Sabtu, Oktober 5, 2024

Idealisme Kartini Muda

Isma Saqila
Isma Saqila
Alumni mahasiswi yang sering resah dan overthingking akan masa depan.

21 April ditetapkan sebagai Hari Kartini dan kita peringati setiap tahunnya. Mendengar kata “Kartini” tentu kita akan langsung mengaitkannya dengan perempuan dan isu-isu yang mengikutinya. Persoalan terkait selalu menjadi isu yang dinamis. Berbagai fenomena perihal perempuan memiliki pro kontranya di kalangan masyarakat, misalnya mengenai feminisme, citra perempuan, emansipasi atau kesetaraan gender, dan lain-lain.

Itulah mengapa tokoh perempuan selalu dijadikan objek pencitraan yang sering dibicarakan dalam karya sastra dan penelitian.  Banyak stereotipe masyarakat terhadap sosok perempuan yang selalu dikatakan sebagai makhluk yang lemah, mudah menyerah, pasrah pada apapun yang terjadi terhadap mereka.

Di tahun 2024 ini, harusnya kita memperingati hari kartini dengan bersyukur, karena kini kedudukan dan derajat wanita telah diangkat pada taraf yang tinggi. Perlu diketahui bahwa jauh abad-abad yang lalu, sebelum datangnya Islam, wanita banyak mengalami pendiskriminasian. Kedudukan wanita terletak di bawah laki-laki, wanita dipandang sebagai kaum yang rendah dan lemah. Adanya kesenjangan gender tersebut memunculkan budaya Patriarki.

Perjuangan Kartini Melawan Bentuk Patriarki

Kartini menjadi sosok yang diingat karena perlawanannya terhadap budaya patriarki. Kita jelas mengetahui bahwa patriarki merupakan budaya yang membatasi pergerakan perempuan dalam memenuhi hak mereka. Kartini lahir dalam kondisi dunia yang seperti itu, kondisi dimana perempuan dilarang sekolah, dilarang ikut dalam pertemuan di muka publik, dan lainnya yang membatasi eksistensi perempuan.

Melihat kondisi yang seperti itu, tentunya seorang Kartini tergerak hatinya untuk terlibat dalam memperjuangkan hak dan kesetaraan perempuan dalam ruang sosial. Meski perjuangan yang dia lakukan harus melewati beragam tantangan di tengah masyarakat yang kental dengan patriarki.

Kartini berani mengambil sikap demi menempatkan perempuan dalam ruang yang sama dan tidak ingin membiarkan perempuan mengalami lebih banyak penindasan dan segregasi. Kartini sadar bahwa budaya patriarki harus didobrak lewat kesadaran kolektif perempuan itu sendiri. Perempuan harus bangkit melawan penindasan yang sudah lama bersemayam dalam tubuh masyarakat. Dan melalui sistem pendidikanlah Kartini sangat mengupayakan untuk menciptakan kesetaraan terhadap perempuan.

Adapun seorang tokoh ulama, filsuf, sastrawan Indonesia, Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul “Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan” menjelaskan kedudukan perempuan adalah mendapatkan jaminan dan kemuliaan yang tinggi. Baik laki-laki maupun perempuan yang beriman sama-sama memiliki tugas sebagai insan yang amar ma’ruf nahi munkar.

Buya Hamka juga menyebut perempuan sebagai unsur terpenting demi tegaknya serta kokohnya suatu kehidupan, baik rumah tangga, lingkungan, tatanan kenegaraan, maupun peradaban. Hal dasar inilah yang kemudian patut direnungkan serta menyadarkan diri kita untuk selalu bersyukur, introspeksi diri.

Gagasan Kartini dalam Tulisannya

Tekad Kartini demi memajukan peradaban perempuan di Indonesia dilakukan dengan menulis surat yang berisi gagasan dan pemikirannya. Gagasan Kartini yang mulai dibicarakan oleh para tokoh dan pemikir waktu itu membuat negeri mulai mencetuskan membuat kelompok diskusi di Jawa.

Melalui surat-surat yang ditulis yang sekarang diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, Kartini bukan hanya memperjuangkan hak perempuan, melainkan juga mendorong kemunculan kelompok diskusi tentang nasionalisme. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa Kartini menduduki tempat khusus dalam sejarah Indonesia sebagai ibu Nasionalisme.

