptakan keluarga harmonis adalah mengembalikan segala persoalan keluarga pada nilai-nilai ketuhanan.

Nabi Isma’il AS, Nabi Ibrahim AS dan Sayyidah Hajar, sama-sama sepakat terkait penyembelihan tersebut, dikarenakan mereka bertiga sama-sama ingin melaksanakan perintah Allah SWT.

Oleh sebab itu, apabila seorang muslim ingin membina keluarga yang harmonis, maka dia harus menjadikan Syariat Allah SWT sebagai pijakan utama. Misalnya, suami-istri dapat terlibat konflik terkait makanan, jika yang dijadikan pijakan adalah selera makan; namun suami-istri akan sepakat, jika yang dijadikan pijakan adalah kehalalan makanan.

Orangtua dan anak dapat terlibat konflik, jika yang dijadikan pijakan adalah sekolah atau perguruan tinggi; namun orangtua dan anak akan sepakat, jika yang dijadikan pijakan adalah ilmu yang bermanfaat dan menjadi anak shalih.

Keempat, akhlak kepada masyarakat. Sasaran kedua dari sikap rela berkorban adalah masyarakat. Wujudnya adalah menghormati nyawa, harta dan harga diri masyarakat, sebagaimana pesan terakhir yang disampaikan oleh Nabi SAW pada khutbah Haji Wada’:

Sesungguhnya darah, harta dan harga diri kalian di antara kalian adalah terhormat, sebagaimana kehormatan hari kalian ini (Idul Adha), bulan kalian ini (Dzulhijjah) dan di negeri kalian ini (Makkah)”.

Misalnya, seseorang rela berkorban telat masuk sekolah atau kerja, daripada berkendara dengan ngebut dan ugal-ugalan yang dapat menimbulkan kecelakaan, karena dia menghormati nyawa masyarakat pengguna jalan lainnya.

Seseorang rela berkorban tenaga dan pikiran untuk mengurusi dana publik atau umat, seperti menjadi takmir masjid, kepala sekolah, pengelola lembaga sosial, hingga pejaba publikt; tanpa pernah korupsi atau mengambil harta yang bukan haknya, karena menghormati harta milik masyarakat yang menjadi tanggung-jawabnya.

Demikian halnya, seseorang rela berkorban perasaan dengan memaafkan perilaku oknum masyarakat yang kurang berkenan di hati, daripada menghujat atau mencela mereka, sebagaimana ujaran-ujaran kebencian yang bertebaran di media sosial, karena menghormati mereka sebagai manusia yang memiliki harga diri.

Kelima, akhlak kepada bangsa dan negara. Jamaah haji asal Indonesia yang saat ini sedang menunaikan ibadah di Makkah membuktikan adanya kerjasama yang harmonis antara agama Islam dan negara Indonesia.

Umat muslim asal Indonesia, tentu amat sulit untuk menunaikan ibadah haji, seandainya tidak dibantu oleh pemerintah Indonesia. Mulai dari urusan administrasi passport dan visa, transportasi udara dan darat, hingga kebutuhan pangan dan papan ketika berhaji. Semua ini menunjukkan bahwa hubungan antara Islam dan Indonesia itu tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi.

Oleh sebab itu, umat muslim tidak perlu bersusah-payah menuntut Indonesia agar mengganti UUD 1945 dengan al-Qur’an dan Hadis; apalagi mengganti bentuk negara Indonesia menjadi khilafah. Yang paling penting adalah negara Indonesia memberi kebebasan dan kemerdekaan penuh bagi umat muslim untuk mengamalkan al-Qur’an dan Hadis di tanah air.

Lebih dari itu, patut disyukuri bahwa kondisi Indonesia jauh lebih aman dan sejahtera daripada umat muslim Palestina dan Pakistan; lebih bebas dan toleran daripada umat muslim Malaysia dan Arab Saudi.

Sumber Gambar: http://www.voa-islam.com

Rosidin
Rosidin
S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pendidikan Islam [2010-2012]. Dosen STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang. Penggemar Kajian Tafsir Tarbawi (Pendidikan) secara khusus dan kajian keIslaman secara umum.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.