Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!
Tampaknya sudah sangat sering mahasiswa mendengar slogan perjuangan tersebut. Apalagi mahasiswa dengan cap “organisatoris” dan “aktivis”. Organisatoris dan aktivis adalah dua hal yang berbeda. Aktif dalam organisasi bukan berarti peduli dengan kemanusiaan. Begitu pun sebaliknya, aktif memperjuangkan kemanusiaan tidak selalu terikat dalam sebuah organisasi.
Saat ini definisi organisatoris dan aktivis sudah seharusnya dipisah. Tidak semua organisator menjunjung bahasa tanpa kebohongan seperti yang termuat dalam sumpah mahasiswa. Bahkan, tidak semua organisator memperjuangkan keadilan.
Hak Berjuang dengan Menyampaikan Pendapat
Presiden Joko Widodo dikritik karena tindakannya yang meminta kritik. Banyak yang menyampaikan ketakutan untuk mengritik akibat adanya UU ITE. UU tersebut layaknya kartu AS yang bisa digunakan oleh siapapun saat ada yang mengritiknya melalui media sosial.
Kritik memang sebaiknya disampaikan dengan baik. Orang tua yang mengerti etika akan mengajarkan anaknya demikian. Namun orang tua yang beretika juga akan mengajarkan anaknya untuk mendengarkan kritik orang lain, menimbang, dan mengaplikasikan hal-hal yang dianggap benar.
Sebagai negara demokrasi, kebebasan berpendapat menjadi hak setiap Warga Negara Indonesia. Dengan halus pemahaman demokrasi masuk dalam alam bawah sadar. Tanpa direncanakan, mereka yang memahaminya meyakini bahwa bersuara adalah sah-sah saja. Begitupun, mereka yang merenggut hak bersuara sebenarnya sadar bagaimana konsep demokrasi semestinya. Namun, ketakutan akan suara orang lain membuatnya berusaha membungkam dengan cara apa saja.
Demokrasi dalam Pemilihan Presma
Negara merupakan komunitas besar yang memiliki komunitas-komunitas kecil di dalamnya. Salah satu komunitas kecil yang menjadi gudang ilmu pengetahuan adalah kampus. Didiami mahasiswa, kelompok orang yang berlabel agen perubahan. Mereka bahkan memiliki sumpah yang idealis nan nasionalis.
Seolah mengikuti apa yang diajarkan negara, sebisa mungkin demokrasi di kampus harus ditegakkan. Pemilihan Presiden Mahasiswa dilaksanakan dengan pemilihan umum. Setiap mahasiswa aktif diberi hak suara. Ia bebas memilih calon yang mana saja tanpa intervensi dari siapa pun. Pemeroleh suara terbanyak adalah orang yang akan menjadi koordinator untuk mewujudkan cita-cita kolektif.
Namun sayangnya, kerap kali, bahkan sepertinya hampir selalu terjadi di setiap kampus bahwa demokrasi yang selalu digaungkan justru diciderai sendiri oleh mahasiswa. Pemilihan Presiden Mahasiswa menjadi ajang untuk mendapatkan kekuasaan. Akses dengan petinggi kampus adalah tujuan utama dibandingkan menjadi penggerak untuk menyejahterakan mahasiswa lainnya.
Demokrasi Kampus yang Cidera di Tengah Pandemi Corona
Kontestasi pemilihan Presiden Mahasiswa tidak jarang sudah dimulai sejak pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU yang seharusnya netral justru ditunggangi. Mereka membawa kepentingannya sendiri.
KPU membocorkan soal tes wawasan kampus kepada salah satu calon, sengaja membuat aturan yang menguntungkan salah satu calon, bahkan hingga manipulasi pemerolehan suara kerap ditemui pada pemilihan Presiden Mahasiswa.
Hanya ada dua alasan untuk melakukan cara-cara demikian: pertama, ambisi untuk menang dalam kontestasi membuat mereka lupa akan kapasitas diri. Kedua, tidak percaya diri akan kapasitas yang dimiliki. Cara-cara yang jauh dari kata ideal dengan sadar dipilih dengan dalih “untuk mengabdi”.
Selama pandemi COVID-19 kampus-kampus mengadakan pemungutan suara secara online. KPU yang dipercaya menjadi penyelenggara diharapkan bisa bertanggung jawab atas beban moral untuk mewujudkan pemilihan yang demokratis dan beradab.
Penghitungan hasil suara yang dilakukan secara online seharusnya tetap dilaksanakan dengan terbuka. Jika tidak dilakukan secara terbuka, maka dugaan kecurangan yang dilakukan KPU untuk salah satu calon tidak bisa dihindarkan.
Kecurangan sekecil apapun tidak bisa dibenarkan. Mahasiswa yang seharusnya menyadarkan negara, apakah lupa dan tengah belajar pada negara?
Upaya Menegakkan Demokrasi di Kampus
Praktik-praktik curang dalam pemilihan Presiden Mahasiswa harusnya segera diselesaikan. Mengutip kata Pramoedya Ananta Toer “seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”
Sebagai upaya menjalankan demokrasi yang adil dan jujur, penentuan pemimpin harus melibatkan penuh aspirasi seluruh orang yang akan dipimpin.
Setiap orang yang akan dipimpin berhak memilih sekaligus melengserkan orang yang memimpinnya. Jika ditemui banyak kejanggalan, setiap orang berhak untuk bersuara karena bagaimana pun kritik adalah bagian yang sangat penting bagi demokrasi.
Selain itu, sikap kritis civil society seperti Lembaga Pers Mahasiswa harus terus dibangun. Lembaga Pers Mahasiswa idealnya bisa menjadi media yang menyadarkan masyarakat mahasiswa.
Bisa diamati bahwa tidak semua pemenang kontestasi bisa menerima lawan kontestasinya untuk berjuang bersama. Jika tujuan utama meraih kemenangan adalah mewujudkan cita-cita kolektif kawan-kawan sesama mahasiswa, seharusnya semua pihak yang terlibat dalam kontestasi bisa terbuka. Pemenang tidak lantas membuang mereka yang kalah. Kepemimpinan seharusnya bisa membawa pencerahan dan pendewasaan politik. Begitu pun yang kalah, seharusnya tidak ragu untuk bergabung.
Rekonsiliasi usai kontestasi politik perlu dilakukan agar tidak ada dampak berkepanjangan yang bisa merugikan mahasiswa lain. Perlu disadari bahwa menjadi agen perubahan tidak bisa dilakukan sendirian.
Berapa banyak Pema atau BEM yang memilih diam akan persoalan birokrasi kampus yang dihadapi kawan-kawan mahasiswanya?
Apa jadinya demokrasi bangsa jika idealisme sudah mati sejak mahasiswa? Belajar dari pandemi corona, PSBB tingkat nasional tidak berhasil menekan laju persebaran virus jika tidak diikuti pencegahan dari lingkup yang terkecil, seperti kampus. ***