Kehadiran hutan kota telah menjadi basic need kehidupan perkotaan karena data-data lingkungan hidup telah menunjukkan dengan sangat jelas bahwa dunia sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Salah satunya adalah makin bertambahnya peristiwa banjir, tanah longsor, ataupun abrasi air laut di pesisir di berbagai kota/wilayah di Indonesia.
Berkaitan dengan pengelolaan di wilayah perkotaan, tentu akan menjadi lumrah jika kajian pertama kali diarahkan pada peraturan perundangan yang berkaitan dengan tata Kelola wilayah perkotaan, yakni Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Di dalamnya ternyata tidak ditemukan definisi eksplisit dari hutan kota. Terlebih lagi dalam peraturan perundangan lain utama yang menyangkut aspek hutan yakni Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan pun, dalam uraian pada setiap pasalnya tidak ditemukan definisi konkret dari istilah “hutan kota”. Walaupun demikian, Pasal 9 ayat 1 dari undang-undang tersebut menyebutkan bahwa untuk kepentingan pengaturan iklim mikro estetika, dan resapan air, di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota.
Kemudian pada Pasal 9 ayat 2 darinya menyebutkan bahwa ketentuan lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sebagai turunan dari Undang-Undang No.41 Tahun 1999, barulah dalam Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2002 pada Pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.
Sementara itu, karena lokasi hutan kota berlokasi di wilayah perkotaan, tentu akan berkaitan dengan Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam Undang-undang ini, muncul terminologi ruang terbuka hijau (RTH) yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 31 bahwa ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Pasal 28 Undang-Undang yang sama menyebutkan mengenai aturan terhadap rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau. Lalu pada pasal 29 ayat 1 s.d. 3 dijelaskan bahwa : (1) Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. (2) Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota. (3) Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota.
Lalu apa kaitan antara definisi hutan kota dan RTH ini? Hal ini dijelaskan melalui Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2020 Pasal 26, yang menyatakan bahwa lokasi hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan.
Pasal 5 ayat 2 itu sendiri menjelaskan bahwa penunjukan lokasi dan luas hutan kota dilakukan oleh Walikota atau Bupati berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan. Namun, ada pada ayat 3 ada kekhususan, yakni bahwa untuk daerah khusus ibukota Jakarta, penunjukan lokasi dan luas hutan kota dilakukan oleh Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Hal ini menjelaskan bahwa kewenangan pengelolaan hutan kota berada di tangan Pemerintah Daerah (Pemda).
Ironisnya, banyak ditemukan berbagai praktik ahli fungsi lahan yang tidak diperhitungkan terhadap keseimbangan daya dukung lingkungan, seolah merefleksikan betapa permasalahan lingkungan ini disebabkan oleh perilaku manusia yang tidak memahami esensi dirinya sebagai komponen dari lingkungan itu sendiri. Hal ini terjadi secara turun-temurun sehingga mengakibatkan kerusakan yang sistematik akibat berbagai kebijakan yang “tidak menghormati” lingkungan.
Walaupun hutan kota merupakan bagian dari RTH, berdasarkan telaah oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan yang disampaikan melalui terbitan buletin “Policy Brief” pada tahun 2013, dijelaskan bahwa pihak Pemda dinilai belum menempatkan pembangunan hutan kota sebagai prioritas utama dalam pengembangan daerah.
Hasil analisis di dalamnya mengungkapkan bahwa tupoksi Dinas Kehutanan dalam kegiatan pembangunan hutan kota belum mencapai substansinya dalam upaya melindungi eksistensi hutan kota yang menjadi ranah tanggung jawabnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Subardi et al (2015) yang mengungkapkan bahwa permasalahan utama dalam kelembagaan pengelolaan hutan kota berkaitan dengan lemahnya koordinasi di antara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terkait, seperti Bappeda, SKPD PU, Badan Lingkungan Hidup, dan Dinas Kehutanan.
Subardi et al (2015) menganalisis bahwa yang menjadi penyebabnya adalah : (i) perbedaan persepsi dan kepentingan dari para pemangku kebijakan yang terkait dengan pembangunan RTH dan hutan kota; (ii) kebijakan yang masih didominasi oleh kepentingan ekonomi semata seperti pembangunan pemukiman/mall/ruko berkelas yang lebih banyak diperuntukkan bagi kelas tertentu dengan mengurangi kawasan resapan; (iii) Gerakan “hijau” dalam pembangunan hutan kota memiliki kecenderungan dapat dikalahkan oleh upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang hanya berlangsung sesaat.
Berdasarkan data BPS Tahun 2020, telah terjadi peningkatan jumlah penduduk kota sebesar 22,4% hingga 56,7% terhitung sejak tahun 1980 hingga 2020. Melihat fakta ini, betapa penegakan regulasi alih fungsi lahan memegang peranan penting terhadap pemberian hak lingkungan perkotaan atas eksistensi hutan kota. Baru sebagian kecil saja kota dan kabupaten yang mencapai angka minimal luasan RTH 30% di Indonesia.
Hal ini didukung dengan data yang dimiliki Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Tahun 2019, bahwa baru 13 dari 174 kota di Indonesia yang taat mengikuti Program Kota Hijau dan menetapkan kewajiban pencapaian RTH sebesar 30% ataupun lebih. Hal ini sejalan pula dengan analisis yang dipublikasikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan bahwa Pemda cenderung lebih dominan menggunakan acuan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dalam pembuatan perencanaan tata ruang wilayah (RTRW), yaitu Permen Pekerjaan Umum yang di dalamnya belum secara tegas dan jelas menjelaskan nomenklatur pembangunan hutan kota secara spesifik. (Policy Brief, 2013)
Walaupun saat ini sudah makin banyak program yang digaungkan dengan mengusung konsep pencapaian Sustainable Development Goals SDGs), agaknya Indonesia sudah sangat terlambat untuk menyadari tentang berbagai langkah preventif dan antisipatif.
Padahal berbagai Perda maupun RPJMD telah disusun untuk penataan dan penetapan status RTH sebagai taman kota, jalur hijau, hutan kota, dan pemantapan kawasan lindung oleh walikota atau bupati, sehingga semestinya proporsi RTH di suatu kota jangan sampai berkurang dari 30% atau justru malah harus diperluas.