Ide-idenya mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda dan Indonesia kala itu terhadap perempuan pribumi di Jawa. Berbagai permasalahan yang ditentangnya termasuk seperti tradisi feodal yang menindas, pernikahan paksa, poligami terhadap perempuan Jawa kelas atas, serta pentingnya pendidikan bagi perempuan.

Namun, dalam satu penelitian ditemukan bahwa semua gagasan yang dilakukan Kartini mengenai pembebasan perempuan hanya sebatas konsep belaka. Kartini hanya berani mengemukakan semua hal itu melalui surat-suratnya yang dikirimkan kepada perempuan Belanda. Dan surat-surat tersebut justru baru dipublikasikan setelah Kartini meninggal.

Meski begitu, pemikiran Kartini menjadi sangat berharga. Kartini mendobrak pintu peluang perempuan untuk mendapatkan hak-haknya, bebas berkarya dan berekspresi, mewujudkan ide kreatif dan mimpinya, menyalurkan bakat dan pemikirannya untuk kebermanfaatan.

Di Indonesia, kita mengenal banyak sekali sosok perempuan inspiratif lainnya selain Kartini, contohnya Ruhana Kuddus dan Dewi Sartika. Ruhana Kuddus memperjuangkan keadilan bagi perempuan melalui tulisan-tulisannya. Pengaruhnya begitu kuat di dunia pers. Sama seperti Kartini, tulisannya kerap mengkritik budaya patriarki yang sangat kental di Sumatra Barat. Berbagai isu yang dipersoalkan adalah pernikahan paksa di bawah umur, poligami, dan pengekangan perempuan terhadap akses-akses ekonomi.

Sedangkan Dewi Sartika, sejak kecil memperjuangkan hak perempuan dengan memanfaatkan fasilitas yang minim untuk mendapatkan hak mengenyam pendidikan. Dewi Sartika mengajarkan pengetahuan dan keterampilan kepada para perempuan sekitarnya, seperti mengajarkan merenda, memasak, menjahit, membaca, dan menulis.

Di akhir, renungkan kembali, Selain bersyukur, hendaknya kita juga bertekad dalam meningkatkan integritas diri. Perempuan perlu bangkit dan berani ungkap bila terdapat ke-tidak adil-an. Kemudian, peringatan hari Kartini semestinya bukan hanya memperlihatkan para wanita yang berlomba berdandan, menggunakan sanggul, memakai kebaya, dan berlenggak-lenggok saja. Namun, perempuan harusnya mau berjuang dan bangkit agar tidak menjadi tertinggal.

Mengutip dari jurnal milik Diana yang mengulik tentang tokoh Ami dalam cerpen karya Putu Wijaya yang berbunyi:

“Banyak perempuan yang menuntut dirinya menjadi cantik di mata laki-laki, tanpa mengetahui apa yang mereka inginkan untuk diri mereka sendiri”.

Kalimat yang sangat menohok tersebut semestinya direnungi setiap perempuan atas apa yang telah dilakukan semasa hidupnya. Sudahkah memperjuangkan haknya atau belum seperti yang diperjuangkan para pahlawan perempuan?

Kartini dan tokoh perempuan lainnya mengajarkan kita untuk lebih berani dan cerdas mengambil tindakan serta keputusan sendiri. Pun perempuan harus bergerak untuk kemajuan diri. Bukan maksud menggurui, namun mengingatkan diri dan mengajak bersama sudahkah kita menjadi  “Kartini muda” yang Inspiratif

Referensi

Buya Hamka, Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan, cet. 1 (Jakarta: Gema Insani, 2014), hlm. 1-7, 26-35.

Diana, Citra Sosial Perempuan dalam Cerpen Kartini Karya Putu Wijaya: Tinjauan Kritik Sastra Feminis, Jurnal Pena Indonesia: Jurnal Bahasa Indonesia, Sastra, dan Pengajarannya, 4(1), 2018, 78-96.

Debora, https://tirto.id/cara-kartini-memperjuangkan-emansipasi-perempuan-kemajuan-bangsa-gdac.

Kurniawan, https://geotimesr.id/opini/mengenang-kartini-mengenang-misi-pembebasan-perempuan/.

Saptoyo, https://www.kompas.com/tren/read/2021/04/21/192800565/selain-kartini-ini-7-pahlawan-perempuan-indonesia-yang-berjuang-untuk?page=all.

Isma Saqila
Isma Saqila
Alumni mahasiswi yang sering resah dan overthingking akan masa depan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.